Monday, January 28, 2008

Lurah Sajir dan OTB

Soeharto dan berbagai peristiwa dalam era pemerintahannya memberikan banyak gagasan bagi penulisan fiksi. Pada zaman itu, sangat sulit mengungkapkan kebenaran. Jurnalisme bungkam, kata Seno Gumira, maka sastra harus bicara.
Ada sejumlah cerpenku yang juga diilhami Soeharto. Di antaranya yang berikut ini. Judulnya Lurah Sajir dan OTB, dimuat di Suara Pembaruan, 26 Mei 1996.


KETUKAN lemah di pintu ruang kantornya mengagetkan Lurah Sajir. Entah kenapa, akhir-akhir ini jantungnya lekas sekali berdegup kencang.
Punten!”
Pak Kebayan membukakan pintu.
Mangga, mangga…”
Lurah Sajir mengusap keringat di keningnya.
Adut, lelaki kecil dan kurus itu! Belum tiga puluh, masih bujangan, sarjana ekonomi, tapi belum punya pekerjaan. Konon, ia lebih banyak membantu ibunya mengelola warung kecilnya. Sekilas memang cuma lelaki biasa.
Tapi ini! Entah siapa yang meniupkan, seperti angin, kabar itu cepat menyebar: Adut berhasrat jadi lurah pada pemilihan mendatang. Walah, anak bau kencur ingusan begitu! Kalau diurut-urut, kamu itu masih terhitung cucuku! Pengalamanmu baru sedangkal Cibogo!
Selama tiga windu ini, boro-boro menantang Lurah Sajir, sekadar adu pandang saja tak ada yang berani. Siapa yang berani! Dialah dulu tak lama setelah zaman kacau yang dengan gagah berani melawan kekuasaan si congkak Durno. Lurah lama yang mata keranjang, merasa diri paling ganteng, suka menggoda perawan dan janda bahenol (konon punya dua istri simpanan di kampung lain).
Juga suka menyengsarakan rakyat. Minta upeti seperti raja-raja zaman baheula. Lurah yang menurut Sajir golongan kiri. Sajir pula yang menyulut sebuah predikat paling menakutkan saat itu, ah, bahkan sampai kini.
“Durno pernah terlibat PKI! Durno PKI!”
Dengan heroik Sajir menantang Durno berkelahi satu lawan satu. Tentu saja Durno keder. Siapa tak kenal jawara Sajir, jagoan yang masa mudanya habis untuk berkelana ke Cirebon, Tegal, Sumedang, Garut, sampai Banten. Jurus-jurus macam Cimande dan Cikalong bisa dia gunakan sambil merem. Cuma, lantaran harga diri merasa terinjak-injak dicap PKI dan ditantang terus-menerus, Durno melayaninya. Jelas bukan lawan yang sepadan. Baru dua tiga jurus, bertekuk lututlah dia.
Sajir dielu-elukan pemuda. Diangkat-angkat tubuhnya seperti pencetak hattrick ke gawang musuh. Diarak sepanjang jalan kampung sebagai pendekar penumpas angkara. Secara aklamasi, Sajir, yang SR pun tak tamat, jadi lurah baru. Yang kemudian dilakukannya, carik diganti. Kebayan diganti. Ulu-ulu juga. Semua untuk kerabat sendiri. Ya, jadi pahlawan jangan tanggung-tanggung. Agar pembangunan lancar, semua yang tak sepaham mesti dibungkam. Hanya kerabat sendiri yang bisa diajak bekerja sama.
“Wah, ada angin apa, Nak?”
“Ini, Pak Lurah. Ada sedikit keperluan.”
“Ya, ya… silakan duduk.”
“Katakanlah ada semacam dorongan impulsif untuk menyuarakan barang satu-dua aspiratif yang tengah berkecamuk di kalbu sebagian penduduk kampung kita tercinta ini.”
Lurah Sajir menggeser duduknya. Merogoh kantong celananya, mencari saputangan.
“Ya, ya… yang jelas saja, Nak Adut.”
“Oh, mohon beribu maaf, Pak Lurah. Begini. Menurut opini subjektif saya, dalam sekitar dua puluh lima tahun kepemimpinan Pak Lurah Sajir, kampung kita berkembang maju. Dua kali juara lomba desa tingkat kabupaten, wow, bukan main. Sepakbola dan voli sering mendominasi kejuaraan Pordes tingkat kecamatan. Klompencapirnya juga maju sekali. Program pemberantasan buta huruf sukses. Banyak pelajar kita yang berhasil jadi sarjana.”
“Ah, itu kan berkat kerja sama kita semua.”
“Listrik telah masuk desa. Koran apalagi. Rumah-rumah penduduk berubah jadi mentereng dan terang benderang. Pakai beton segala. Banyak petani yang bisa beli televisi berwarna. Tip rekorder di mana-mana. Sepeda motor berseliweran. Kantor kelurahan ini pun begitu megah. Ada ruang serbaguna yang bisa untuk keperluan apa saja, termasuk bermain badminton. Taman di depannya sangat asri, dengan rumput manila dan bunga-bunga anggrek serta lampu hiasnya. Sungguh sedap dipandang mata.”
“Ah, itu kan berkat partisipasi rakyat.”
“Tapi…”
“Ya!”
“Selain itu, sekarang jalan-jalan dan gang-gang pada berlubang. Selokan macet. Kalau hujan, air mampet dan banjir. Jembatan Cibogo hampir runtuh. Bangunan SD Inpres nyaris ambruk. Pembangunan mesjid tidak tahu kapan selesainya. Hutan di bukit sebelah barat nyaris gundul. Sawah-sawah makin habis. Angka kriminalitas meningkat. Makin banyak terjadi pencurian. Bahkan ada anak kecil jadi korban perkosaan.”
