Friday, December 19, 2008

From Cat Stevens to Yusuf Islam


Ini buku baruku, terbit Desember ini. Tebal: 192 halaman. Harga: Rp 34.000. Berikut ini deskripsinya:

Dalam usia sangat belia, Cat Stevens telah meraih hampir semua yang diimpi-impikan orang modern: kaya, terkenal, dan dikagumi banyak orang. Kegigihannya telah membuatnya berhasil menjadi musisi yang menghasilkan banyak karya legendaris dan menjadi panutan banyak musisi lainnya.
Namun, ternyata semua itu tak membuatnya menemukan kedamaian. Lingkungan glamour menyeretnya ke dalam gaya hidup yang merusak; ia terjebak dalam kecanduan narkotika dan minuman keras. Setelah nyawanya beberapa kali nyaris melayang akibat kebiasaan buruknya, ia memutuskan untuk mencari makna hidup. Beberapa tahun kemudian, dunia dikejutkan oleh keputusannya menjadi Muslim dan berganti nama menjadi Yusuf Islam. Lebih mengejutkan lagi, tak lama kemudian ia mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia musik. Konser perpisahannya dihadiri ribuan penggemar yang menangisi kepergiannya.
Apa alasan Cat Stevens memilih Islam? Mengapa ia memutuskan meninggalkan dunia musik? Mengapa ia pernah dituduh menyetujui hukuman mati untuk Salman Rushdie? Mengapa ia akhirnya memutuskan kembali ke dunia musik? Buku ini merunut perjalanan hidup seorang manusia yang rela meninggalkan gemerlap dunia untuk menemukan panggilan batin sejatinya.

"Yusuf Islam adalah 'duta besar' dari agama yang sering disalahpahami."
-Pangeran Charles

From Cat Stevens to Yusuf Islam

Ini buku baruku, terbit Desember ini. Tebal: 192 halaman. Harga: Rp 34.000. Berikut ini deskripsi isinya:

Dalam usia sangat belia, Cat Stevens telah meraih hampir semua yang diimpi-impikan orang modern: kaya, terkenal, dan dikagumi banyak orang. Kegigihannya telah membuatnya berhasil menjadi musisi yang menghasilkan banyak karya legendaris dan menjadi panutan banyak musisi lainnya. Namun, ternyata semua itu tak membuatnya menemukan kedamaian. Lingkungan glamour menyeretnya ke dalam gaya hidup yang merusak; ia terjebak dalam kecanduan narkotika dan minuman keras. Setelah nyawanya beberapa kali nyaris melayang akibat kebiasaan buruknya, ia memutuskan untuk mencari makna hidup. Beberapa tahun kemudian, dunia dikejutkan oleh keputusannya menjadi Muslim dan berganti nama menjadi Yusuf Islam. Lebih mengejutkan lagi, tak lama kemudian ia mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia musik. Konser perpisahannya dihadiri ribuan penggemar yang menangisi kepergiannya. Apa alasan Cat Stevens memilih Islam? Mengapa ia memutuskan meninggalkan dunia musik? Mengapa ia pernah dituduh menyetujui hukuman mati untuk Salman Rushdie? Mengapa ia akhirnya memutuskan kembali ke dunia musik? Buku ini merunut perjalanan hidup seorang manusia yang rela meninggalkan gemerlap dunia untuk menemukan panggilan batin sejatinya.

“Yusuf Islam adalah ‘duta besar’ dari agama yang sering disalahpahami.”
—Pangeran Charles

Thursday, November 27, 2008

Buku suntingan baru


Sudah lama sekali tak memposting di blog ini. Selama Agustus hingga November ada beberapa bukuku yang terbit, baik karya sendiri maupun karya yang kuterjemahkan dan kusunting. Bulan November terbit hampir bersamaan dua buku yang aku berposisi sebagai penyunting, yaitu The Last Window-Giraffe karya pengarang Hongaria, Peter Zilahy, dan Morality for Beautiful Girls karya Alexander McCall Smith. Dua-duanya diterbitkan Bentang Pustaka. TLWG unik dan menarik karena novel dengan gaya penulisan seperti kamus, bercerita tentang hari-hari akhir diktator Yugoslavia, Slobodan Milosevic. Morality tetap memperlihatkan gaya cerita khas McCall Smith yang bernada komedi dengan latar kehidupan Afrika yang kental.

Sunday, August 31, 2008

Negeri Para Maling, Rampok, Bandit, dll

PADA 2005, terbit buku berjudul Kiai di Republik Maling oleh Munawar Fuad Noeh. Ada yang menilai kehadiran buku ini sangat signifikan sebagai saripati pengalaman, kesadaran, kebaikan, dan nurani. Tapi bukan soal itu inti tulisan ini. Sebab, tahun ini juga terbit buku lain, seakan-akan menjadi "antitesis", Bukan Kampung Maling Bukan Desa Ustadz, sebuah memoar politik mantan jaksa agung Abdul Rahman Saleh.
Melalui buku ini, Abdul Rahman mencoba meluruskan kesalahpahaman mengenai insiden "ustad di kampung maling" antara Jaksa Agung dan DPR secara objektif dan transparan. Sekaligus menceritakan perjalanan kariernya sejak menjadi wartawan, pembela, bintang film, notaris, Ketua Muda Mahkamah Agung. Buku ini pun sekaligus merupakan laporan kinerja selama menjadi Jaksa Agung, yaitu pembaruan kejaksaan dan pemberantasan korupsi.
Nah, mengenai kaitan antarar negara, korupsi, dan permalingan ini, pernah dipentaskan sebuah lakon berjudul Korupsi di Republik Maling. Ceritanya, bekas menteri urusan iwak lan segara (ikan dan laut), Rom Dalu, disidang karena korupsi. Rom ternyata tidak makan duit sendiri, tapi terjadi bancakan ramai-ramai. Lewat anak buahnya, Rom membagi-bagikan uang kepada semua orang penting, calon penguasa, politikus, ormas, hingga pemuka agama di negara antah berantah. Sebuah tulisan juga sempat dipublikasikan. Judulnya Indonesia Negeri Para Perampok. Tampaknya tulisan itu dibuat ketika terjadi heboh penjualan BUMN ke tangan asing. Menurut tulisan itu, pemindahan kepemilikan BUMN, yang merupakan milik sah rakyat Indonesia, ke tangan asing tidak lain dari upaya perampokan terhadap rakyat yang dibantu para penguasa, yang terdiri dari para pengelola negara yang memang memiliki sikap mental kera, rakus! Tak peduli pada tanggung jawabnya sebagai orang yang diberi amanah, baik dia sebagai pejabat publik maupun para wakil rakyat yang terhormat. "Masih banyak saja para pejabat yang memiliki mental rampok. Negeri para perampok, itulah kira-kira keadaan negeri ini."
Pada suatu waktu, Ahmad Syafii Maarif pernah menyebut Indonesia sebagai RGI (Republik Garong Indonesia) karena semakin panjangnya deretan para penggarong dan perampok harta negara bergentayangan, dari pusat sampai daerah. Tidak itu saja, kata Syafii melalui tulisannya Masalah Bangsa: Tidak Sederhana, sebagian aparat penegak hukum pun telah memasukkan dirinya ke dalam daftar warga hitam itu.
Ada juga yang menulis di sebuah blog, bahwa negeri ini pantas disebut sebagai republik copet. "Negara ini dikuasai dan diperintahi oleh tukang copet nan garong terus-menerus!" Begitu kata si penulis.
Kemudian, Kompas edisi 6 Agustus lalu memuat opini berjudul Inilah Zaman Bandit Berkeliaran, yang ditulis I Wibowo. Tulisan ini dipicu oleh kasus suap yang melibatkan 52 anggota DPR. "Banyak orang mengatakan mungkin lebih banyak lagi. Mungkin semuanya. Masyarakat yang tak lagi percaya kepada anggota DPR mengusulkan agar DPR dibubarkan. Ketika 10 tahun lalu penguasa tunggal dijatuhkan, orang berharap kejadian korupsi sejenis yang dilakukan Soeharto tak akan lagi terjadi karena rakyat akan mengawasinya. Ternyata si pengawas sendiri terlibat korupsi," tulis Wibowo.
Mau tambahan? Coba saja bikin sendiri. Negeri pencopet, kalau kita ambil padan katanya, bisa juga disebut negeri congo, negeri kabit, negeri kadet, negeri pencecak, negeri penceluk, negeri pencilok. Republik maling juga bisa kita ganti dengan istilah republik alap-alap, republik pencoleng, republik penjambret, republik pencuri. Dan republik perampok tak lain sama saja dengan republik begal, republik kecu, republik penyamun, republik bajak laut, republik lanun, republik perompak.
Duh, begitu parahkah negeri ini?

Sunday, June 1, 2008

Zaini

ADA banyak musabab orang menjadi gila. Ada banyak bentuk kegilaan. Dan banyak cara pula orang berbuat gila. Majnun menjadi gila karena cinta terhadap Laila. Pada mulanya, cinta kedua anak muda itu tumbuh dan berkembang dengan sempurna. Masalah muncul saat cinta mereka diketahui orang tua. Laila dikurung oleh keluarganya agar tak keluar rumah ke mana pun sedetik pun. Dan Majnun perlahan-lahan menjadi gila.
Orang gila, atau kegilaan, memang menjadi objek menarik dalam pelbagai khazanah, termasuk dalam sastra. Mungkin Nazami Gandavi dari Persia, pengarang kisah Laila Majnun, bukan yang pertama. Dan jelas bukan yang terakhir. Nikolai Gogol dari Rusia dan Lu Hsun dari Cina sama-sama menulis kisah dengan judul Buku Harian Seorang Gila. Muhammad Ali dari Surabaya pun pernah menulis kisah Si Gila.
Majnun dan lain-lain gila karena berbeda dengan orang kebanyakan. Ahmad Zaini pun (dianggap) gila karena berbeda. Namun kegilaan Ahmad Zaini dan Majnun sangatlah berbeda. Ahmad Zaini juga bukan bagian dari fiksi, melainkan kisah nyata.
Sebagaimana umumnya orang gila, yakni menimbulkan kegemparan, meskipun kadang sesaat saja, Ahmad Zaini pun menimbulkan kegemparan. Ahmad Zaini mengaku memiliki kekayaan 18 ribu triliun rupiah. Ia mengaku memiliki harta tersebut sebagai warisan dari orang tuanya, Suparta, yang mempunyai kolateral emas yang disimpan di sejumlah bank di AS, Cina, dan Eropa. Dana itu, kata Zaini, baru diketahui 1.000 hari setelah kematian orang tuanya. Ratusan pengusaha, bankir, dan pejabat pemerintah pun memenuhi Villa Istana Bunga, Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (29/5). Mereka menunggu kepastian dana belasan triliun yang dikatakan akan dikucurkan untuk membiayai proyek ratusan miliar.
Delapan belas ribu triliun tentu saja angka fantastis. Seribu triliun adalah angka satu dengan lima belas nol di belakangnya. Berapa banyak? Kalau semua kekayaan itu dibelikan emas, dengan harga katakanlah 250 ribu rupiah per gram, maka emas yang akan diperoleh adalah 72.000 ton. Kalau semua kekayaan itu berupa tumpukan uang kertas seratus ribu rupiah, dan dengan asumsi uang sepuluh juta membentuk ketebalan 1 sentimeter, maka uang sebanyak 18 ribu triliun akan membentuk tumpukan setinggi 18 ribu kilometer, atau hampir separuh keliling planet Bumi.
Bagaimana kalau kalau uang 18 ribu triliun rupiah itu dibagikan kepada semua orang Indonesia secara sama rata? Maka masing-masing akan menerima lebih dari 80 juta rupiah.
Masuk akalkah? Kalau tidak masuk akal, kita akan menyebut orang yang mengklaim memiliki kekayaan demikian itu gila. Orang terkaya di dunia, Bill Gates, pun ditaksir memiliki kekayaan "hanya" 58 miliar dolar AS (sekitar Rp 500 triliun), hanya satu per tiga puluh enam "kekayaan" Ahmad Zaini.
Polisi sudah menduga bahwa Ahmad Zaini gila dan apa yang diklaimnya adalah penipuan. Kalangan pengamat menilai bahwa bangsa Indonesia tengah dilanda kebingungan. Namun, apa pun yang terjadi, Indonesia memang negeri yang aneh. Jangan-jangan, karena aneh itulah kemunculan orang-orang gila menjadi tidak aneh. Kalau semua orang menjadi gila, maka orang waras akan dianggap gila. Tempo hari, sempat heboh soal harta karun Bung Karno. Pernah ditulis, sang Proklamator disebut-sebut mempunyai harta karun berupa batangan emas/platina senilai Rp 36 triliun. Ada yang bilang harta itu adalah pampasan perang, tapi ada juga yang bilang kekayaan itu titipan dari Chiang Kai Sek, pemimpin Cina pada waktu itu. Sampai-sampai, kabarnya, Presiden (waktu itu) Soeharto membentuk tim "Mission Impossible" untuk menelusuri keberadaan harta tersebut.
Seperti kisah-kisah tentang orang gila, kisah-kisah tentang harta karun pun sangat menarik. King Solomon's Mines, National Treasure, dan serial Indiana Jones hanyalah beberapa judul film Hollywood (sebelumnya berbentuk buku) yang terkenal. Di Indonesia, ES Ito menerbitkan sebuah novel yang hebat, Rahasia Meede (Misteri Harta Karun VOC).
Qorun, yang di Indonesia berubah menjadi karun, pun menjadi sebuah contoh kisah menarik dalam Alquran untuk menjadi peringatan bagi manusia. Bermula dari pengikut setia, Qorun kemudian menjadi penentang Musa setelah meraih kekayaan yang melimpah. Konon kekayaannya tak bisa diukur karena kunci-kunci gudang kekayaannya tak bisa dipikul seorang lelaki kuat mana pun.
Satu hal, kalau kekayaan Ahmad Zaini benar, tak ada yg bisa mengalahkan kekayaannya, termasuk Qorun. Mungkin kecuali satu, yakni tokoh fiksi yang digemari (sekaligus dibenci) anak-anak: Paman Gober.