“Ya, belum semua tertangani…”
Lurah Sajir menghapus lagi keringat di wajahnya. Rambut dan gumpalan kumisnya yang kelabu seperti layu, punggungnya kian membongkok.
“Ya, tentu tak ada manusia yang sempurna, termasuk saya dan Pak Lurah. Masalahnya, bukan tak mungkin terjadi depiasi dalam cara-cara Pak Lurah memanajemen kampung kita. Barangkali sudah terjadi akumulasi powership yang operdosis. Seperti kata orang sana power tends to corrupt.”
“Wah, saya kurang paham…:
Mulai terasa denyutan pada urat-urat di kepalanya.
“Tampaknya makin banyak terjadi mismanajemen, tapi tak mau diakui. Contohnya kasus Wahab dan kawan-kawan.”
“Pengacau pembangunan itu, ya?”
“Mereka bukan pengacau, Pak Lurah.”
“Tapi sikap mereka itu jelas bisa diartikan melawan pemerintah.”
“Bukan melawan, kok, Pak Lurah. Mereka cuma mau minta ganti rugi yang wajar. Bukan ganti untung, lho, Pak. Tanah semeter no ceng, kan, tak sepadan lagi dengan akselerasi harga-harga. Mana inplasi sudah dua dijit. Depresiasi rupiah terhadap dolar terus berlangsung. Dengan harga nominal serendah itu, mereka mau beli apa? Buat substitusi perut juga tak representatif.”
“Aduh, ngomongnya kok tambah njelimet!”
Makin pening kepalanya, perut bagai diaduk mikser.
“Belum lagi tempat berteduh. Mereka mau tinggal di mana nanti? Tanah lain tak ada. Katanya pembangunan untuk kepentingan umum. Siapa umum itu, Pak Lurah! Bikin real estat, kan, untuk beberapa gelintir elite saja, baik elite politis maupun elite ekonomis.
Coba Pak Lurah pinjemin tuh tanah bengkok, buat mereka bikin gubuk dan sedikit menanam hortikultura. Pasti nggak boleh, kan! Kalau gitu, mereka sungguh putureles, lho, Pak Lurah. Tuh, dua anak Kang Wahab nangis karena bakal kehilangan cita-cita. Istrinya meratapi peruntungan yang gradiennya konstan negatip…”
“Wah…”
“Apakah Pak Lurah tidak bisa sedikit turut berempati terhadap nasib mereka yang seperti jatuh terpuruk ke dalam sumur tanpa dasar? Apakah dalam hal ini telah terjadi kolusi antara elite kekuasaan dan elite bisnis, setidaknya pada level kelurahan? Atau apakah aparat tingkat kelurahan hanyalah wayang-wayang tak bernurani yang digerakkan oleh dalang-dalang mahasakti yang tak bisa dijamah?”
“Sudah, sudah! Pusing saya…”
Adut diam. Lurah Sajir bingung mau berkata apa. Keringat mencucuri wajahnya. Ia melirik Pak Carik dan Pak Kebayan. Keduanya serentak menegap-negapkan dada mereka. Akhirnya, Lurah Sajir bangkut dari kursinya.
“Begini saja. Siapa sebenarnya yang jadi beking kamu?”
Adut memandang Lurah Sajir dengan kening berkerut.
“Nggak ada, Pak Lurah. Sumpah, ini murni inisiatip saya sendiri. Soalnya saya merasa konsern dengan nasib dan masa depan mereka. Sudah pantas hal itu diperjuangkan.”
“Tak mungkin. Kamu begitu berani. Pasti ada oknum kuat di belakang kamu. Pak Camat? Danramil? Bupati?”
“Tidak, ini murni buah pemikiran saya, sebagai masukan buat Pak Lurah. Demi kebaikan kita semua.”
“Omong kosong!”
“Sumpah, Pak Lurah!”
“Sumpah, sumpah!”
Kini Lurah Sajir berkacak pinggang.
“Atau kamu OTB?”
Kali ini Adut terdiam menatap Pak Lurah dengan kening makin berlipat-lipat. Lurah Sajir menyeringai.
“Ya, bener kan, OTB? Lihat, Pak Carik! Lihat, Pak Kebayan! Bener nggak dugaan saya. Pasti bener. Anak muda ini pasti termasuk OTB. Kelihatan sekali dari caranya ngomong. Nggak jelas juntrungannya. Memang begitulah ciri OTB, suka memutarbalikkan fakta. Suka mengada-ada. Niat pembangunan malah dicurigai yang enggak-enggak. Ngomong seperti cuma dirinya sendiri yang bener. Orang lain semua salah! Dan, beraninya dia ngomong begitu sama aparat pemerintah.”
“Pak Lurah…”
“Pak Carik dan Pak Kebayan mau kan jadi saksi? Bagus. Di sini kita temukan seorang OTB. Nanti kita umumkan ke masyarakat.”
“Pak Lurah, ampun! Saya bukan OTB! Sumpah!”
Kecemasan membayang jelas di wajah Adut. Posisi Lurah Sajir kini di atas angin. Ia tertawa penuh kemenangan.
“OTB ya OTB saja!”
“Pak Lurah, sungguh, saya bersedia menarik semua kata-kata saya. Saya juga tak akan mencalonkan diri menjadi lurah, asalkan Pak Lurah tidak menganggap saya OTB. Sumpah mati, saya hanya anak muda biasa. Sama sekali bukan OTB…”
Sepeninggal Adut, Lurah Sajir kembali tertawa lepas. Pak Carik dan Pak Kebayan saling pandang.
“OTB, Pak Lurah?”
“Ya, Otak Tidak Beres!”
Tawa Lurah Sajir meledak lagi.
***