Saturday, May 31, 2008

Sendratari Dyah Pitaloka

Ketika iseng surfing di gelombang internet, aku menemukan sebuah berita berikut ini (apa adanya, tanpa kuedit):

SENDRATARI "DYAH PITALOKA", PEMAKSAAN POLITIK YANG MENJATUHKAN MARTABAT
Magelang, 25/5 (ANTARA) - Pementasan sendratari bertajuk "Dyah Pitaloka" ingin menggambarkan simbol bahwa pemaksaan kepentingan politik para petinggi akan menjatuhkan martabat bangsa dan berakibat menyengsarakan rakyat.
"Melalui sendratari ini tergambar bahwa sikap politik para elit yang bertendensi untuk memaksakan kehendak akhirnya membuahkan kesengsaraan rakyat dan merendahkan martabat," kata Koreografer Sendratari "Dyah Pitaloka", Dwi Anugrah, usai pementasan itu, di Magelang, Minggu.
Sendratari berdurasi sekitar 40 menit itu dimainkan puluhan pelajar SMA Pangudi Luhur "Van Lith" Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dalam puncak apresiasi seni, memeringati perintis sekolah unggulan di daerah itu dengan sistem pendidikan asrama.
Lakon itu bersumber dari Kitab Negarakertagama, karya Empu Prapanca, dan Novel Senja di Langit Majapahit, karya Hermawan Aksan, dengan produser Br. Albertus Suwarto, FIC, penata iringan Purwadi, dan kemasan gerak tari tradisional Jawa.
Sendratari "Dyah Pitaloka" yang terdiri tiga adegan itu menuturkan ambisi penaklukan wilayah-wilayah nusantara oleh Patih Gajah Mada (Ardi) dari Kerajaan Majapahit yang dipimpin Raja Hayam Wuruk (Didi) dalam seni gerak tari.
Alkisah, Majapahit belum berhasil menaklukan Kerajaan Sunda Galuh di bawah Raja Linggabuana (Johan) melalui beberapa kali peperangan. Raja itu memiliki seorang puteri bernama Dyah Pitaloka (Elok).
Raja Hayam Wuruk ingin melamar Pitaloka dan menjadikannya sebagai permaisuri Kerajaan Majapahit yang dipimpinnya. Lamaran Hayam Wuruk diterima Linggabuana dan Pitaloka pun dengan pengawalan sejumlah prajurit berangkat menuju Majapahit.
Di Lapangan Bubat yang dikisahkan berada di kawasan perbatasan antara wilayah Majapahit dengan Sunda Galuh, Gajah Mada dengan pasukan tempurnya menjebak rombongan Pitaloka yang memang tidak disiapkan untuk berperang.
"Gajah Mada memaksa Sunda Galuh harus tunduk kepada Majapahit dan menjadikan Pitaloka sebagai puteri persembahan kepada Raja Hayam Wuruk," kata Anugrah.
Pertempuran antara kedua pihak di Lapangan Bubat berlangsung seru ditandai jatuh korban di kedua pihak dan kesengsaraan rakyat di sekitar tempat perang itu, namun akhirnya dimenangi pasukan di bawah pimpinan Gajah Mada.
Hayam Wuruk yang mendengar tindakan Gajah Mada itu dikisahkan dalam sendratari tersebut sebagai marah.
"Tindakan patihnya itu telah menurunkan martabat kerajaan dan mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Pesan yang ingin disampaikan dalam sendratari ini, bagaimana seorang pemimpin saat ini mengambil kebijakan yang tepat, yang tidak mengakibatkan rakyat menderita dan selalu berkomitmen mengangkat martabat bangsa dan negara," kata Dwi Anugrah. ***

Begitulah, sebagai penulis Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit, aku sama sekali tidak diberi tahu mengenai pementasan ini. Senang-senang saja karyaku diangkat menjadi sendratari. Setidaknya, karyaku mendapat pengakuan, justru di tanah Jawa. Mengejutkan. Hanya saja, mungkin akan lebih membuatku bangga kalau panitia setidaknya memberi tahu. Itu saja.
Namun, tabik buat pementasan ini.

Tuesday, May 20, 2008

Tung

ADA kesalahan dalam pendidikan di Indonesia, yakni orang disuruh belajar, tapi tak pernah diajari caranya belajar. Kita disuruh berpikir, tapi kita tak pernah diajari bagaimana caranya berpikir.
Begitulah pendapatnya mengenai pendidikan di Indonesia.
Namanya mungkin aneh di telinga sebagian kita: Tung Desem Waringin. "Apa itu?" bukan "Siapa itu?" kata seorang teman ketika suatu hari saya mengucapkan nama ini. Walah. Padahal, orang tuanya tentu punya maksud baik dengan memberinya nama demikian. Dan memang begitulah. Tung adalah nama keluarga, she Tionghoa. Desem diambil dari Desember, bulan kelahirannya. Dan Waringin diambil dari kata bahasa Jawa yang berarti beringin. Orang tuanya mengharapkan anak ketiga dari lima bersaudara ini menjadi pelindung, tempat berteduh.
Menurut lelaki kelahiran Solo 40 tahun lalu ini, proses pendidikan di negeri ini memang aneh. "Kalau orang disuruh berenang, mestinya kan harus belajar bagaimana berenang. Disuruh belajar, mestinya belajar bagaimana caranya belajar. Seperti pengalaman saya, atau kita semua di sini, guru-guru kita selalu menyuruh, ayo belajar, ayo belajar, ayo berenang, ayo berenang. Caranya? Harus fokus. Bagaimana caranya fokus? Tak pernah diajarkan," ujar Tung Desem dalam percakapan dengan saya di Sekolah Mutiara Nusantara, Jalan Sersan Bajuri, Bandung, beberapa waktu lalu.
Tung mengakui, ketika di SD hingga SMA, ia bukanlah anak yang istimewa di kelas. "Saya bahkan termasuk oon, goblok," kata Tung, yang kemudian tertawa.
Tung kemudian bertutur, ketika di SMA nilai mata pelajaran Bahasa Indonesianya biasa-biasa saja. "Pada sebuah acara reuni SMA bertemu dengan guru Bahasa Indonesia saya. Bu Tuti, ingat saya? Waktu itu Bahasa Indonesia saya dikasih lima, karena saya nggak bisa ngarang. Sekarang, Bu Tuti, terima kasih, saya Tung Desem Waringin tercatat memecahkan rekor MURI sebagai pengarang yang di hari pertama bukunya laku 10 ribu lebih. Saya juga bertemu dengan Pak Guru PMP, waktu itu saya juga dikasih nilai lima. Untungnya waktu itu semester ganjil. Kalau pas kenaikan kelas dua mata pelajaran itu dapat lima, nggak naik saya. Saya sering naik kelas dengan status diakui. Saking parahnya. Nah, saya juga pernah ikut les Kimia, ini true story, saya ikut les dengan juara satu, juara kelas, dengan para juara, hanya saya yang tidak juara. Saya ingat pada waktu les pernah dikasih seratus soal. Saya selesai cuma 20 soal, dari 20 itu, yang bener hanya dua. Saking baiknya guru les itu, dia berkata, 'Tung, kamu datang lebih awal ya. Lesnya jam tiga, kamu datang setengah tiga. Nanti saya kasih les lebih dulu, nanti kamu bisa ngejar yang lain.' Saya setuju. Begitu diajari, tetap saja saya nggak bisa. Gurunya nanya begini, sampai ngomong sorry tiga kali. 'Tung, kamu dulu waktu kecil pernah setep?' Asem tenan, ha-ha-ha."
Ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ia menjadi mahasiswa teladan. Berbagai gelar juara dalam ajang lomba akademis pun ia menangi. "Saya bergaul dengan para mahasiswa cerdas, kemudian melihat bagaimana cara mereka belajar. Saya terapkan cara mereka, dan akhirnya saya berhasil meraih prestasi tinggi," kata Tung.
Tung tampil sebagai lulusan terbaik, kemudian sukses berkarier di BCA, sebuah bank swasta terbesar di negeri ini, punya kedudukan bagus, punya keluarga yang baik dan istri yang cantik, tapi ketika ayahnya sakit, gaji Tung sebulan tak mampu menutupi biaya semalam di kelas 3 RS Mount Elizabeth di Singapura!
"Pasti ada yang salah dengan hidup saya," pikirnya. Maka ia keluar dari BCA lalu merintis karier dan kemudian sukses di bidang lain: menjadi seorang motivator. Oleh majalah Marketing, Tung dinobatkan sebagai "pelatih sukses nomor satu Indonesia".
Jadi, apa sebenarnya rahasia suksesnya? "Saya selalu belajar dari yang terbaik. Untuk menjadi pelatih sukses terbaik pun, saya belajar dari yang terbaik, antara lain dari Anthony Robbins, pelatih sukses terbaik di dunia," katanya. (*)

Monday, May 5, 2008

Selebritas

SEBUAH tabloid olah raga edisi Selasa, 29 April 2008, menulis salah satu judul beritanya "Ditantang Selebritas Dadakan". Tulisan itu bercerita tentang rencana pertarungan tinju antara Oscar De La Hoya dan Steve Forbes. De La Hoya bukan nama asing di ring tinju, sedangkan Forbes belum terdengar, kecuali disebutkan bahwa ia baru tampil dalam acara reality show tinju "The Contender". Penampilan itulah yang membuat Forbes disebut "selebritas dadakan".
Yang menarik, tabloid ini merupakan salah satu di antara sangat sedikit media massa yang menggunakan bentuk kata selebritas, bukan selebriti. Salah satu media yang memelopori pemakaian bentuk selebritas adalah majalah Jakarta-Jakarta, yang sayangnya sekarang sudah almarhum.
Mana yang benar, selebritas atau selebriti? Atau mungkin selebritis sebagaimana yang sering kita lihat (dengar) di sejumlah media, termasuk televisi, dan dalam percakapan sehari-hari?
Menurut pedoman penulisan unsur serapan, akhiran -ty (Inggris) atau -teit (Belanda) berubah menjadi -tas dalam bahasa Indonesia. Contohnya, university atau universiteit menjadi universitas, quality atau kwaliteit menjadi kualitas. Kita bisa menambahkan kata-kata lain seperti activity, solidarity, actuality, validity, dan morality, yang berubah menjadi aktivitas, solidaritas, aktualitas, validitas, dan moralitas. Tentu daftar ini masih bisa diperpanjang.
Dalam bahasa Inggris, kata celebrity berarti seorang yang terkenal/masyhur (lihat Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily). Bentuk jamaknya adalah celebrities. Bentuk jamak inilah yang kerap kita temukan dipakai oleh pengguna bahasa Indonesia menjadi selebritis. Tentu saja ini bentuk yang keliru, sama kelirunya ketika kita menulis tips atau fans dalam bahasa Indonesia.
Dengan pedoman penulisan unsur serapan di atas, jelaslah bahwa kata celebrity harus berubah menjadi selebritas, bukan selebriti atau (apalagi) selebritis.
Sampai edisinya yang kedua (cetakan ke-10 tahun 1999), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) belum memasukkan lema selebriti ataupun selebritas. KBBI kalah langkah dari Kamus Kontemporer karya Peter Salim, misalnya, yang pada cetakan tahun 1995 pun sudah memasukkan lema selebritas (bukan selebriti). Baru pada edisi ketiga, KBBI memasukkan lema selebriti (bukan selebritas), yang diberi arti orang yang terkenal atau masyhur (biasanya tentang artis).
Saya termasuk pemakai bahasa Indonesia yang kecewa karena KBBI justru mengakui bentuk selebriti, bukan selebritas. Jelas bahwa penyusun KBBI (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia) tidak konsisten terhadap pedoman yang mereka susun sendiri. Apa dasar yang digunakan KBBI? Apakah KBBI mengikuti analogi sekuriti dan komoditi? Jika demikian, KBBI keliru karena bentuk sekuriti (keamanan) bisa diterima untuk membedakannya dengan sekuritas (surat berharga) meski kedua bentuk ini berasal dari bentuk yang sama security. Adapun komoditi bukan bentuk baku seperti diakui sendiri oleh KBBI karena bentuk bakunya adalah komoditas.
Apakah karena masyarakat lebih banyak yang memakai selebriti (dan selebritis) daripada selebritas? Kabarnya, Pusat Bahasa memasukkan lema tertentu berdasarkan frekuensi pemakaiannya di masyarakat. Jika demikian, selain melanggar aturannya sendiri, KBBI kerap tidak konsisten mengenai soal ini. Satu contoh saja, KBBI terus-menerus mencantumkan kata zarafah sebagai bentuk baku, bukan jerapah. Padahal, kita yakin bahwa masyarakat seluruh Indonesia lebih akrab dengan kata jerapah, bukan zarafah.
Kalau KBBI terus-terusan tidak konsisten, benar apa kata Tendy K. Somantri, salah seorang Koordinator Forum Bahasa Media Massa Jabar, bahwa kita pemakai bahasa berkali-kali "babak belur" justru ketika mencoba mengikuti kebenaran yang ditawarkan Pusat Bahasa.***

(naskah ini dimuat di harian Pikiran Rakyat, 3 Mei 2008

Sunday, May 4, 2008

Lagi, Buku Baru


Buku ini baru terbit, dan sudah kulihat di stan Mizan pada Pameran Buku Islami di Gedung Landmark, Bandung. Sampai hari ini, aku malah belum dapat bukunya. Aku mau ke kantor Mizan ah, besok. Sekalian mengembalikan SPK untuk (calon) buku mengenai Steve Jobs.
Keterangan tentang buku ini bisa dilihat di

Sunday, March 30, 2008

Buku baru lagi


Ini buku baruku. Aku sendiri belum punya bukunya. Saat search namaku di Google, muncul informasi bahwa buku ini sudah terbit. Setidaknya aku tahu di situs Mizan, Inibuku.com, dan beberapa lainnya.