Sunday, January 27, 2008

Selamat Jalan, Jenderal Besar...

Semua kata sudah tumpah dari berbagai arah
dari yang ramah hingga yang marah
Aku tak lagi kebagian
Apa lagi yang bisa kukatakan?

Friday, January 25, 2008

Perang Bubat di Kupas Tuntas

Sebetulnya ini bukan yang pertama aku (akan) tampil di televisi. Sebelumnya, dua kali aku diajak menjadi salah satu narasumber pada acara Golempang di Bandung TV. Sudah hampir dua tahun lalu, saat bukuku Dyah Pitaloka baru terbit. Yang pertama memang membicarakan buku ini (bersama sastrawan dua Sunda, Etty RS dan Aan Merdeka Permana), dan yang kedua tentang sastra Sunda untuk anak-anak (bersama sastrawan Sunda Dadan Sutisna). Dua-duanya dipandu oleh pengarang Sunda Dian Hendrayana. Acara Golempang disiarkan secara langsung.
Berarti ini kali ketiga aku muncul di televisi. Acaranya Kupas Tuntas, yang bakal disiarkan Trans 7. Tanggal tayangnya belum pasti. Acara ini dipandu Teguh. Temanya adalah Perang Bubat.
Taping-nya (rekaman) dilakukan sore hari ini di Saung Angklung Mang Ujo, Padasuka. Cuaca agak mendung, dan berkali-kali Teguh (adik Arya Gunawan) setengah berdoa: "Jangan hujan dulu, sepuluh menit saja."
Dengan kru sekitar lima atau enam orang, pengambilan gambar (dan suara tentu) berlangsung lancar. Sengaja diambil di tempat terbuka, dengan latar belakang alat musik angklung dan orang-orang yang sedang membuat angklung di sebuah saung.
Teguh menanyai aku sebagai narasumber yang memandang Perang Bubat dari kacamata orang Sunda. Sebelumnya, pendapat dari orang Jawa diminta dari Langit Kresna Hariadi (pengarang novel serial Gajah Mada) dan seorang arkeolog yang aku lupa namanya.
Bagaimana dan seperti apa tayangan acara itu berlangsung, aku sendiri tak sabar untuk melihatnya. Saat rekaman, aku sempat blank sekali. Mudah-mudahan diedit, hehehe.