Saturday, March 15, 2008

Buku Terbaru: Pendidikan Olahraga

Buku terbaruku kali ini diberi judul Pendidikan Olahraga, Pengalaman 17 Tahun dalam Pelembagaan dan Penyelenggaraan Mata Kuliah Olahraga di ITB, diterbitkan oleh Kelompok Keahlian Ilmu Keolahragaan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, bekerja sama dengan Penerbit ITB, Februari 2008.
Buku ini memang tidak kutulis sendiri, tapi bersama Deni Ahmad Fajar (asisten redaktur Tribun Jabar) dan Hawe Setiawan (sastrawan, penulis, editor). Dan sayangnya, nama kami bertiga tidak tampil di sampul muka, tapi hanya di halaman dalam, di bawah Tim Pengarah, yang terdiri dari para dosen ITB, termasuk mantan rektor ITB Wiranto Arismunandar. Juga tak ada data sesingkat apa pun tentang kami sebagai penulis.
Proses terbitnya buku ini terhitung lama, sejak pertemuan pertama dengan Prof Wiranto dkk, pada 1 Juli 2007. Salah satu anggota tim pengarah ternyata adalah Didi Sunadi, yang ternyata teman seangkatan adikku di FPOK IKIP (sekarang UPI).
Cukup banyak pula hambatan yang kami temui, terutama minimnya data yang bisa kami telusuri dari sejumlah narasumber.
Aku lebih dulu tahu buku ini sudah terbit justru dari tabloid Bola edisi 7 Maret 2008. Sehari menjelang peluncuran, dua temanku, Deni dan Hawe, mendapat SMS dari Didi yang mengharap kehadiran kami sebagai tim penulis hadir pada hari Minggu, 9 Maret 2008. Aku sendiri tidak dapat SMS. Karena bentrok dengan sebuah acara, aku dan Deni tidak hadir. Hawe hadir, tapi aku belum sempat mendapat cerita mengenai bagaimana acaranya.
Kami mendapat buku itu masing-masing satu eksemplar! (Padahal, penerbit umumnya memberikan jatah buat penulis itu minimal sepuluh eksemplar.) Memang ditambah masing-masing satu kaus. Tapi kaus itu tak ada hubungannya dengan buku itu atau ITB. Kaus itu terkesan pembagian dari Telkomsel.
Pada laman Sekolah Farmasi ITB, kubaca berita mengenai peluncuran buku tersebut sebagai berikut (apa adanya, termasuk salah ketiknya dsb):

Kelompok Keilmuan Keolahragaan Sekolah Farmasi ITB, meluncurkan buku Pendidikan Olahraga: Pengalaman 17 Tahun dalam Pelembagaan dan Penyelenggaraan Matakuliah Olahraga di ITB di acara Dies Natalis ke-49 ITB, hadir pada acara tersebut Rektor ITB, Wakil Rektor, pimpinan UKA dan UKP, juga dihadiri oleh mantan Rektor ITB, Wiranto Arismunandar. Dalam sambutannya Rektor ITB melihat pentingnya olahaga dalam pembangunan bangsa ini. Karena itu, ITB konsisten memberikan mata kuliah olahraga yang ditangani oleh Kelompok Keilmuan Keolahragaan. Untuk pengembangan ke depan,kelompok Ilmu Keolahragaan ingin menjadi yang terdepan dalam riset riset olahraga. “Idealnya di setiap partisipasi Indonesia di ajang multievent diimbangi dengan riset yang berkaitan dengan prestasi maupun kegagalannya. Jika itu dilakukan, niscaya kelemahan olahraga prestasi akan segera diketahui,” ungkap Dekan Sekolah Farmasi , Dr Tutus Gusdinar Kartawinata. Kita juga berharap bias menjadi sport center yang memiliki kekuatan di bidang riset olahraga. Saat ini kami mengupayakan berbagai effort ke sana,” tambah Tutus Gusdinar.

Demikianlah.

Monday, March 3, 2008

Tanpa Judul

Tulisanku di rubrik Coffee Break Tribun Jabar, Minggu 2 Maret, yang juga kuposting di sini dengan judul "Kisah (Para) Penyair Nekat", ternyata mendapat respons dari sang penyair. Respons itu dikirimkan lewat e-mail ke Tribun Jabar. Di sini kuposting respons itu, seadanya (termasuk semua salah ketiknya), berikut ini:

banyak seniman di bandung yang kemudian terlempar dan
tersisihkan dari sejarah sastra,untuk kembali eksis
tentu bukan hal yang mudah,karena berbagai
hal.misalnya tidak berkarya lagi, atau karyanya tidak
bermutu, atau kahayangaya ka euweuh euweuh, jadi
ketika ada seniman lain tetap eksis ia hanya bisa
kumetap lalu caci maki tak keruan.
terimakasih atas resensi buku puisisaya di tribun,
saya sadar bahwa sebuah karya bukan lagi milik
pengranagnya ika sudah berada di tangan pmbaca, tapi
bahayanya kalau pembaca itu kemudian adalah seniman
yang terlemparkan dari sejarah sastra..
sehingga pengetahuannya ttg sastra nol besar, tidak
memahami perkembangan sastra yang tengah berlangsung.
kaciaaaaaaaaan dech...

terimakasih
terimaksih
nuhu
nuhun

matdon
matazibril@yahoo.com

Sunday, March 2, 2008

Kisah (Para) Penyair Nekat

TAMPAKNYA sulit menjadi penyair di negeri ini kalau tidak nekat. Karena itu, banyak orang yang nekat menjadi penyair, atau banyak penyair yang nekat. Tapi, sebentar, penyair pun terbagi menjadi dua: penyair serius dan penyair dadakan karena suatu alasan. Alasan itu bisa saja sedang dilanda asmara, atau sedang marah-marah terhadap pihak lain, atau apa saja.
Beberapa kali saya bertemu dengan penyair (atau merasa diri penyair) yang nekat menerbitkan buku kumpulan puisi, baik melalui penerbit tertentu maupun menerbitkan sendiri--tentu saja dengan biaya sendiri.
Pernah ada seorang teman (yang merasa diri) penyair menerbitkan buku kumpulan puisi dengan menyeting sendiri, kemudian mencetaknya melalui printer sebanyak dua puluhan eksemplar, menjilidnya sendiri, mengedarkannya sendiri kepada teman-temannya, dan akhirnya mengadakan diskusi di antara mereka untuk membahas puisi-puisi dalam buku itu. Maka dalam curriculum vitae-nya, ia menulis pernah menerbitkan buku berjudul anu, yang tak lain buku yang dicetak 20-an eksemplar itu.
Saya tentu saja tidak antipati terhadap para penyair nekat itu. Sebaliknya, saya angkat topi. Buku kumpulan puisi adalah komoditas yang termasuk rendah nilai jualnya. Hanya satu dua judul buku kumpulan puisi di negeri ini yang bisa dikatakan termasuk best-seller, misalnya buku-buku karya Joko Pinurbo, Kibaran Sarung, Celana, dan Pacar Kecilku. Maka sukses mereka untuk menerbitkan buku kumpulan puisi patut dicatat dengan nilai tersendiri.
Beberapa hari lalu saya menerima sebuah buku kumpulan puisi dari Kang Yusran Pare, Pemimpin Redaksi Tribun Jabar. Kang Yusran menerimanya dari Matdon, sang penyair, dan meminta saya membuat ulasannya. Judul bukunya, yang ditulis dengan huruf-huruf putih dengan latar belakang blok hitam, terasa menghantam: Kepada Penyair Anjing.
Secara fisik, buku yang terbitan Ultimus ini menarik. Di bawah judul pada sampul, terpampang sebuah drawing karya Andi Sopiandi yang menggambarkan komposisi beberapa ekor anjing bergaya agak surealis. Secara keseluruhan, desain sampul depan oleh Ucok ini pun mengesankan sebuah upaya yang serius.
Buku ini, saya kira, terbit tidak dengan biaya sendiri, apalagi hanya dicetak dalam jumlah eksemplar yang bisa dihitung dengan jari. Ultimus adalah penerbit yang sudah menelurkan sejumlah buku bermutu. Karena itu, upaya Ultimus untuk menerbitkan buku kumpulan puisi sangat patut dihargai.
Bagaimana dengan puisi-puisinya? Hmm...
Buku setebal xviii + 90 halaman ini berisi 80 judul puisi. Sebagian besar adalah puisi pendek, yang terdiri dari beberapa baris dan hanya mengisi kurang dari sepertiga halaman. Hanya enam puisi yang masing-masing mengisi lebih dari satu halaman. Tentu saja puisi pendek tidak berarti buruk dan puisi panjang tidak berarti indah. Sitor Situmorang pernah menciptakan puisi pendek yang hanya berisi satu baris, tapi terus bergema melewati tahun-tahun dan dasawarsa.
Dari sisi gaya, sebagian konvensional, sebagian berupaya mendobrak tradisi, meski belum benar-benar menghasilkan pengucapan baru. Bahkan ada pula sejumlah puisi yang bergaya mbeling seperti yang pernah berkibar tahun 1970-an melalui Remi Silado dan kawan-kawan. Beberapa puisi dalam buku ini mengesankan sebuah proses pengendapan yang intens, beberapa berpeluang untuk menjadi puisi yang bagus, tapi banyak pula yang terkesan dibuat dengan tergesa-gesa--dan kemudian malah terjebak menjadi sekadar pamflet.
Menurut Afrizal Malna, puisi tercipta melalui proses yang berdarah-darah. Bagi Afrizal, puisi adalah sebuah posisi rawan kesenian. Untuk menulis sekaligus memahami dibutuhkan "pengorbanan" besar sehingga tak hanya sanggup mengubah pandangan seseorang, bahkan mungkin menggerakkan sebuah energi tak terlihat yang kelak membuat massa bergerak. Puisi dapat pula mencapai fungsinya yang paling sederhana sebagai jejak sang penyair yang menyeret setiap peristiwa dalam sejarah hidupnya. Ia lantas menjadi semacam kesaksian yang dapat menengarai perubahan zaman, menjadi petunjuk bagi generasi berikutnya, selain sebagai catatan sunyi peradaban.
Toto Sudarto, Rendra, Taufik Ismail pernah menempatkan diri pada posisi kesaksian. Sutardji lebih menekuni bongkar-pasang estetika, menggali yang terpendam dalam rahasia akar bahasa. Sapardi memberikan eksistensi pada ujaran sehari-hari menjadi "prasasti" monumental. Adapun Goenawan Mohamad dengan metafora mewahnya mengisi bagian elegan dalam sastra Indonesia.
Di mana posisi Kepada Penyair Anjing dalam peta puisi negeri ini? Ah, mungkin pertanyaan yang terlampau jauh. Kebanyakan puisi dalam buku ini belum mengesankan tercipta melalui proses yang berdarah-darah.

Thursday, February 28, 2008

Kontroversi Penghargaan Budaya

(Ini sebetulnya tulisan agak lama, beberapa hari setelah tahun baru. Kukirimkan ke Kompas Jabar, tapi rupanya tidak layak muat.)

TERPILIHNYA W.S. Rendra sebagai salah satu penerima Penghargaan Budaya Sunda dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, pada malam Tahun Baru 2008, mengejutkan dan menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apa posisi penting seniman berjuluk “Si Burung Merak” ini pada peta budaya Sunda?
Perjalanan panjang kiprah Rendra dalam peta seni dan budaya Indonesia, tentu saja, tak perlu diragukan lagi. Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, 7 November 1935) sudah berkarya sejak pertengahan 1950-an. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan kemudian Bengkel Teater Rendra di Depok. Karya-karyanya (drama) antara lain Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), Sekda (1977), dan Mastodon dan Burung Kondor (1972), sedangkan puisi-puisinya terangkum dalam Jangan Takut Ibu, Balada Orang-Orang Tercinta, Empat Kumpulan Sajak, Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!, dan lain-lain.
Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996), dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Namun, penghargaan yang penyerahannya dilakukan di Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, itu, sekali lagi, bertajuk “budaya Sunda”. Nama atau lembaga lain yang menerima penghargaan ini, antara lain mantan Menteri Luar Negeri, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, budayawan Dr. Saini KM, Majalah Mangle (majalan bahasa Sunda), Kampung Cipta Gelar (kampung adat), harian Pikiran Rakyat Bandung, tokoh pencak silat paguron Tadjimalela (alm.) Djadjat Kusumahdinata (Djadjat Paramor) sebagai legenda, dalang Mamat Tahmat Tambi (dalang wayang kulit), Bi Raspi (seniman ronggeng), bolehlah diterima menurut “rasa kesundaan”.
Dengan jejak langkah yang sudah dijalani Rendra dan pemahaman mengenai “budaya Sunda”, terpilihnya Rendra memang terkesan kontroversial. Kontribusi Rendra terhadap budaya Sunda masih bisa diperdebatkan. Apakah Rendra terpilih karena ia tinggal di Depok, Jawa Barat?
Para juri tentu saja punya kriteria sendiri sehingga menganggap Rendra layak menerima penghargaan budaya Sunda. Namun ada dua hal yang juga patut menjadi catatan.
Pertama, Rendra terpilih dalam kategori diva. Kalau benar demikian, sungguh menggelikan. Sebab, diva berarti penyanyi opera wanita, atau primadona, seperti Renata Tebaldi, Joan Sutherland, Leontyne Price, Maria Callas, atau Kiri te Kanawa. Namun istilah diva juga digunakan untuk penyanyi wanita yang hebat, misalnya Whitney Houston, Madonna, Patti Labelle, Cher, Mariah Carey, Beyonce, Celine Dion, dan Aretha Franklin (lihat Wikipedia). Di Indonesia, penyanyi yang disebut-sebut sebagai diva antara lain Vina Panduwinata, Krisdayanti, dan Ruth Sahanaya. (Sebagai tambahan, di Barat, istilah diva sering dipakai dengan konotasi negatif karena para bintang itu dinilai arogan, sulit bekerja sama, manipulatif, cerewet, dan banyak menuntut.)
Kedua, asumsikan Rendra tetap layak menerima penghargaan Sunda, benarkah tak ada lagi nama yang lebih layak menerima penghargaan yang sama, tokoh yang benar-benar memiliki peran penting dalam perkembangan budaya Sunda dan Jawa Barat?
Benar saja, sejumlah tokoh budayawan Cirebon langsung bereaksi. Mereka memprotes keras pemberian penghargaan budaya itu. Pasalnya, tidak ada satu pun tokoh Pantura yang mendapat penghargaan tersebut. Ketua Dewan Kesenian Cirebon Ahmad Syubhanuddin Alwy, misalnya, menilai, tidak adanya tokoh Pantura yang dilibatkan, bahkan tidak mendapat penghargaan tersebut, merupakan suatu tindakan marginalisasi budaya oleh pemerintah. Alwy menuding tidak adanya tokoh budaya Pantura yang diberi penghargaan ini mungkin terkait politisasi Pilgub Jabar 2008 atau terkait politisasi wacana pemisahan Pantura sehingga para penilai penghargaan lebih mementingkan unsur politis daripada ketulusan dalam penilaiannya. Alwy pun menunjuk betapa kayanya wilayah Pantura dengan seni dan budaya, misalnya tari topeng, keraton, dan tokoh‑tokoh seni budaya setempat.
Tudingan senada diungkapkan Putra Mahkota Keraton Kasepuhan, PRA Arief Natadiningrat. Menurut dia, keputusan meniadakan figur dari Cirebon terkait pelestarian budaya Sunda sangat melecehkan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Hal ini, kata Arief, sama saja dengan tidak mengakui Cirebon dan sekitarnya sebagai bagian masyarakat Sunda atau seolah‑olah budaya Cirebon bukan budaya Jabar.
Baik Alwy maupun Pangeran Aref mengatakan, kalau masyarakat Pantura terus dimarginalkan, apalagi sekarang sudah menusuk pada marginalisasi unsur budaya, bukan suatu halangan bagi masyarakat Pantura untuk memisahkan diri dari Jabar.
Pemberian penghargaan apa pun kerap memunculkan ketidakpuasan. Bahkan pemberian hadiah Nobel pun tak jarang dinilai terlalu memanjakan negara-negara tertentu. Bagaimanapun, pemilihan seperti ini bukanlah lomba atletik atau angkat besi yang penentuan pemenangnya bisa dilihat secara kasat mata.
Pada awal Desember lalu, sebagai perbandingan, penghargaan yang diberikan oleh Akademi Jakarta (AJ) kepada penyair Sutardji Calzoum Bachri diprotes oleh sejumlah sastrawan. Alasannya, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pernah memberikan penghargaan kepada Sutardji melalui hadiah Chairil Anwar, padahal AJ adalah lembaga yang menginspirasi lembaga-lembaga seperti DKJ. Dengan demikian, penghargaan ini dinilai sebagai pekerjaan mendulang masa lalu, involutif, serta merupakan duplikasi nilai. Jadi, menurut mereka yang memprotes, pemberian penghargaan terhadap Sutardji tidak edukatif dan tidak kondusif untuk kemajuan kebudayaan Indonesia.
Kontroversi seputar penghargaan untuk Rendra dan protes para tokoh Pantura hendaknya menjadi catatan bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Penghargaan budaya adalah pengakuan atas kerja para tokoh atau lembaga budaya. Dan memang sudah sepantasnyalah penghargaan diberikan kepada siapa dan pihak mana pun yang sudah terbukti memberikan kontribusi bagi perkembangan budaya. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya tidak melakukan blunder dalam melakukan pemilihan. Pemerintah harus melakukannya secara objektif, lepas dari unsur politis, dan merangkul semua pihak.Sebagai tambahan, pemberian penghargaan umumnya lebih menonjol nuansa simbolis dan seremonialnya. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah apa saja langkah konkret setelah pemberian penghargaan seperti itu. Pemberian penghargaan hendaknya merupakan langkah awal yang diikuti langkah lain, yaitu memberikan kesempatan dan fasilitas seluas-luasnya bagi para pelaku seni dan budaya untuk mengekspresikan potensi mereka.

Tuesday, February 19, 2008

Cinta

(Cerpen ini dimuat di harian Seputar Indonesia, Minggu 17 Februari 2008)

I
PISAU lipat itu bergetar di genggamanku. Ah, pasti karena denyut jantungku yang kian kencang, seperti pegas di ambang retas. Pisau itu baru kubeli di toko kecil tak jauh dari rumahku. Hijau pupus warna tangkainya—seperti warna gaun kesukaannya, entah dari bahan apa, dan kecil saja ukurannya. Harganya pun tak seberapa. Dalam keadaan terlipat, paling-paling lima sentimeter pan­jangnya. Dalam keadaan terbuka, tajam ujungnya berkilat tatkala memantulkan cahaya.
Kalau kita berkaca, akan tampak wajah kita yang sebenarnya: mengerikan seperti denawa.
Tiap malam, keletak-keletuk sepatunya yang beradu dengan lapisan beton jalan gang kompleks perumahan memukul-mukul keheningan. Memukul-mukul jantung. Mula-mula samar, seperti ketukan ujung jari di tembok, makin lama makin nyaring. Iramanya selalu sama. Seperti nyanyian dua per dua, dengan tempo alegro.
Selalu ingin kusibakkan tirai jendela, kuintip remang jalan di muka, dan kunikmati sumber bunyi yang menggetarkan lebih dari komposisi Tchaikovski. Bila perlu, akan kubuka pintu kamarku, lalu keluar dan kutunggu dia di pintu pagar. Akan kusapa dia dengan ucapan selamat malam. Dan aku yakin dia akan menoleh dengan senyumnya yang paling mendebarkan. Udara akan tersaput dengan harum magnolia.
Seandainya waktu berkurang lima atau enam tahun, aku bahkan akan menunggunya di ujung jalan.
Aku akan menyapanya dengan segala kesopanan. Aku yakin dia akan menarik bibir merahnya dengan senyuman yang ramah. Kalaupun tidak, dia tentu akan menjawab sapaanku dengan lirik mata yang mendebarkan atau suara yang mendesis seperti bisik angin. Kalaupun tidak juga, aku akan memaksanya berjalan merendenginya di sepanjang gang yang sunyi. Bila perlu merangkulkan tanganku di pundaknya.
Tapi sampai ketukan itu larut di udara malam, aku masih terempas dalam kesunyian yang makin mengimpit.
Aku hanya bisa membelai permukaan bilah pisauku, pelan-pelan dari pangkal, dan aku merasainya seakan-akan jemariku menyusuri permukaan punggungnya—duhai, aku bahkan belum tahu namanya.
Tak lama lagi dia, setelah lelah sejak sore menghibur para lelaki yang kelelahan, akan sampai di rumahnya. Tepatnya, salah satu kamar di rumah mewah hampir di ujung jalan. Dia akan membuka pagar besi rumah itu, lalu akan terdengar derit yang menyilet hening, membuka kunci pintu samping, menutupnya kembali, berjalan menaiki tangga, dan membuka pintu kamar depan di lantai dua. Ketika pintu terbuka, pasti akan meruap wangi yang tak kalah segar dari dalam kamar. Mungkin dia akan langsung merebahkan tubuh rampingnya di kasur yang empuk dengan seprai merah muda yang harum. Mungkin juga dia akan membuka dulu bajunya, mengambil handuk, lalu membasuh tubuh telanjangnya dengan air yang sejuk.
Setelah itu, akan ia kenakan gaun tidur hijau pupus yang lembut. Sama lembutnya dengan hijau tangkai pisauku. Dia pasti sangat menyukai warna hijau. Gaun hijau sutra itu halus dan tipis sehingga akan menerawangkan warna kulitnya yang pualam dan bentuk tubuhnya yang mengingatkanku pada sosok Dewi Supraba.

II
OH, kenapa kamu selalu gelisah, lelaki? Kamu ingin keluar mencegat perempuan malam itu? Keluarlah. Muncratkan semua kepenatan dalam dadamu. Aku tak ingin menjadi penjara bagimu. Kalau kauanggap bahwa apa yang ada dalam pikiranmu akan membuatmu menjadi laki-laki, ayolah kumpulkan keberanianmu, buka pintu hati-hati supaya kamu yakin tak akan membangunkanku. Dan aku tak akan membuka mata seandainya pun aku bangun dan mengetahuinya. Bukalah pintu, menyelinaplah keluar seperti kucing. Bukankah laki-laki itu memang kucing? Tutup lagi pintu. Kalau perlu, kuncilah dari luar biar aku terkurung di dalam, dalam ketidaktahuan—setidaknya tidak tahu menurut anggapanmu.
Senyampang keletak-keletuk suara sepatunya masih menggema di telinga, keluarlah melalui pintu muka. Sapalah dia dengan segala kesopanan. Aku yakin dia akan menarik bibir merahnya dengan senyuman yang ramah. Kalaupun tidak, dia akan menjawab sapaanmu dengan lirik mata yang mendebarkanmu atau suara yang mendesis seperti bisik angin. Tapi, kalaupun tidak juga, jangan memaksanya berjalan merendenginya di sepanjang gang yang sunyi, apalagi merangkulkan tanganmu di pundaknya.
Pasti dia terlalu lelah karena sejak sore menghibur para lelaki yang kelelahan. Temani saja sampai rumahnya. Tepatnya, salah satu kamar di rumah mewah hampir di ujung jalan. Bukakan pagar besi rumah itu, hati-hati, pasti akan terdengar derit yang menyilet hening. Antar dia membuka kunci pintu samping, menutupnya kembali, berjalan menaiki tangga, dan membuka pintu kamar depan di lantai dua. Kamu pasti akan suka karena ketika pintu terbuka, akan meruap wangi yang tak kalah menyegarkan dari dalam kamar. Kamu pasti akan lebih suka kalau dia akan langsung merebahkan tubuh rampingnya di kasur yang empuk dengan seprai merah muda yang harum, apalagi kalau dia membuka dulu bajunya, mengambil handuk, lalu membasuh tubuh telanjangnya dengan air yang sejuk.
Bukankah kamu selalu membayangkan indahnya pemandangan itu?
Hei, kamu masih gelisah di sini, lelaki?

III
KELETAK-keletuk bunyi sepatuku yang beradu dengan lapisan beton memukul-mukul hening malam. Dan memukul-mukul dadaku. Aku seperti menjadi manusia soliter, sendirian hidup ketika alam semesta tidur. Dan sebentar pagi aku akan menjadi satu-satunya manusia yang mati ketika alam semesta hidup disiram matahari.
Oh, tidak, aku yakin, di sebuah kamar, seorang lelaki tengah gelisah. Hampir tiap malam aku merasakan sepasang mata memandang dari kegelapan seperti hendak menelanku. Aku tak pernah melihat mata itu. Tapi aku merasakan sorotnya, seperti sepasang garis sinar sejajar yang memancar dari sudut malam yang pudar.
Dasar lelaki, ayolah sibakkan tirai jendelamu, intiplah keremangan jalan ini. Akan lebih baik lagi kalau kau tidak terus-menerus sembunyi, tapi bukalah pintu kamarmu, lalu keluar dan menungguku di pintu pagar. Sapalah aku dengan ucapan selamat malam. Atau selamat pagi. Aku akan menoleh sambil kuberikan sisa senyumku.
Tapi sampai kulewati kamarmu yang temaram, aku hanya menjumpai kesunyian yang makin mengimpit.
Aku memang lelah karena sejak sore menghibur para lelaki yang mengaku kelelahan. Namun aku senang melakukannya karena dengan demikian aku menjadi makin tahu bahwa semua lelaki memang tolol.
Mereka saling berebut kekayaan sepanjang siang seperti binatang yang berebut makanan, hanya untuk dibuang dalam beberapa kejapan malam harinya, dengan alasan untuk mengusir kelelahan.
Ah, ayolah, lelaki, bukankah kamu sama dengan semua lelaki itu?

IV
AH, perempuan, maafkan aku. Kau terlalu indah, karena itu izinkan aku melukis tubuhmu, untuk bisa kunikmati sendiri lukisannya. Kamu terlalu indah untuk juga dimiliki lelaki lain.
Telah kusiapkan kuas yang khusus. Ujungnya memang tajam mengilat, dan tak perlu cat jenis apa pun untuk melukis tubuhmu. Mungkin aku akan memulai dengan ujung telunjuk kiriku sebagai semacam garis kasar, yang akan diikuti dengan ujung pisau lipatku. Ya, ya, akan kumulai dari bawah tengkuk lehermu. Bukankah di sana ada tato kupu-kupu yang membentangkan sayapnya yang biru? “Kenapa kau senang tato kupu-kupu?” begitulah aku akan bertanya lebih dulu. “Karena indah sekaligus rapuh,” pasti demikian jawabmu. Ironi yang indah, bukan?
Dari gambar kupu-kupu di tengkukmu, perlahan-lahan akan kususuri dengan ujung jariku, sekaligus ujung pisauku, lekukan di tengah punggungmu yang melandai dan bera­khir di lembah di antara tonjolan bokongmu yang membukit.
Lukisan Rembrant atau Monet, repertoar Beethoven atau Mozart, puisi Keats atau apalagi sekadar Goenawan, hanyalah ujung kuku dibanding keindahanmu.
Dan aku ingin menikmati sendiri.
“Aku ingin memilikimu selama hidupku. Dengan cinta.” Begitulah aku akan berbisik, sebelum kau meregang nyawa di puncak cinta. Mungkin kau akan tertawa, disertai air mata.

V
HEI, lelaki, apa artinya cinta?

VI
Ha-ha-ha!

Sunday, February 17, 2008

Republik Bodor

(Carpon ini dimuat di majalah Mangle No 2156, 12-20 Pebruari 2008)