Thursday, January 24, 2008

Alya

Ketika aku berangkat ke Bandung, minggu lalu, si kecilku, Alya, tampak loyo. Tubuhnya panas dan ia mengaku pusing. Masih terbayang saat aku naik ojek untuk menuju terminal, ia seperti biasa tetap melambaikan tangan, tapi dengan sorot mata yang sendu dan hanya sedikit senyum di bibir.
Beberapa hari ia lebih banyak terbaring di tempat tidur. Selain panas, dia juga batuk-batuk. Sedih rasanya tidak mendampingi dia ketika sakit. Namun dia tak mau bolos sekolah. Pada hari pertama sekolah, Senin lalu, dia masuk untuk kemudian dibubarkan pukul sembilan. Emang becak baru menjemput pukul 10, dan Alya harua menunggu di depan rumah orang sambil jongkok karena tak ada tempat duduk dan cuaca panas. Itu mungkin sebabnya tubuhnya panas lagi. Siangnya dia lebih banyak tidur. Beberapa hari dia makan sedikit. Berat badannya turun. "Jadi kelihatan tinggi," kata ibunya.
Hari ini, di telepon, Alya sudah terdengar ceria.
"Tadi apa pelajarannya?" tanyaku.
"Hanya IPA. Alya ga ikut olahraga."
"Bilang sendiri sama Bu Gurunya?"
"Iya. Bu Guru, Alya ga ikut olahraga ya, masih sakit."
Ada sesuatu yang menyesaki tenggorokanku. "Alya rangking pertama kan di sekolah?"
"Iya," jawabnya.
"Dapat hadiah nggak?"
"Dapat."
"Dari Bu Guru?"
"Bukan, dari Bapak."
Aku tertawa. "Emang mau hadiah apa?"
"Bawa bronis ya, kayak yang kemarin. Tiramisu."
"Iya, nanti dibawain."
Entah sampai kapan aku harus berjauhan dengan orang-orang tercintaku.

Wednesday, January 23, 2008

Fiksi Sejarah

Pukul setengah satu lebih lima menit--terlambat dari kesepakatan pukul setengah satu--aku bertemu dengan Rita Achdris dari majalah Gatra, di kafe CCF. Dia ditemani Malik, fotografer. Basa-basi sebentar, lalu ngobrol. Ceritanya sih aku diwawancara dengan tema fiksi sejarah, yang akan ditulis Rita di majalahnya, mungkin edisi mendatang ini.
Sebetulnya aku sedikit kecewa karena Rita ternyata belum tamat baca Dyah Pitaloka-ku. Jadinya, menurutku, wawancara ini agak timpang. Aku mesti menjelaskan sebagian alur cerita dalam novelku. Aku ingat cerita tentang Prof Mubyarto--kalau ga salah--yang suka lebih dulu menanyakan apakah wartawan yang mewawancarainya sudah membaca buku(-buku)nya. Kalau si wartawan bilang belum, pasti akan diusir. Aku tentu tidak seekstrem itu, hehehe. Siapa lah aku ini.
Rita bertanya soal sumber data bagi penulisan Dyah Pitaloka. Juga soal kontroversi Perang Bubat sendiri, yang oleh sebagian orang dianggap tidak pernah ada. Dst.
Di luar wawancara, Rita juga menyinggung pendapat Andreas Harsono, yang mengaku tidak setuju dengan adanya fiksi sejarah. Menurut Andreas, seperti dikatakan Rita (dan juga Endah Sulwesi tempo hari), jangan campur adukkan fakta dan fiksi. Kalau mau menulis fiksi, menulislah seperti Harry Potter. Penulisan fiksi sejarah dikhawatirkan Andreas akan "meracuni" pemikiran masyarakat. "Bagaimana kalau pada tahun-tahun mendatang masyarakat menganggap fiksi sejarah, misalnya Da Vinci Code, sebagai sejarah?" kata Rita, menirukan Andreas.
Sah-sah saja, tentu, Andreas berpendapat begitu. Dia berlatar jurnalistik dan (mungkin) sangat menyukai jurnalisme sastrawi, seperti yang ditonjolkannya pada diskusi novel In Cold Blood karya Truman Capote beberapa waktu lalu.
Menurutku sih, kekhawatiran Andreas berlebihan. Apakah karya-karya Shakespeare misalnya, yang banyak mengambil kejadian dalam sejarah, dianggap sebagai karya sejarah? Rasanya tidak. Saya juga yakin bahwa pembaca tidak bodoh dengan menganggap fiksi sejarah sebagai sejarah. Kalau saya balik, selain dongeng-dongeng (termasuk Harry Potter), adakah karya yang tidak berdasarkan data faktual? Kalaupun bukan fiksi sejarah, fiksi-fiksi yang dibikin berlatar waktu saat ini akan menjadi fiksi sejarah pada tahun-tahun mendatang.
Tentu saja, fiksi sejarah tidak bisa menjungkirbalikkan fakta sejarah. Kalau Perang Jawa berakhir saat Pangeran Diponegoro ditangkap pada 1830, kita tentu tak bisa menulis fiksi dengan latar 1835 dan Diponegoro masih berperang. Akurasi fakta tetap harus dimaksimalkan.
Namun bagiku, setuju atau tidak setuju bukan soal penting. Yang penting adalah ini: TERUSLAH BERKARYA, jangan berhenti hanya karena orang berbeda pendapat dengan kita.
Selesai ngobrol-wawancara, kami menuju Taman Ganeca, sebelah Mesjid Salman, ITB. Aku difoto di sana. Pose begini, begitu, dst. Duh, kayak artis beneran, hehehe.