IEU téh carita ngeunaan hiji nagara. Lain nagara urang tangtuna gé. Ngaranna téh nagara Aratnasun. Aya ogé nu pada nyebut Aisénodni. Tapi kulantaran pangeusi nagara téh bodor wungkul, éta nagara leuwih sohor ku ngaran nagri bodor.
Ngaranna gé nagri bodor, atuh présidénna, para menteri, anggota déwan, gupernur, bupati, walikota, camat, tepi ka para kapala désa, kabéh gé bodor wungkul. Kitu deui para bos pausahaan, para artis sinétron tur panyanyina. Para guru, murid, mahasiswa, wartawan, tukang baso, jeung nu séjénna, sarua kabéh gé bodor kénéh. Cindekna mah, sakabéh rahayat éta nagara téh bodor wungkul.
Kulantaran bodor téa, pagawéan maranéhanana téh sapopoéna nya ngabalodor. Paripolahna paripolah bodor. Beuteung burayut jiga balon, beungeut bodas kawas kapas, irung buleud beureum jiga kueh apem. Dibaju polkadot rupa-rupa warnana, atawa kumaha waé rupana, maranéhanana ting réngkénék di mana jeung iraha baé. Maranéhanana ngabodor ti saprak hudang isuk-isuk tepi ka reup saré peuting-peuting, di imah, di pasar, di mal, di kampus, di kantor-kantor, pokona mah di mana baé.
Da puguh bodor, atuh sistim politik éta nagara téh sakadaék wé, kumaha anu jadi pamingpin harita. Aya éta gé nu pada nyarebut ku maranéhna undang-undang dasar nagri bodor, tur tétéla pisan disebutkeun di dinya yen bentuk nagarana téh républik. Tapi da kanyataanana mah présidén bodor bet boga kalakuan sakumaha umumna para raja, malah osok leuwih ti éta: maharaja, najan tangtu wé maharaja bodor. Kitu deui para menterina, teu béda jeung para hulubalang raja. Ku sabab sistimnya teu puguh téa, présidén bodor bisa wé asalna ti partéy mana waé, kaasup partéy nu aya ngaranna wungkul.
Baheula, basa présiden bodor nu ti heula lungsur ku para mahasiswa nu geus bosen jaradi bodor, timbul harepan bakal aya perobahan. Harita teuing ti mana jolna, loba jelema anu ngusulkeun sangkan aya réformasi dina sagala widang.
Ngan hanjakal, para bodor jumlahna leuwih loba batan jelema. Kitu deui kakawasaanana leuwih kuat. Ku kituna, sora-sora anu ngusulkeun perobahan téh beuki lila beuki pareum. Antukna, nu kadenge mah angger wé sora ting cikikik jeung kecap-kecap anu teu puguh hartina. Sawaréh, loba jelema anu ahirna ngagabung jeung para bodor, ngajadi bodor. Sawaréh deui mah teuing ka marana lesna.
Ti saprak harita loba bodor anu dibaju sakumaha umumna jelema: maké jas seungit, pantalon rapih, dasi warna-warni, sapatu hérang ngagenclang, tur buuk diminyak fresh look téa. Ngan hanjakal, haténa jeung kalakuanana mah angger wé bodor.
Matak teu héran, basa maranéhanana ngarasa geus ngalakukeun réformasi, sihoréng ngan ukur api-api réformasi, nya réformasi bodor téa. Kitu deui, maranéhanana ngarasa geus milih jelema sina dilungguhkeun jadi présidén, tapi sihoréng nyalahan. Sabab, anu dipilih jadi présidén téh bodor pituin najan dibaju jiga jelema gé. Para menterina sarua kénéh, paripolahna angger bodor najan beungeut jeung pakéanana kawas jelema.
Bari seuri ting cikikik, para pajabat nagri bodor ngahakanan naon waé nu bisa dihakan, ngalegut naon waé nu bisa diinum, tur nyokotan naon waé nu kahontal, teu paduli éta téh lain anu maranéhanana. Di nagri manusa mah éta téh kasebutna korupsi. Tapi di nagri bodor mah lain. Teuing naon ngaranna. Nu puguh mah lain korupsi. Sabab, tacan kacaritakeun aya pajabat nagri bodor anu enya-enya dihukum kulantaran maokan duit nagara. Enya gé maranéhanana pada nyarebut koruptor, maranéhanana bet kalahka malik bungah. Teuing ku naon. Meureun pédah kabéh koruptor geuningan bisa kénéh jadi pajabat.
Malah mah para bos bodor anu nelegan duit nepi ka triliunan gé masih bisa kénéh bébas ka mana-mendi, bari euweuh tanda-tanda maranéhanana bakal dibui. Rék dibui kumaha, sagala bukti nu aya bisa laleungitan teuing ka mana.
“Abdi mah teu gaduh artos sapérak-pérak acan,” cenah ceuk salah sahiji pajabat bodor manten. Kituna téh bari imut, bangun anu teu boga dosa nanaon.
Heuheuy.
Ngan anéhna, sanajan dipaokan ku lobaan, sumber duit nagri bodor mah weléh ngocor waé. Mun diibaratkeun tangkal mah, subur pisan. Tangkal para pajabat bodor, tangtuna gé. Da ari tangkal rahayat bodor mah beuki lila beuki garing, euweuh daunan.
Nu ramé deui mah mun geus tepi kana waktuna lima taun sakali, nyaéta anu pada nyarebut pésta démokrasi téa. Pésta démokrasi rahayat bodor.
Leuh, saméméh pésta téa, hiji-hiji para inohong bodor naék kana panggung, ngabalodor pikeun narik haté rahayat bodor. Maranéhanana teu kudu éra ngawadul lantaran mun teu kitu mah cenah moal matak narik. Para koruptor ngawadul sual kumaha carana ngabasmi korupsi. Para pajabat bodor anu biasa ngaheureuykeun hukum pagedé-gedé wadul pikeun nanjeurkeun hukum. Para tukang ngawadul patarik-tarik sora ngeunaan cara pikeun nanjeurkeun kajujuran.
Ari pésta geus lekasan mah, naha éta para pajabat bodor inget kénéh atawa henteu kana sagala jangji maranéhanana, teu penting. Ngaranna gé bodor, maranéhanana ngarasa teu boga kawajiban pikeun ngalaksanakeunana.
Para pajabat bodor téh euweuh kaéra kitu? (Naon? Éra?)
Enya, é-r-a, atawa i-s-i-n. Di nagri bodor mah jigana geus lila pisan éta kekecapan téh ngaleungit, teuing ka mana.
Tingali wé geura barudak sakolana. Maranéhanana ukur sura-seuri lamun guru-guruna keur ambek ku lantaran teu maliré kana aturan sakola. Di imah nya kitu deui, barudak téh ukur ting séréngéh lamun kolotna ambek ku lantaran kanyahoan ngalakukeun kasalahan.
Tapi da uyah mah tara téés ka luhur. Barudak bodor mah boga kalakuan kitu gé tangtuna ngala ka indung-bapa jeung guru-guru bodor.
Sok wé tingali deui dina acara telepisi, loba pisan kajadian jelema teu uyahan nu umurna geus meh tunggang gunung ngagadabah barudak leutik bari jeung bangun anu teu ngarasa salah.
Tingali geura, dina acara-acara nu biasana disiarkeun tengah peuting, éta pangalaman nu kuduna disumput-sumput téh dibolékér-bolékérkeun sajalantrahna. Kahirupan marenahna mun keur dugem. Bobogohan kawas sato, teu boga ka éra. Ngahaja patukeur-tukeur pamajikan. Jeung réa-réa deui.
Tuh geura, para pajabat bodor anu ku saréréa pada nyaho ngalakukeun korupsi milyaran gé bet kalah ka ngahaja harayang diékspos dina surat kabar jeung telepisi, bari dibarung ku imut mun dipotrét atawa dirékam kaméra téh. Ceuk maranéhna mah, kalakuan maranéhna téh lain kalicikan, da teu ngarempak kana aturan tinulis atawa undang-undang.
Enya gé aya sababaraha kali pajabat bodor anu dibui alatan korupsi, lain hartina maranéhanana asup bui cara para maling kelas kambing. Maranéhanana mah di jero bui gé lir ibarat mondok di kamar suite hotél bintang genep, tur dilayanan jiga para putra raja. Maranéhanana bisa kénéh boga kabébasan ngalakukeun naon baé cara keur bébas kénéh. Para narapidana bodor téh masih bisa kénéh ngatur kabéh pausahaan maranéhanana, ngarasakeun kahirupan biasa, malah mah bisa kénéh jadi pamingpin organisasi maén bal nagara bodor. Sanajan préstasi maén bal éta nagri téh angger tikusruk, tur loba pihak anu ngusulkeun ngarah éta pamingpin téh lungsur tina korsi katua, éh, da keukeuh wé. Tuda éta, anak buahna siap ngabéla tohpati jiwaraga.
Geus kitu, para anggota déwan perwakilan rakyat bodor mah nurus tunjung teu katulungan. Maranéhanana unggal bulan tutuluyan ménta naék gajih jeung tunjangan hirup. Mun teu kitu, aya waé istilahna téh. Umpamana baé ménta sangkan tunjangan komunikasi téh ditaékkeun. Naon nu disebut tunjangan komunikasi, rahayat bodor mah teu nyarahoeun.
Para anggota déwan perwakilan rakyat bodor tuluy ngayakeun sidang istiméwa, paripurna, kabéh anggota haladir, da anu dibahasna gé pasualan anu pohara pentingna. Penting pikeun para anggota déwan bodor téa, nyaéta maranéhna merelukeun laptop. Alesanana kieu cenah: ayeuna téh apan jaman supra-modéren tur laptop téh geus jadi kabutuhan penting pisan ibarat pakéan. Ceuk maranéhanana téh, mun teu boga laptop, maranéhanana teu bisa ngalaksanakeun tugas ngabéla kapentingan rahayat sakumaha kuduna. Rék katepi ku akal atawa henteu, teu jadi sual, da bodor mah tara mikir. Ku kituna, ayana laptop geus jadi kawajiban. Laptopna gé lain laptop sambarangan, tapi produk pang anyarna kalawan spésifikasina gé pang canggihna. Hargana mahal saeutik mah teu nanaon. Kumaha mun aya rahayat bodor nu protés? Bejakeun wé yen éta téh pikeun karaharjaan rahayat. Naha enya para anggota déwan bodor téh bisa maké laptop, teu kudu ditanyakeun. Apan Tukul Arwanabodor gé bisa mamawa laptop bari sanajan teu bisa makéna. Heuheuy!
Tah, éta téh kabéh gé ngagambarkeun yén saenyana mah ti baheula gé para anggota déwan bodor mah teu kungsi ngalaksanakeun tugasna pikeun ngawakilan rahayat bodor. Kuduna mah apan ngadedengékeun naon saenyana aspirasi rahayat téh. Éta mah bet kalahka mikiran diri sorangan, paduli teuing nasib rahayat mah. Kuduna mah apan maranéhanana téh ngawaskeun para pajabat éksekutif. Éta mah bet kalahka ngadukung naon baé kaputusan pajabat éksekutif, da geus puguh beubeunanganana: Volvo, Mercy, atawa Toyota Auris.
Kadieunakeun nagri bodor téh katalangsara ku alatan bencana alam di mana-mana. Mun keur usum halodo, panas éréng-éréngan lir ibarat sagara keusik pabeubeurang. Walungan jeung talaga sararaat, leuweung kahuruan. Sabalikna, lamun keur usum hujan, walungan ngagalura di mana-mana, ngeueum ti désa nepi ka kota-kota. Pasir arurug. Bumi eundeur ku lini, gunung-gunung olab ngutahkeun lahar jeung lava. Lautan ngagolak nelegan mangratus rébu jelema.
Salian ti bencana alam, beuki loba waé kacilakaan téh. Kapal udara ragrag, kapal laut kalebuh, karéta api tisolédat tina rélna, beus tabrakan jeung treuk, jeung réa-réa deui. Korban mah geus teu kaitung deui jumlahna.
Ngan anéhna, para pajabat bodor mah angger pating barakatak bari ngabaheuhay. Ceuk pikiran maranéhanana, nu penting mah sagala mamala téh euweuh pakaitna jeung diri sorangan. Kari ngodok pésak wé, beulikeun kana indomi saratus dus, bikeun ka para korban, bari diliput ku média massa. Bérés.
***
HIJI poé, aya sababaraha urang rahayat bodor nu beuki teu sugema ningali kaayaan kawas kitu. Maranéhanana tuluy ka ditu ka dieu néangan manusa. Manusa enyaan, nu teuing di mana ayana. Maranéhanana neangan jelema anu pada nyarebut satria piningit téa, nu dipiharep pisan bisa ngaropéa kaayaan.
Ngan hanjakal néangan manusa modél kitu téh lir ibarat néangan jarum di jero walungan. Sababaraha kali maranéhanana yakin geus manggihan satria piningit. Tapi teu lila maranéhanana sadar yén nu kapanggih téh sihoréng… satria piningit bodor.
“Geus atuh lah. Nagri bodor mah da kuduna gé diparéntah ku bodor. Mun ku jelema, meureun nagri urang moal lucu deui,” kitu cenah ceuk salah sahiji pajabat bodor. Éta pamadegan téh pada satuju ku sakabéh pajabat bodor séjénna.
Right or wrong is my clown country, ceuk maranéhanana bari ngabarakatak. Dasar bodor.
Heuheuy deudeuh.
***

Monday, February 11, 2008

Bewara Kupas Tuntas

Bewara ini kudapatkan justru dari milis kisunda:

DI ATAS LAPANGAN BUBAT, TERBURAI LUKA DUA PERADABAN.
ANTARA KEJAYAAN MAJAPAHIT DAN KEHORMATAN SUNDA GALUH.
DEMARKASI BUDAYA MEMBUNCAHKAN PRASANGKA JAWA-SUNDA.
BAGAIMANA KINI SUNDA DAN JAWA MELIHAT TRAGEDI BUBAT?
BAGAIMANA PANDANGAN LANGIT KRESNA HARIADI (PENGARANG NOVEL"PERANG BUBAT") DAN HERMAWAN AKSAN (PENGARANG NOVEL "DYAHPITALOKA") MENGENAI PERISTIWA TERSEBUT?
SAKSIKAN EPISODE "SANDYAKALANING LANGIT BUBAT"

K U P A S T U N T A S
SELASA, 12 FEBRUARI
2008 PUKUL 23.30 WIB
HANYA DI TRANS7

Thursday, February 7, 2008

Ucapan Terima Kasih untuk Editor

SAHABAT saya, Endah Sulwesi (seorang penulis ulasan buku di sebuah blog internet, dan belakangan di media cetak juga), beberapa waktu lalu dengan nada penuh rasa kasihan bercerita tentang peluncuran sebuah buku: “Her, nama kamu sama sekali tidak disebut-sebut oleh penulisnya. Jangankan berterima kasih, menyebut sekali pun tidak.”
Buku itu adalah sebuah memoar dan saya merasa mendapat kehormatan menjadi penyunting naskahnya sebelum diterbitkan. Meski masih muda, penulisnya memang sudah dikenal banyak orang. Peluncuran itu pun berlangsung secara mewah di sebuah hotel megah, dihadiri banyak tokoh penting, mulai dari selebritas, wartawan senior, dan tokoh pendidikan, serta diliput pers secara cukup luas.
Sehari sebelumnya, Endah sempat bertanya: “Kamu dapat undangan peluncuran buku itu?” Saya menjawab tidak. “Memangnya kapan diluncurkan?” tanya saya. “Besok,” jawab Endah.
“Bahkan dalam bukunya, di antara deretan orang yang diberi ucapan terima kasih, namamu tidak disebut-sebut,” kata Endah. Waktu itu saya memang belum melihat bukunya. Dan tulisan pengantar dari sejumlah orang serta beberapa lampiran memang di luar tugas penyuntingan saya.
“Tapi namaku sebagai penyunting tercantum, kan?” seloroh saya.
“Ya, tentu saja itu sih ada.”
Saya kurang yakin waktu itu, apakah saya merasa sedih, kecewa, atau biasa-biasa saja ketika saya berkomentar: “Ya, sudah, enggak apa-apa. Aku cuma editor, editor lepas pula, dan seorang editor biasanya memang tidak pernah banyak disebut-sebut. Editor adalah orang yang katakanlah cukup berada di belakang layar. Editor mungkin bagian penting dari sebuah proses penerbitan, tapi tak perlu berharap banyak untuk bisa dianggap sebagai berperan penting kalau dibandingkan dengan misalnya pemberi kata pengantar, apalagi penulisnya.”
Belakangan saya sempat berpikir, seberapa penting sebenarnya peran editor sehingga layak, atau tidak layak, mendapat ucapan terima kasih dari penulis buku? Tak ada pihak lain yang bisa mengukur seberapa penting peran sang editor. Apakah setelah mendapat sentuhan editor sebuah naskah akan menjadi lebih baik, sama saja, atau lebih buruk, hanya si penulis dan Tuhan saja yang tahu.
Editor, atau redaktur di sebuah media massa, berhak memoles tulisan seseorang yang hendak dimuat. Pembaca nyaris tak pernah tahu apakah tulisan yang kemudian dimuat itu lebih baik, atau lebih buruk, daripada tulisan aslinya. Pembaca hanya tahu tulisan itu karya si penulis dan hampir pasti tidak berpikir sejauh mana peran si redaktur. Redaktur, sekali lagi, hanyalah orang yang ada di belakang layar. Sebagai tambahan, kalau tulisan itu menjadi lebih baik, belum tentu si penulis mengucapkan terima kasih. Sebaliknya, kalau tulisan itu menjadi lebih buruk (setidaknya menurut sudut pandang si penulis), si penulis pasti marah-marah, setidaknya bersungut-sungut. Jangan lupa, banyak penulis kita yang enggan tulisannya diedit meskipun sekadar titik atau koma.
Pada proses penerbitan buku pun, editor harus berperan untuk memoles sebuah naskah menjadi buku yang baik. Baik di sini, tentu saja, bukan hanya persoalan titik dan koma, tapi juga—diharapkan—sukses di pasaran. Bersama penulis, layouter, dan marketer, editor tergabung dalam sebuah tim yang menentukan sukses sebuah buku. Karena itu, editor harus memiliki kemampuan tidak hanya pada titik-koma atau pengetahuan kata baku dan tidak baku. Menurut Bambang Trimansyah, seorang praktisi perbukuan, editor semestinya profesi yang serba bisa, yaitu punya kemampuan sebagai problem solver, decision maker, public speaker, serta effective people.
Sayangnya, memang, belum banyak editor penerbitan di Indonesia yang memiliki kemampuan serba bisa seperti itu. Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa editing merupakan salah satu kelemahan terbesar penerbit di Indonesia. “Tidak pernah ada editing yang sungguh‑sungguh. Saya sering bilang, editor itu seharusnya lebih pintar dari pengarangnya karena ia harus mengolah kembali naskah dari si pengarang itu. Misalnya kita diminta menerjemahkan, karena diminta, kita mengerjakannya cepat sekali. Nah, tugas editorlah yang kemudian menjadikannya sebagai karya yang benar‑benar bagus untuk diterbitkan,” kata sang penyair.
Tentang kerja editor ini, Sapardi punya pengalaman yang cukup baik dengan editor penerbit Obor yang menerbitkan terjemahannya, Amarah karya John Steinbeck. “Kalau ada hal‑hal yang mengganggu dalam terjemahan saya itu, si editor menghubungi saya. Kadang menanyakan soal konsistensi penulisan. Saya senang dengan proses seperti itu. Soalnya, hasil terjemahan itu kan tidak untuk saya. Saya menerjemahkan untuk orang lain, pembaca, karena itu orang lain harus bisa baca,” kata Sapardi.
Menurut saya, editor memang perlu terus-menerus berkomunikasi dengan penulis. Penulis pastilah bukan nabi, yang nyaris tak melakukan kesalahan. Dan tugas editorlah untuk menemukan kesalahan, kemudian memperbaikinya, tentu atas perkenan sang penulis.
Ketika menyunting sebuah naskah novel, editor mestinya tak segan-segan memberikan usulan perbaikan kalau sekiranya menemukan kesalahan atau kekurangan, lebih-lebih jika berkaitan dengan logika. Banyak novel Indonesia yang ceritanya tidak masuk akal. Dan, menurut saya, editor turut menyumbang terhadap terbitnya karya yang ceritanya tak masuk akal itu.
***
NAH, nyaris secara iseng saya membuka-buka sejumlah buku. Yang pertama adalah salah satu best seller yang tentu tak asing lagi bagi para penggemar buku, yakni Da Vinci Code karya Dan Brown. Beginilah Brown menulis pada bagian awal buku itu: “Pertama-tama dan yang utama, bagi sahabat dan editorku, Jason Kaufman, karena bekerja amat berat untuk proyek ini, dan terima kasihku untuk pemahaman yang sungguh-sungguh pada makna dari buku ini.” Setelah itu, barulah Brown menghaturkan ucapan terima kasih untuk agennya, tim risetnya, dan seterusnya.
Kemudian saya membuka buku Memoirs of a Geisha. Di bagian akhir bukunya ini, Arthur Golden pertama-tama memberikan ucapan terima kasih kepada Mineko Iwasaki, seorang geisha top Gion tahun 1960 dan 1970-an. Kemudian kepada istrinya, Trudy. Lalu, “Robin Desser dari Knopf adalah jenis editor yang diimpikan setiap pengarang: penuh gairah, berwawasan luas, bertanggung jawab, selalu siap membantu—dan lagi pula sangat menyenangkan.” Baru kemudian ia berterima kasih kepada agen, sahabat, dan seterusnya.
Dalam Spring Moon, Bette Bao Lord mengucapkan terima kasih “Untuk Orang tua Cina dan Amerika-ku, suamiku, Winston Lord, dan editorku, Corona Machemer. Untuk segala kebaikan yang takkan terbalaskan.”
Sonia Nazario, pemenang Pulitzer 2003 melalui buku Enrique’s Journey, mengakui dalam bukunya itu bahwa ia tak akan mampu mengerjakan buku ini tanpa dukungan para editor Los Angeles Times, surat kabar yang pertama kali memuat tulisan bersambung Enrique’s Journey, yang menjadi dasar buku ini. Ia mengungkapkan terima kasihnya yang pertama untuk Rick Meyer dan John Carroll, dua editor LA Times. Kemudian, di penerbit Random House, “saya ingin berterima kasih kepada editor saya, Dan Menaker, yang masukan dan kegairahannya untuk buku ini membuat setiap bagian dari cerita ini lebih baik, dan editor Stephanie Higgs serta editor produksi Evan Camfield atas kehati-hatian yang mereka tunjukkan dalam bekerja untuk membuat yang terbaik dari masing-masing bagian buku.”
Banyak buku lain, terutama buku terjemahan, memuat ucapan terima kasih yang sama. Buku-buku karya penulis Indonesia, di pihak lain, tak banyak yang memuat ucapan serupa. Yang menarik, beberapa di antara buku penulis kita memuat kata pengantar dari orang-orang penting, termasuk pejabat. Tapi ini soal lain. Di antara sedikit penulis yang mengucapkan terima kasih buat editor bukunya adalah Dewi Lestari (Dee). Dalam Supernova, Akar, Dee berterima kasih kepada sederet banyak orang, kemudian kepada “Erwinthon Napitupulu, editor saya yang teliti dan membangun.” Setelah itu kepada sahabat dan teman kerja.Mengucapkan terima kasih, tentu saja, bukanlah sebuah keharusan, melainkan sekadar menunjukkan apakah seseorang bisa bersikap rendah hati atau tidak, mengakui atau tidak bahwa ia memiliki sejumlah keterbatasan.

Wednesday, February 6, 2008

Cerpen Nirwan Dikritik Habis

Tampaknya banyak yang tidak menyukai "kubu" Teater Utan Kayu (TUK), termasuk di dalamnya Nirwan Dewanto, yang dinilai memosisikan diri sebagai pembawa bendera sastra paling berkualitas di negeri ini.
Aku ingat dalam sebuah diskusi di CCF, mungkin setahun lalu, Nirwan bilang begini: tak ada puisi bagus di Indonesia. Duh, sombongnya orang ini, pikirku waktu itu. Kata-kata Nirwan menyulut "kemarahan", antara lain, Soni Farid Maulana.
Berikut ini sebuah postingan di sebuah blog tentang kritik terhadap Nirwan.

Saut vs TUK

Aku "menemukan" sebuah tulisan hasil wawancara dengan Saut Situmorang, yang dengan boemipoetra-nya bertekad menghancurkan Teater Utan Kayu (TUK). Bacalah di sini.

Tuesday, February 5, 2008

Kisah Aluminium Foil Seribu Rupiah

Selasa, 5 Februari, aku naik buskota AC dari terminal Leuwipanjang, pada siang yang cukup membakar aspal. Bus masih berhenti menunggu penumpang, dan aku naik dari pintu depan. Aku duduk di kursi deretan ketiga atau keempat dari depan. Aku baru duduk beberapa detik saja, seorang pengasong membagi-bagikan sesuatu, yang ternyata berupa aluminium foil dalam bungkus plastik, seukuran kira-kira 5x20 cm persegi.
Namun kursi yang kududuki terasa terlalu dekat dengan kursi di depannya sehingga kakiku tersiksa. Lutut harus beradu dengan kerasnya kursi depan. Maka aku memutuskan pindah ke kursi di deretan agak belakang. Aku tidak menyadari bahwa ketika aku pindah, si pengasong yang berjualan aluminium foil itu sedang mengambili dagangannya. Yang berniat membeli ya langsung bayar, yang tidak ya mengembalikan.
Ketika aku sudah menemukan tempat duduk yang lebih nyaman, si tukang asong itu sudah turun dari bus. Dari jendela kaca, aku celingukan mencari-cari, tapi ternyata tak kelihatan. Ah, betapa kejamnya aku, kenapa tidak turun dan mencarinya di bawah?
Di balik lembaran aluminium itu terbaca harganya: Rp 1000. Juga manfaat dan cara memakainya: aluminium ini bermanfaat untuk menambal barang yang bocor, semisal panci, talang, wajahn, dan sebangsanya. Cara memakainya sangat mudah: bersihkan dulu barang yang akan ditambal, lepaskan lapisan belakang aluminium, lalu tempelkan bagian yang ada perekatnya ke permukaan barang.
Sempat bingung juga aku. Apa nanti kutinggalkan saja di kursi bus? Kalau demikian, ada kemungkinan barang ini diambil orang lain entah siapa, dan kemungkinan besar tak akan pernah kembali ke si pengasong. Atau kubawa saja ke rumah? Toh harganya cuma seribu. Mungkin aku bisa memanfaatkannya untuk apa saja. Mungkin juga untuk semacam koleksi atau apa lah namanya.
Namun dua kemungkinan ini terasa membentur sesuatu dalam hati. Aku bukanlah orang yang terlalu peduli pada orang lain. Tapi kali itu aku sempat membayangkan: si pengasong itu mungkin membawa 20 atau 30 lembar dagangannya. Katakanlah dari satu lembarnya ia mendapat keuntungan 500 rupiah, maka kalau semua jualannya laku, ia memperoleh keuntungan 10-15 ribu rupiah. Dengan hilangnya salah satu dagangannya, ia sudah jelas rugi seribu rupiah. Aku yakin, nilai seribu ini sangat berarti baginya.
Ketika bus sudah berjalan dan kondektur mulai menariki uang dari penumpang, tiba-tiba aku punya gagasan. Saat si kondektur sampai di tempatku, dengan cepat kusodorkan aluminium foil itu.
"Kang, tolong saya titip ini buat dikembalikan lagi ke si pengasong. Tidak sempat terambil sama dia," kataku.
Kondektur itu tersenyum ramah. "Oh, iya," katanya seraya menerima barang itu dan menyimpannya di saku bajunya.
Setelah itu, dadaku benar-benar lega. Aku berdoa semoga aluminium foil itu kembali ke tangan yang berhak.

Monday, February 4, 2008

Tampil di Majalah Gatra


Kali ini aku tampil di majalah Gatra, edisi 31 Januari-6 Februari 2008, pada rubrik Buku halaman 84, dalam tulisan berjudul Obat Dahaga Rumah Ketidakpastian, hasil wawancara beberapa waktu lalu, dan tentu saja digabung dengan narasumber lain, yakni Langit Kresna Hariadi, E.S. Ito, Asvi Warman Adam, dan lain-lain. Fotoku juga nampang di sana, hasil pemotretan di Taman Ganesha, ITB.
Demikianlah kutipan dari tulisan yang disusun Rita Triana Budiarti itu (tentu saja yang menyangkut diriku, hehehe!):

... "Perang Bubat itu kan terjadi karena kesalahpahaman, multitafsir atas peristiwa sebenarnya," tutur Hermawan, yang wartawan surat kabar Tribun Jabar.
Dalam novelnya, Hermawan menampilkan Dyah Pitaloka, putri Raja Linggabuana dari Kerajaan Sunda Galuh (Pajajaran), sebagai sosok feminis pada masanya. Ia tak hanya rupawan, melainkan juga cendekia yang pandai berdebat.
... Dalam versi Hermawan, Linggabuana ingin Hayam Wuruk menjemput calon istrinya. "Sudah merendahkan diri, masak nggak dijemput?" kata lelaki asal Brebes, Jawa Tengah, itu.
Tapi Hermawan tidak menempatkan Hayam Wuruk sebagai tokoh yang layak divonis bersalah. Biang keladinya justru ambisi Gajah Mada.
... "Hayam Wuruk tidak berani menolak Gajah Mada," Hermawan menambahkan.

Tentu saja itu sekelumit. Tulisan keseluruhan, plus beberapa foto, memakan empat halaman. Pokoknya, tulisan Rita keren deh.

Teganya Menipu Teman


Pameran buku kali ini kurang membuatku antusias. Sabtu lalu aku ke sana, dan hanya membeli satu buku, Pasar Jawa, Abad VIII-XI, diskon 50 persen menjadi Rp 12.500, dari stan Penerbit Kiblat Buku Utama.
Ketemu Yus R. Ismail, temanku sesama penulis. Ia cerita tentang betapa beratnya membangun penerbit buku. Masalah paling berat adalah penipuan yang dilakukan para agen. Salah satu nama yang disebutnya adalah Doddy Achmad Fauzi, salah satu penulis asal Bandung yang pernah menjadi wartawan Media Indonesia. Nilainya puluhan juta rupiah. Doddy kini tak bisa dihubungi lagi. Aku geleng-geleng kepala. Kok tega-teganya menipu teman sendiri.
Yus kini lebih banyak menerbitkan buku yang sudah pasti dibeli. Misalnya buku karya Usman Supendi, teman kami yang juga dosen di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung. Buku ini pasti dibeli, setidaknya 300-an eksemplar, sesuai dengan jumlah mahasiswanya, yang pasti menurut kalau diwajibkan membeli.
Aku juga ketemu Erwan Juhara dan temannya (aku lupa namanya). Si teman ini menanyakan apakah aku punya naskah Sunda. Aku segera membatin: wah, ini pasti ada hubungannya dengan proyek Bapusda, hehehe.
Pada hari terakhir, Senin, 4 Februari, aku ke Landmark lagi, juga dengan niat tak akan beli (banyak) buku. Eh, begitu lewat stan Pustaka Hidayah, ternyata banyak buku bagus dan murah. Maka aku melupakan niatku, dan meraup enam buku, seharga Rp 99.000, ditambah bonus 1 buku. Buku novel The March karya E.L. Doctorow harganya 15 ribu saja, dari aslinya 49.900. Novel Praha karya Arthur Phillips pun hanya 16.000, dari semula 54.900. Gimana tidak menggiurkan?
Sayang uang di dompet hanya segitu. Aku sudah meniatkan diri kembali ke sana setelah menerima honor juri di kantor. Malang tak dapat ditolak, honor diberikan besok, kata Peppy. Alamak...