Monday, January 21, 2008

Kucing Mak Icih

SEJAK semula saya sudah punya firasat bahwa kawasan Kebun Binatang bukanlah kawasan yang nyaman untuk tempat tinggal. Rumah-rumah berimpitan seperti kandang ayam. Hanya satu alasan mengapa saya memilih mengontrak kamar di kawasan ini: dekat kampus.
Ada tiga kamar di loteng ini. Saya sendiri menempati yang paling belakang. Kamar tengah ditempati oleh Irwansyah, mahasiswa Planologi dari Aceh. Pemuda berbadan gempal bulat berotot ini mempunyai kebiasaan tidur sore-sore, untuk mempersiapkan bangun pukul tiga dini hari. Itu saya perhatikan setelah saya tinggal di situ beberapa hari. Sedangkan kamar yang paling depan dihuni oleh Mas Toto, mahasiswa Geodesi tingkat akhir. Ia berasal dari Lampung, tapi orang tuanya merupakan transmigran dari Jawa Timur. Belakangan saya tahu bahwa Mas Toto yang bertubuh tinggi kecil ini mempunyai kebiasaan ngalong, baru berangkat tidur selepas subuh. Bangun tengah hari. Sungguh bertolak belakang dengan Irwansyah. Mungkin karena itu kulitnya sepucat mayat.
Janda pemilik rumah sendiri menempati bagian bawah, rumah yang hanya memiliki satu kamar tamu, satu kamar tidur, dan satu dapur sekaligus kamar makan, berderet ke belakang. Kamar mandi di pojok belakang, digunakan bersama oleh pemilik dan penyewa. Jalan menuju loteng di bagian kanan rumah menyerupai lorong yang sempit dan gelap. Suasana lembab dan gelap karena di sebelah kanan dan kirinya tembok rumah orang lain.
Dari cerita Mak Icih sendiri, demikian nama janda pemilik rumah itu, saya jadi tahu bahwa ia ditinggal mati suaminya lima belas tahun yang lalu karena kecelakaan mobil. Dulu suaminya pegawai kecil di kantor Walikotamadya. Kini ia mengandalkan hidupnya dari pensiun suaminya. Ia punya dua anak. Yang pertama, Ujang, sudah berkeluarga, tinggal di kawasan Cihampelas. Yang kedua, Nyai, anak perempuan yang masih menemaninya.
Beberapa hari setelah saya mendiami salah satu kamar rumah milik Mak Icih, sepulang dari kuliah saya mendapati Mak Icih tengah marah-marah di depan Irwansyah. Seekor kucing meringkuk di pelukannya.
“Kucing Ibu, Den, mau dibunuhnya! Ia menyiramnya dengan air panas! Untung Ibu lekas datang, kalau tidak…!”
Irwansyah sementara itu berdiri tenang bersandar di pintu kamarnya. Ia tak menjawab.
“Mungkin tak sengaja,” saya berusaha melerai.
“Ah, sudah jelas sengaja!”
Saya berusaha menenangkan Mak Icih dengan mengajaknya turun. Setelah berhasil, saya naik lagi ke kamar sendiri dan merebahkan diri tiduran. Namun saya masih mendengar omelan marah Mak Icih meledak-ledak seperti cambuk gembala kambing. Untuk mengatasai polusi suara itu, saya bunyikan radio kecil. Tentu lebih enak menikmati alunan merdu Mega Mustika daripada mendengarkan bunyi cambuk butut.
Pada suatu malam, sehabis nonton dunia dalam berita, saya berniat mengerjakan tugas pendahuluan untuk praktikum esok harinya. Saya baru saja membaca sebentar buku petunjuk praktikum fisika itu ketika tiba-tiba saya mendengar suara-suara aneh di luar. Mula-mula saya mendengar lengkingan seperti bayi menangis. Kemudian terdengar suara menggeram laksana suara raksasa dalam wayang golek. Setelah itu suara mirip bayi menangis lagi, disusul suara menggeram. Begitu seterusnya. Saya sedang sibuk menebak-nebak ketika mendadak suara-suara itu menjadi riuh susul-menyusul, disertai bunyi gedebak-gedebuk. Tak salah lagi, pasti kucing berkelahi. Konsentrasi belajar saya kontan berantakan. Bajingan! Padahal besoknya praktikum pukul tujuh pagi. Sedangkan mengerjakan tugas pendahuluan biasanya membutuhkan waktu paling tidak dua jam. Tanpa pikir panjang saya bangkit mengambil sapu, membuka pintu, kemudian mengayunkan sapu sekuat tenaga ke arah kucing-kucing yang tengah bergumul. Sayang tak kena, sementara kedua kucing jahanam itu berlarian ke depan, menghilang entah ke mana. Saya mengumpat sumpah serapah.