Friday, February 1, 2008

Pwahaci Rababu

Cerpen ini dimuat di harian Pikiran Rakyat hari ini, Sabtu, 2 Februari 2008. Cerpen ini kumaksudkan merupakan petikan dari sebuah cerita panjang. Novel lah. Versi yang dimuat bisa disimak di http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=10383



GALUH, tahun 582 Saka.
Jalantara melangkah pelan seperti kucing, menyelinap waspada di antara bayangan gelap tiang-tiang ruang tengah. Langkah kakinya seringan kupu-kupu dan telapak kakinya sehalus kapas menapaki lantai kayu.
Yang membuat langkahnya terhambat bukanlah rasa takutnya akan menimbulkan bunyi sepelan apa pun di tengah kesunyian malam yang tengah mencapai puncaknya. Sebagai lelaki yang kemampuannya sudah hampir mencapai sempurna, ia bisa membuat kesunyian tetaplah kesunyian. Yang membuatnya harus berkali-kali menahan langkah adalah bunyi debar di dadanya.
Usianya sudah lewat dari pertengahan tiga puluhan. Namun selalu saja ia tak mampu meredam gejolak di dadanya setiap mengenang wajah Nay Pwahaci Rababu. Sudah belasa tahun. Semenjak ia dengan dada yang membara menatap sang dewi bersanding di pelaminan dengan kakaknya sendiri.
Di pelaminan itu, ia ingat, Pwahaci Rababu tampak bersinar dalam kemudaan dan kecantikannya. Bersinar seperti purnama. Karena itu Jalantara lebih suka menyebut namanya Wulansari. Jalantara membayangkan seperti itulah wajah Sinta. Di sebelahnya, duduk kaku kakaknya sendiri, Sang Jatmika, dengan wajah yang entah kenapa tampak begitu suram dan tua. Jalantara tak tega membayangkan kakaknya sebagai, misalnya, Dasamuka. Namun tentu saja terlampau mengada-ada kalau ia membandingkannya dengan Rama. Bibirnya selalu mengerut seperti lelaki renta. Kakaknya memang sudah kehilangan banyak giginya sehingga nyaris semuanya tanggal. Dan ayah mereka sendirilah yang memanggil kakak sulungnya dengan nama Sempakwaja.
Ah, mengapa bukan dia yang bersanding dengan Pwahaci Rababu? Ia pernah bertanya kepada sekian orang di istana. Jawabannya selalu sama: anak ketiga tak mungkin bersanding lebih dulu.
Mengapa harus dengan Rababu? Apakah ada kesepakatan di antara Sang Rajaresi Wretikandayun dengan Resi Kendan, ayah Rababu? Atau sekadar kecurangan Sempakwaja yang telah menculik sang putri?
Ia tak hendak memuji diri sendiri bahwa dialah yang sesungguhnya pantas dianggap sebagai Ramawijaya, satu-satunya lelaki yang berhak beristrikan Sinta. Jalantara lelaki yang tampan. Orang-orang berkata demikian. Mereka bahkan menyebut bahwa kulitnya bercahaya. Seperti kulit yang diselaputi minyak. Karena itu ia mendapat nama lain Mandiminyak.
Meski hanya sekilas, Jalantara ingat, tatkala duduk di pelaminan, Pwahaci Rababu sempat menatapnya dan ia menatap balik perempuan itu. Mereka bersitatap dan dada Jalantara diselimuti gelenyar yang sangat membahagiakan. Jagat seperti memusat pada diri mereka berdua. Tak ada orang lain, apalagi sekadar Sang Jatmika, kakaknya.
Berapa usia Pwahaci Rababu sekarang? Paling tinggi barulah tiga puluh. Namun, jarak waktu belasan tahun, dan dua anak lelaki yang beranjak remaja, tidak membuat Pwahaci Rababu kehilangan cahayanya.
Di tengah pesta perjamuan utsawakrama tadi, Pwahaci Rababu masih tetap menjadi pusat cahaya yang memancar gemilang ke seluruh ruang. Usia seperti tak pernah beranjak dari belasan tahun yang lalu. Tubuhnya tampak tetap semampai meski dibalut busana yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, hanya menyisakan dua bentuk tangan yang langsat dan sejenjang leher yang mengilat, serta rambut separuh mengurai karena hanya sebagian yang diikat dengan pita ungu dan berselip seuntai melati putih.
Pwahaci Rababu seakan memiliki kecantikan abadi. Seperti Dayang Sumbi. Seperti para dewi di langit tinggi.
Duduk berseberangan dalam perjamuan, mata Jalantara tak juga lepas dari wajah Pwahaci Rababu. Berkali-kali pula mata sang Pwahaci menatapnya. Keduanya saling tatap seperti belasan tahun yang lalu. Seperti dulu, dada Jalantara berdebar kencang. Dan seperti dulu, jagat terpusat pada diri mereka.
Bertahun-tahun ia memimpikan perempuan itu. Tentu saja tak mungkin: dia adalah kakak iparnya sendiri. Bertahun-tahun ia berusaha mencari perempuan yang sebanding dengan Pwahaci Rababu. Bukan hal yang sulit baginya, sebagai seorang putra mahkota, untuk menginginkan siapa pun perempuan di segenap pelosok negeri ini. Namun ia tak pernah menemukannya. Pwahaci Rababu adalah satu-satunya di dunia. Karena itu, bertahun-tahun ia belum juga menemukan perempuan yang bakal menjadi istrinya, mendampinginya dalam suka dan duka hingga nanti menjadi raja tanah Galuh.
Jalantara tak pernah membayangkan bahwa mimpinya akan menjadi nyata dengan cara yang begitu sederhana.
Atas persetujuan sang ayah, Rajaresi Wretikandayun, Jalantara mengadakan pesta perjamuan di istana Galuh. Namun secara resmi, ayahnya sendirilah yang menjadi pengundang. Ia memang menyukai pesta. Setidaknya, ia menyukai kegembiraan dan keramaian. Berbeda dengan dua kakaknya, Sang Jatmika dan Sang Jantaka, yang lebih suka hidup menyepi mendalami sisi kehidupan ruhani. Ia tidak tahu apakah kedua kakaknya benar-benar hidup hanya untuk agama atau karena mereka tak lagi punya hak atas takhta karena keterbatasan jasmani mereka. Jatmika cacat karena tak lagi bergigi, sedangkan Jantaka menderita kemir, sebuah penyakit yang cukup membuat nista sebagai pria. Keduanya pun tak mungkin menjadi yuwaraja (putra mahkota) sebagai calon pengganti Sang Wretikandayun. Sempakwaja kemudian menjadi Resiguru di Galunggung, yang membawahkan sejumlah kerajaan kecil, dan mendapat gelar Batara Danghiyang Guru. Adapun Jantaka menjadi resiguru di Denuh, dekat sebuah telaga di kawasan Galuh Selatan, dan mendapat gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul.
Jalantara sendiri kemudian tidak hanya menjadi yuwaraja yang hanya menunggu saatnya memegang takhta. Ia sudah menjadi wakil raja, menguasai sejumlah menteri dan pejabat istana, dan menjadi pimpinan angkatan bersenjata Galuh.
Perjamuan diadakan bertepatan dengan bulan purnama. Tiap tahun sebenarnya ia selalu merayakan tanggal ini, tanggal kelahirannya. Ia memang lahir di malam purnama, tiga puluh enam tahun yang lalu. Namun kali ini istimewa, karena ia ingin semua pembesar di negeri ini hadir. Semua pembesar dan pemuka Galuh, termasuk para penguasa kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Galuh, hadir dalam perjamuan meriah ini. Semua mendapat undangan resmi, termasuk Sang Sempakwaja. Namun kakaknya itu berhalangan hadir karena sedang sakit. Mengingat undangan itu datang dari ayahnya, Sempakwaja mengutus istrinya untuk mewakili.
Dan Pwahaci Rababu datang sendiri, hanya diiringi beberapa dayang dan pengawal. Dua anaknya, Purbasora dan Demunawan, lebih suka merawat dan menunggui ayahnya yang sakit dibanding datang ke pesta kakek mereka.
Jalantara tak pernah merencanakannya. Barangkali alam semestalah yang telah mengaturnya, pikir Jalantara. Ia tak tahu kakaknya sakit. Ia tak menyangka Pwahaci Rababu akan datang sendiri. Ia juga tidak sengaja menempatkan diri dan semua tamunya sedemikan rupa sehingga ia berhadapan di meja perjamuan dengan Pwahaci Rababu. Dan keduanya berkali-kali bertukar tatap.
Nyaris tak ada kata yang terucap. Mata merekalah yang bercakap-cakap.
Ketika dadanya bergolak oleh sebuah hasrat, Jalantara tak bisa lagi menikmati riuh bunyi gamelan dan lenggok gemulai para penari. Musik dan kecantikan para penari lenyap oleh satu-satunya kecantikan sejati, Pwahaci Rababu.
Jalantara benar-benar terlempar ke masa belasan tahun yang silam. Ia jatuh cinta. Ia tenggelam dalam jalinan asmara. Ia tergila-gila dalam pusaran sebuah smarakarya. Cinta yang tak lagi peduli tatasusila.
Ah.
Istana senyap. Para tamu sudah masuk ke kamar masing-masing. Hanya tinggal beberapa orang yang harus berjaga sembari membereskan bekas-bekas perjamuan.
Di taman yang terbuka, bayangan rumpun cempaka jatuh tegak lurus tertimpa purnama yang bertengger di puncak langit.
Ia sejenak ragu-ragu sebelum mengetuk pintu.
Sangat pelan.
Sekali. Dua kali. Tak ada suara apa pun dari dalam kamar.
Tiga kali.
“Wulan…”
Pintu terbuka perlahan. Mula-mula hanya bidang kecil, makin lama makin lebar, dan seraut wajah memancarkan cahaya dari dalam sana. Wajah yang selama ini diimpikannya.

2

PERJAMUAN itu berlangsung tiga malam, ketika bulan bulat menghias langit. Bukankah pesta tak pernah cukup kalau hanya semalam? Namun Pwahaci Rababu tinggal semalam lebih lama dibanding pestanya.
Mengapa dia tak langsung pulang ketika pesta telah usai? Pwahaci Rababu tak bisa menjawab pertanyaan seperti ini. Atau mungkin dia ingin mengingkarinya. Tak ingin mengakuinya. Dia hanyalah perempuan, dan perempuan tak terbiasa banyak membuat pertimbangan dengan kepalanya.
Apakah hatinya terpikat oleh Sang Mandiminyak? Dia ingin menggeleng untuk membuang perasaan seperti itu. Namun perasaan memang bersumber dari dalam dada, bukan dalam kepala. Belasan tahun lalu, dia sudah terpikat oleh ketampanan dan sorot mata tajam Jalantara. Belasan tahun lalu, ketika dia harus bersanding dengan seorang lelaki asing. Lelaki yang baru saja dikenalnya.
Dia tengah tenggelam hingga separuh dada di telaga bersama kedua teman perempuannya ketika dia baru sadar bahwa pakaiannya sudah tak ada. Apakah kedua temannya itu sedang mempermainkannya?
“Jangan bercanda. Mana bajuku?” tanya Wulansari.
Kedua temannya menggeleng. Wajah mereka tidak menunjukkan bahwa mereka sedang bercanda. Lagi pula, Wulansari pun tahu bahwa sejak semula mereka tak pernah beranjak dari kesejukan air semenjak sama-sama menanggalkan busana dan menyampirkannya di atas gerumbul perdu di pinggir telaga. Hampir satu jam mereka bermain air, menciprat-ciprat, menyelam, saling membandingkan kehalusan kulit mereka, dan menentukan payudara siapa yang paling besar.
Kini busana itu hanya tinggal dua. Tak ada lagi miliknya. Mana mungkin busananya lenyap tanpa sebab? Ketika kedua temannya sudah kembali berbusana, dia masih tenggelam di telaga.
Tiba-tiba dia ingat akan sebuah dongeng yang pernah diceritakan ayahnya, Sang Resi Kendan, tentang si bungsu dari tujuh bidadari yang tertinggal di telaga karena selendangnya dicuri seorang lelaki.
“Tolong carikan, ya,” pintanya memelas. Wajahnya pias.
Kedua temannya hanya bisa berputar-putar di sekitar, tanpa bisa menemukan apa yang mereka cari. Juga ketika mereka mencoba mencarinya lebih jauh dari telaga. Busana itu seperti lenyap di udara. Siapa yang tertarik busana sederhana itu? Bukan selendang warna-warni milik para bidadari. Hanya kain putih tanpa jahitan, yang biasanya pun sekadar dililitkan pada tubuhnya. Sama sekali tak bernilai walaupun sekadar untuk menjadi bahan curian.
Satu jam lebih mereka berputar-putar mencari kain Wulansari.
Gadis itu mengeluh dalam hati. Tentu saja tak mungkin dia pulang tanpa busana. Jarak dari telaga ke rumahnya ada ribuan langkah kaki. Apa nanti kata orang-orang? Dia bukan lagi gadis kecil. Dia sudah merasa dewasa. Payudaranya sedang tumbuh menuju kemekarannya, meskipun bukan yang terbesar di antara ketiga gadis muda itu.
“Duh, Hyang di langit tinggi, tolong hamba ini. Kembalikan kain hamba. Kalau ia perempuan, biarlah ia menjadi saudaraku. Kalau ia laki-laki, aku rela menjadi istrinya,” bisik Wulansari.
Entah dari mana kalimat itu muncul begitu saja di kepalanya. Apakah karena dia terlalu banyak mendengarkan dongeng dari ayah atau ibunya? Dan dia terkejut sekaligus menyesal. Bagaimana kalau yang datang kemudian adalah seekor anjing dengan pakaian di moncongnya? Namun dia tak bisa lagi menarik kata-kata yang sudah terucap.
Wulansari tengah mengusapkan air di wajahnya ketika terdengar sapaan bersuara berat.
“Ternyata tepat dugaanku.”
Wulansari cepat mendongak.
“Cantik sekali.”
Wulansari cepat menutupi kedua dadanya yang terbuka dengan tangannya. Wajahnya memerah, bukan oleh rasa malu, melainkan oleh rasa marah.
“Siapa kamu? Kurang ajar! Kembalikan pakaianku!”
Lelaki itu tertawa dengan suara yang aneh. Di tangannya tergenggam kain putih milik Wulansari.
Wulansari terpana. Mulut lelaki itu sama sekali tak bergigi. Mungkin karena itulah suara tawanya terdengar tak seperti orang-orang lain tertawa.
“Aku akan mengembalikan pakaianmu, dan aku laki-laki.” Lelaki itu tertawa lagi, memperlihatkan gua gelap dalam mulutnya yang mengerikan.
“Lelaki kurang ajar! Aku tadi cuma bercanda.”
“Ha-ha-ha! Bahkan para penghuni langit pun bisa mendengar suaramu. Dan janji seperti itu tak bisa ditarik. Apakah kau ingin menderita seumur hidupmu karena melanggar sumpah terhadap dewata?”
Wulansari mengeluh untuk kedua kalinya. Dia mengakui, manusia memang tak bisa main-main dengan kalimat sumpah.
Kalau saja lelaki itu mirip dengan lelaki dalam dongeng…
“Sudahlah, Nyi. Pakailah kain ini. Aku akan memboyongmu ke tempatku.”
Wulansari sekali lagi menatap wajah lelaki itu dengan sorot penuh penyesalan.
“Tentu saja aku akan lebih dulu melamar pada ayah-ibumu.”
Itu terjadi belasan tahun yang lalu. Ya, kalau saja lelaki yang mengambil kainnya itu adalah Sang Mandiminyak, adik bungsu lelaki yang bersanding dengannya tak lama kemudian…
Tatapan tajam Mandiminyak masih tetap seperti belasan tahun yang lalu, ketika diam-diam dia melirik dari tempat duduk di pelaminan. Dan Wulansari, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Pwahaci Rababu, selalu tak bisa menahan gejolak hatinya. Terasa ada sengat aneh yang selalu membiusnya.
Belasan tahun dia tak bisa melupakan sorot mata tajam itu. Belasan tahun dia menghabiskan malam-malam dengan mata terpejam, membayangkan bahwa lelaki yang selalu berada di pelukannya adalah Jalantara.
Oh, para dewi dan pohaci, ampunilah hamba… Mengapa kalian tumpahkan perasaan indah ini dalam situasi yang rumit?
Ini bukan cinta yang seharusnya dan dia tak hendak menyelam di dalamnya. Namun apa daya? Dia selalu luluh seperti kapas tertiup angin. Terbang menuju sebuah tempat asing yang selalu dia dambakan.
Pwahaci Rababu mencoba mengingat-ingat, barangkali dia pernah mendengar kisah, hikayat, atau dongeng seperti yang dia alami saat ini. Dia menggeleng. Dia akui, pengetahuannya akan dunia pasti terlalu sederhana, tapi dia yakin bahwa di negeri ini belum pernah dia dengar perempuan dengan derita asmara seperti yang melandanya.
Boleh jadi, dialah yang pertama.
Ya, dia menderita, sekaligus bahagia.
“Jadilah permaisuriku. Hanya kau yang layak mendampingiku di istana ini,” bisik Jalantara pada malam keempat dia berada di istana Galuh.
Pwahaci Rababu tersenyum dengan sudut-sudut mata yang basah.
“Senang sekali aku mendengarnya…”
“Apakah itu berarti bersedia?”
“Sayang tidak. Aku punya dunia sendiri, dan kau memiliki dunia yang lebih gemilang. Temukanlah perempuan yang lebih pantas menjadi bunga negeri ini.”
“Kaulah yang paling pantas.”
“Bukalah matamu, edarkan tatapmu, lihatlah luasnya langit. Negeri ini jauh lebih luas daripada sekadar sampai aliran Citanduy atau puncak Galunggung.”
Air mata Pwahaci Rababu membasahi dada telanjang Jalantara. Apakah empat malam di istana Galuh akan menjadi dosa asal bagi keturunannya?
Di luar, bulan yang tak lagi bulat tampak pucat.
***