Saya sibuk memikirkan cara terbaik mencegah kegaduhan lebih lanjut yang dibikin kedua kucing itu. Ada gagasan terlintas untuk membeli golok. Saya akan membunuh kucing Mak Icih kalau lagi tidur siang hari. Kemudian saya cincang… Tapi ternyata saya merasa ngeri kalau hal itu saya lakukan. Sesungguhnyalah, saya tidak tahan melihat darah. Maka gagasan itu saya kubur dalam-dalam. Kemudian muncul rancangan lain, yaitu menjerat leher kucing itu. Saya akan memasang tali yang kuat ke lehernya untuk sedemikian rupa sehingga bila kedua ujung tali saya tarik, kucing itu akan menggelepar-gelepar kehabisan napas. Tetapi ternyata, saya tak punya nyali untuk itu. Tampaknya melakukan pembunuhan, meskipun hanya terhadap binatang, terlalu mengerikan.
Sementara saya belum menemukan gagasan yang baik, suatu hari saya iseng meletakkan bangkai seekor tikus kecil yang saya temukan di pojok kamar, ke dekat kucing Mak icih yang tengah tidur di depan kamar Mas Toto seperti biasa. Saya berharap kucing itu akan melahap bangkai tikus. Tetapi ketika bangun, kucing itu hanya menatap bangkai tikus itu. Kemudian menciuminya. Lalu menyepaknya untuk kemudian didekati lagi. Kadang-kadang kucing itu berguling-guling kesenangan seperti memperoleh suatu mainan. Tentu saja saya terkesima. Baru kali itu saya menjumpai kucing tak berselera terhadap tikus. Saya pikir, sombong benar kucing ini!
Tanpa saya ketahui, Mak Icih muncul dari belakang dan berkata dengan nada marah.
“Aduh, Den! Kucing Ibu mah tak pernah dikasih tikus!”
Mak Icih kemudian meraih kucingnya, membelai-belainya, dan menciumnya dengan mesra.
Pada suatu hari Minggu pagi saya berjalan-jalan di Jalan Cikapundung, melihat-lihat buku-buku dan majalah bekas. Juga menyaksikan aksi para penjual obat, pakaian, kacamata, jam tangan, dan, yang paling banyak, penjual nomor buntut SDSB. Tiba-tiba saya tertarik kepada sebuah ramuan yang dilengkingkan si penjual hingga mulutnya berbusa: racun tikus! Inilah mungkin yang saya cari. Tanpa menawar saya langsung membeli sebungkus.
Bukan untuk membasmi tikus, melainkan buat meracun kucing.
Sore harinya saya membeli dua bungkus nasi dan ikan di warung tak jauh dari rumah. Sebungkus untuk diumpankan kepada kucing Mak Icih setelah dicampur dengan racun tikus. Yang sebungkus lagi, tentu saja, buat makan sore saya sendiri. Campuran nasi dan racun tikus, eh racun kucing, saya letakkan di depan kamar Mas Toto. Mudah-mudahan kucing Mak Icih sore ini kelaparan dan langsung melahan umpan saya. Malamnya saya tak mendengar kegaduhan seperti biasanya. Bahkan ketika saya nonton TV di bawah, Mak Icih sempat mengeluh kucingnya tak kelihatan sejak sore. Agak berdebar juga saya mendengar keluhan Mak Icih. Pagi harinya saya menuju ke tempat umpan saya letakkan. Saya terkejut bukan main ketika mendapati kucing Mak Icih lelap tidur melingkar sehat wal afiat tak kurang suatu apa. Sedangkan umpan saya telah raib entah ke mana.
Baru kemudian saya mengetahui dari penuturan Mak Icih bahwa dia telah menemukan nasi campur ikan. Mak Icih menduga, makanan itu dicampur dengan racun, karena warnanya lain dengan makanan yang biasa ia sajikan.
“Ini pasti perbuatan si Irwansyah!” teriak Mak Icih.
Saya mengangguk-angguk, tentu saja tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Namun saya sempat heran, ke mana gerangan kucing Mak Icih semalam. Dan kenapa sama sekali kucing itu tidak menyentuh nasi umpan.
Gagal meracuni kucing Mak Icih, saya berpikir mencari cara lain untuk, kalau bisa, membunuh kedua kucing itu sekaligus. Rasanya semakin lama saya semakin gila oleh kegaduhan-kegaduhan yang terjadi. Bahkan yang lebih gila, kedua kucing itu sering berkejar-kejaran di atas genting rumah.
Saya tak bisa memastikan bagaimana kesiapan saya menghadapi ujian semester nanti.
Melalui seorang kenalan mahasiswa kedokteran, pada suatu hari saya berhasil memperoleh sebotol kecil cairan obat bius. Saya tidak bertanya bagaimana caranya memperoleh cairan itu. Dan ia juga seperti segan untuk menceritakan. Tak apalah, yang penting saya sudah punya gagasan baru dengan cairan itu.
Begitulah, pada suatu siang yang panas, dengan hati-hati saya menuju depan kamar Mas Toto. Benarlah, kucing Mak Icih sedang terlelap dengan damai. Melihat damainya tidur kucing, mula-mula saya agak ragu. Tapi mengingat segala kegilaan yang dibuatnya, keraguan saya langsung menguap. Hati-hati saya mengambil kapas, kemudian meneteskan obat bius ke kapas hingga basah. Setelah itu kapas saya tempelkan ke lubang hidung kucing. Setelah beberapa saat, saya membalik-balikkan tubuh kucing, untuk meyakinkan bahwa binatang itu telah kena pengaruh bius. Setelah saya yakin, binatang malang itu saya masukkan ke dalam sebuah kantong yang sudah saya persiapkan. Kemudian saya bergegas mengunci kamar, turun, keluar rumah, berjalan menuju Jalan Taman sari, dan menyetop angkutan kota arah Cicaheum.
Dari Cicaheum saya baik buskota jurusan Jatinangor.
Akhirnya, di daerah yang sunyi di sekitar kampus AIK, saya mengeluarkan tubuh makhluk yang ternyata masih terbius. Kemudian tubuh makhluk tak berdaya itu saya buang begitu saja di semak-semak tepi jalan yang menuju kampus AIK. Lalu saya tinggalkan dengan perasaan amat puas. Selanjutnya saya menyetop kendaraan menuju Tanjungsari. Kebetulan saya punya janji mengunjungi seorang teman.
Tiga hari saya di Tanjungsari.
Ketika saya kembali ke kontrakan, saya terkejut sekali ketika Mas Toto memberitahukan bahwa Mak Icih di rumah sakit.
“Tampaknya sakitanya parah,” tuturnya.
Menurut cerita Mas Toto, sore itu Mak Icih ngamuk-ngamuk. Meja dan kursi dibanting-banting. Kepalanya dibentur-benturkan ke tembok. Ia selalu menjerit-jerit menanyakan kucingnya. Anaknya, Nyai, tak bisa berbuat apa-apa. Irwansyah yang kebetulan pulang kuliah segera mendekati. Tapi Mak Icih, menurut Irwansyah seperti dituturkan Mas Toto kepada saya, malah menunjuk-nunjuk Irwansyah seperti hendak menyatakan sesuatu. Saat itulah tubuh Mak Icih oleng dan ambruk. Untung Irwansyah cepat menangkao tubuh setengah renta itu. Besoknya Mak Icih belum bisa bangun. Nyai sesenggukan terus di sisinya. Ujang pun dipanggil. Kemudian Mas Toto, Irwansyah, Ujang, dan Nyai membawa Mak Icih ke Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Mendengar penuturan Mas Toto saya segera menuju rumah sakit. Di sana, Ujang dan Nyai tengah menunggui. Sementara Mak Icih tampak terbaring dengan mata terpejam semakin cekung. Kali ini saya benar-benar takut Mak Icih akan sungguh-sungguh menjadi mummi.
Dua hari berikutnya, ketika Mak Icih masih di rumah sakit, ketika suasana rumah menjadi beku oleh keheningan, ketika saya semakin merasa amat berdosa, sekonyong-konyong saya mendengar lengkingan suara seperti bayi menangis. Kemudian saya bergegas turun. Benar, kucing berbulu putih dengan belang hitam, bertubuh agak kurus dan kotor: kucing Mak Icih!
Gila! Bagaimana mungkin kucing itu dapat kembali? Menempuh jarak belasan kilometer dari Jatinangor, melalui jalan-jalan yang belum pernah dilewatinya?
Sore itu juga saya bergegas ke rumah sakit menceritakan kembalinya kucing itu kepada Mak Icih. Mendengar penuturan saya wajah Mak Icih berubah ceria. Matanya berbinar, senyumnya mengembang memancarkan cahaya harapan hidup.
Namun sementara itu, sepulang dari rumah sakit, di kamar saya segera mulai membereskan pakaian, buku-buku, dan sebagainya. Saya berpikir, lebih cepat pindah lebih baik. Yah, paling lambat setelah Mak Icih sembuh kembali dan pulang ke rumah nanti. ***