Monday, January 28, 2008

Lurah Sajir dan OTB

Soeharto dan berbagai peristiwa dalam era pemerintahannya memberikan banyak gagasan bagi penulisan fiksi. Pada zaman itu, sangat sulit mengungkapkan kebenaran. Jurnalisme bungkam, kata Seno Gumira, maka sastra harus bicara.
Ada sejumlah cerpenku yang juga diilhami Soeharto. Di antaranya yang berikut ini. Judulnya Lurah Sajir dan OTB, dimuat di Suara Pembaruan, 26 Mei 1996.


KETUKAN lemah di pintu ruang kantornya mengagetkan Lurah Sajir. Entah kenapa, akhir-akhir ini jantungnya lekas sekali berdegup kencang.
Punten!”
Pak Kebayan membukakan pintu.
Mangga, mangga…”
Lurah Sajir mengusap keringat di keningnya.
Adut, lelaki kecil dan kurus itu! Belum tiga puluh, masih bujangan, sarjana ekonomi, tapi belum punya pekerjaan. Konon, ia lebih banyak membantu ibunya mengelola warung kecilnya. Sekilas memang cuma lelaki biasa.
Tapi ini! Entah siapa yang meniupkan, seperti angin, kabar itu cepat menyebar: Adut berhasrat jadi lurah pada pemilihan mendatang. Walah, anak bau kencur ingusan begitu! Kalau diurut-urut, kamu itu masih terhitung cucuku! Pengalamanmu baru sedangkal Cibogo!
Selama tiga windu ini, boro-boro menantang Lurah Sajir, sekadar adu pandang saja tak ada yang berani. Siapa yang berani! Dialah dulu tak lama setelah zaman kacau yang dengan gagah berani melawan kekuasaan si congkak Durno. Lurah lama yang mata keranjang, merasa diri paling ganteng, suka menggoda perawan dan janda bahenol (konon punya dua istri simpanan di kampung lain).
Juga suka menyengsarakan rakyat. Minta upeti seperti raja-raja zaman baheula. Lurah yang menurut Sajir golongan kiri. Sajir pula yang menyulut sebuah predikat paling menakutkan saat itu, ah, bahkan sampai kini.
“Durno pernah terlibat PKI! Durno PKI!”
Dengan heroik Sajir menantang Durno berkelahi satu lawan satu. Tentu saja Durno keder. Siapa tak kenal jawara Sajir, jagoan yang masa mudanya habis untuk berkelana ke Cirebon, Tegal, Sumedang, Garut, sampai Banten. Jurus-jurus macam Cimande dan Cikalong bisa dia gunakan sambil merem. Cuma, lantaran harga diri merasa terinjak-injak dicap PKI dan ditantang terus-menerus, Durno melayaninya. Jelas bukan lawan yang sepadan. Baru dua tiga jurus, bertekuk lututlah dia.
Sajir dielu-elukan pemuda. Diangkat-angkat tubuhnya seperti pencetak hattrick ke gawang musuh. Diarak sepanjang jalan kampung sebagai pendekar penumpas angkara. Secara aklamasi, Sajir, yang SR pun tak tamat, jadi lurah baru. Yang kemudian dilakukannya, carik diganti. Kebayan diganti. Ulu-ulu juga. Semua untuk kerabat sendiri. Ya, jadi pahlawan jangan tanggung-tanggung. Agar pembangunan lancar, semua yang tak sepaham mesti dibungkam. Hanya kerabat sendiri yang bisa diajak bekerja sama.
“Wah, ada angin apa, Nak?”
“Ini, Pak Lurah. Ada sedikit keperluan.”
“Ya, ya… silakan duduk.”
“Katakanlah ada semacam dorongan impulsif untuk menyuarakan barang satu-dua aspiratif yang tengah berkecamuk di kalbu sebagian penduduk kampung kita tercinta ini.”
Lurah Sajir menggeser duduknya. Merogoh kantong celananya, mencari saputangan.
“Ya, ya… yang jelas saja, Nak Adut.”
“Oh, mohon beribu maaf, Pak Lurah. Begini. Menurut opini subjektif saya, dalam sekitar dua puluh lima tahun kepemimpinan Pak Lurah Sajir, kampung kita berkembang maju. Dua kali juara lomba desa tingkat kabupaten, wow, bukan main. Sepakbola dan voli sering mendominasi kejuaraan Pordes tingkat kecamatan. Klompencapirnya juga maju sekali. Program pemberantasan buta huruf sukses. Banyak pelajar kita yang berhasil jadi sarjana.”
“Ah, itu kan berkat kerja sama kita semua.”
“Listrik telah masuk desa. Koran apalagi. Rumah-rumah penduduk berubah jadi mentereng dan terang benderang. Pakai beton segala. Banyak petani yang bisa beli televisi berwarna. Tip rekorder di mana-mana. Sepeda motor berseliweran. Kantor kelurahan ini pun begitu megah. Ada ruang serbaguna yang bisa untuk keperluan apa saja, termasuk bermain badminton. Taman di depannya sangat asri, dengan rumput manila dan bunga-bunga anggrek serta lampu hiasnya. Sungguh sedap dipandang mata.”
“Ah, itu kan berkat partisipasi rakyat.”
“Tapi…”
“Ya!”
“Selain itu, sekarang jalan-jalan dan gang-gang pada berlubang. Selokan macet. Kalau hujan, air mampet dan banjir. Jembatan Cibogo hampir runtuh. Bangunan SD Inpres nyaris ambruk. Pembangunan mesjid tidak tahu kapan selesainya. Hutan di bukit sebelah barat nyaris gundul. Sawah-sawah makin habis. Angka kriminalitas meningkat. Makin banyak terjadi pencurian. Bahkan ada anak kecil jadi korban perkosaan.”
“Ya, belum semua tertangani…”
Lurah Sajir menghapus lagi keringat di wajahnya. Rambut dan gumpalan kumisnya yang kelabu seperti layu, punggungnya kian membongkok.
“Ya, tentu tak ada manusia yang sempurna, termasuk saya dan Pak Lurah. Masalahnya, bukan tak mungkin terjadi depiasi dalam cara-cara Pak Lurah memanajemen kampung kita. Barangkali sudah terjadi akumulasi powership yang operdosis. Seperti kata orang sana power tends to corrupt.”
“Wah, saya kurang paham…:
Mulai terasa denyutan pada urat-urat di kepalanya.
“Tampaknya makin banyak terjadi mismanajemen, tapi tak mau diakui. Contohnya kasus Wahab dan kawan-kawan.”
“Pengacau pembangunan itu, ya?”
“Mereka bukan pengacau, Pak Lurah.”
“Tapi sikap mereka itu jelas bisa diartikan melawan pemerintah.”
“Bukan melawan, kok, Pak Lurah. Mereka cuma mau minta ganti rugi yang wajar. Bukan ganti untung, lho, Pak. Tanah semeter no ceng, kan, tak sepadan lagi dengan akselerasi harga-harga. Mana inplasi sudah dua dijit. Depresiasi rupiah terhadap dolar terus berlangsung. Dengan harga nominal serendah itu, mereka mau beli apa? Buat substitusi perut juga tak representatif.”
“Aduh, ngomongnya kok tambah njelimet!”
Makin pening kepalanya, perut bagai diaduk mikser.
“Belum lagi tempat berteduh. Mereka mau tinggal di mana nanti? Tanah lain tak ada. Katanya pembangunan untuk kepentingan umum. Siapa umum itu, Pak Lurah! Bikin real estat, kan, untuk beberapa gelintir elite saja, baik elite politis maupun elite ekonomis.
Coba Pak Lurah pinjemin tuh tanah bengkok, buat mereka bikin gubuk dan sedikit menanam hortikultura. Pasti nggak boleh, kan! Kalau gitu, mereka sungguh putureles, lho, Pak Lurah. Tuh, dua anak Kang Wahab nangis karena bakal kehilangan cita-cita. Istrinya meratapi peruntungan yang gradiennya konstan negatip…”
“Wah…”
“Apakah Pak Lurah tidak bisa sedikit turut berempati terhadap nasib mereka yang seperti jatuh terpuruk ke dalam sumur tanpa dasar? Apakah dalam hal ini telah terjadi kolusi antara elite kekuasaan dan elite bisnis, setidaknya pada level kelurahan? Atau apakah aparat tingkat kelurahan hanyalah wayang-wayang tak bernurani yang digerakkan oleh dalang-dalang mahasakti yang tak bisa dijamah?”
“Sudah, sudah! Pusing saya…”
Adut diam. Lurah Sajir bingung mau berkata apa. Keringat mencucuri wajahnya. Ia melirik Pak Carik dan Pak Kebayan. Keduanya serentak menegap-negapkan dada mereka. Akhirnya, Lurah Sajir bangkut dari kursinya.
“Begini saja. Siapa sebenarnya yang jadi beking kamu?”
Adut memandang Lurah Sajir dengan kening berkerut.
“Nggak ada, Pak Lurah. Sumpah, ini murni inisiatip saya sendiri. Soalnya saya merasa konsern dengan nasib dan masa depan mereka. Sudah pantas hal itu diperjuangkan.”
“Tak mungkin. Kamu begitu berani. Pasti ada oknum kuat di belakang kamu. Pak Camat? Danramil? Bupati?”
“Tidak, ini murni buah pemikiran saya, sebagai masukan buat Pak Lurah. Demi kebaikan kita semua.”
“Omong kosong!”
“Sumpah, Pak Lurah!”
“Sumpah, sumpah!”
Kini Lurah Sajir berkacak pinggang.
“Atau kamu OTB?”
Kali ini Adut terdiam menatap Pak Lurah dengan kening makin berlipat-lipat. Lurah Sajir menyeringai.
“Ya, bener kan, OTB? Lihat, Pak Carik! Lihat, Pak Kebayan! Bener nggak dugaan saya. Pasti bener. Anak muda ini pasti termasuk OTB. Kelihatan sekali dari caranya ngomong. Nggak jelas juntrungannya. Memang begitulah ciri OTB, suka memutarbalikkan fakta. Suka mengada-ada. Niat pembangunan malah dicurigai yang enggak-enggak. Ngomong seperti cuma dirinya sendiri yang bener. Orang lain semua salah! Dan, beraninya dia ngomong begitu sama aparat pemerintah.”
“Pak Lurah…”
“Pak Carik dan Pak Kebayan mau kan jadi saksi? Bagus. Di sini kita temukan seorang OTB. Nanti kita umumkan ke masyarakat.”
“Pak Lurah, ampun! Saya bukan OTB! Sumpah!”
Kecemasan membayang jelas di wajah Adut. Posisi Lurah Sajir kini di atas angin. Ia tertawa penuh kemenangan.
“OTB ya OTB saja!”
“Pak Lurah, sungguh, saya bersedia menarik semua kata-kata saya. Saya juga tak akan mencalonkan diri menjadi lurah, asalkan Pak Lurah tidak menganggap saya OTB. Sumpah mati, saya hanya anak muda biasa. Sama sekali bukan OTB…”
Sepeninggal Adut, Lurah Sajir kembali tertawa lepas. Pak Carik dan Pak Kebayan saling pandang.
“OTB, Pak Lurah?”
“Ya, Otak Tidak Beres!”
Tawa Lurah Sajir meledak lagi.
***