(Ini cerpen pertamaku di Pikiran Rakyat, lupa tanggalnya, th 1990)

Satu Episode

LELAKI itu selalu berdiri mematung. Tangannya bersedekap. Matanya menatap dunia lewat jendela nako kamarnya. Setiap detik, setiap menit, setiap hari, ia menyaksikan kejadian-kejadian sehari-hari di jalanan. Mobil-mobil dan becak berlalu. Manusia-manusia hilir-mudik. Angin berembus menggoyang pepohonan. Sinar matahari merejam aspal. Hujan mengguyur halaman.
Kemudian semua itu ia rekam dalam angan. Kadang ia pindahkan dalam karangan. Atau ia simpan dalam lukisan. Meskipun setelah itu karangan serta lukisannya ia sobek menjadi serpihan kecil, untuk ia buang ke tempat sampah di pojok kamar.
Syahdan, matahari belum sepenggalah. Mendadak ia dikejutkan suara ribut di luar. Tampak beberapa orang sibuk memapah seorang wanita hamil. Dan ia mendengar teriakan-teraiakan orang.
“Panggil taksi cepat!”
“Becak saja!”
“Taksi, goblok!”
“Gimana manggilnya?”
“Telepon, tolol!”
“Di mana telepon?”
“Aduuuuh…!”
Ia heran, kenapa untuk menolong orang melahirkan saja mesti ribut tak karuan begitu.
Kemudian terdengar suara ayahnya dari ruang tamu. “Si Mince hendak melahirkan, Bu. Air ketubannya keburu pecah.”
“Oooo…”
Lantas ia mengambil mesin tik, memasang selembar kertas, menotok-notok huruf-huruf, membentuk kalimat: Seorang bayi lahir hari ini. Dunia bertambah satu penduduk.
Ia menarik kertas itu dari mesin tik. Membacanya sejenak. Kemudian meremas-remasnya menjadi berbentuk bulatan kecil, untuk akhirnya melemparkannya tepat di tempat sampah.
Lelaki muda itu kembali berdiri menatap kamar. Pikirannya tak pernah usai berputar-putar di langit kamar. Ia sendiri tak ingat lagi sejak kapan mengurung diri di kamarnya. Mungkin baru sepuluh hari yang lalu. Atau barangkali sepuluh bulan. Bahkan boleh jadi sejak sepuluh tahun yang lewat. Ia tak tahu pasti. Yang diingatnya adalah bahwa ia pernah mengalami peristiwa kecelakaan hebat.
Ia kurang pasti, apakah waktu itu ia yang menabrak mobil itu ataukah mobil itu yang menabraknya. Tapi ia masih utuh seperti semula. Kaki, tangan, dan anggota tubuh lainnya tak ada yang hilang. Tapi ada sesuatu yang kurang. Ia sendiri tak mengerti dengan jelas. Yang pasti, sejak itu ia merasa dunia yang paling menyenangkan adalah dunia kamarnya.
Siang, seusai lohor, ia menyaksikan suatu iring-iringan pengantin lewat di jalan depan rumahnya itu. Si lelaki sungguh tampan dengan stelan kain dan jas hitamnya. Di depan, si perempuan bagaikan bidadari dengan kebaya putih yang anggun. Tapi, tunggu! Rasanya ia pernah mengenal perempuan secantik itu. Tapi ia tak bisa mengingat lagi kapan dan di mana ia bertemu dengan perempuan itu. Rasanya ia pernah akrab dengan bidadari itu. Tapi juga rasanya terlalu jauh. Atau mungkin semua itu pernah ia alami dalam mimpi belaka.
Dari ruang tamu yang letaknya bersebelahan dengan kamarnya, terdengar suara ibunya.
“Pak, Pak, bukankah dia si Eti pacar anak kita dulu?”
Kembali pemuda itu dudukk di kursi, menyelipkan kertas pada mesin tik, menotok-notok huruf demi huruf perlahan untuk menyusun kalimat: Sepasang manusia berhasil menggapai satu masa paling bahagia. Bagaikan pangeran dan putri raja yang menikah dan bahagia untuk selama-lamanya.
Kemudian direnggutnya kertas itu, dibacanya sejenak, diremasnya menjadi berbentuk bola kecil, dan dilemparkannya ke tempat sampah. Napas lega diembuskannya dan mewujud uap air di nako.
Sore kelam berhias gerimis tiba-tiba dikejutkan pengumuman yang mungkin berasal dari pengeras suara mesjid kampung yang terletak tak jauh dari rumahnya.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah meninggal dunia Bapak Sukram bin Waud. Jenazah akan dikebumikan sore ini juga.”
Tak lama kemudian ia menyaksikan lewat jendela puluhan orang mengiringi sebuah keranda yang diusung oleh dua orang lelaki. Di belakang keranda beberapa orang mencoba menyusut air mata. Wajah-wajah mereka redup sekelam senja itu.
Untuk ketiga kalinya ia memasang kertas di mesin tik, menotok-notok huruf-huruf, menyusun kalimat: Senja ini, satu nyawa meninggalkan dunia. Dunia berkurang satu orang.
Kemudian ia merenggut kertas dari mesin tik, membacanya sejenak, meremasnya, dan membuangnya ke tempat sampah.
Kali ini mukanya tertekuk, seperti sedang menekur.
Kemudian malam mengambil alih suasana.
Dan hari baru menjelang fajar ketika ibunya masuk ke kamarnya. Perempuanj setengah baya itu tertegun menyaksikan anak lelaki satu-satunya itu tengah khusyuk sembahyang dalam posisi tahiyat akhir. Ia mengenakan sarung polekat hitam, kemeja putih lengan panjang, dan kopiah hitam. Wajahnya tertunduk dalam-dalam. Telunjuknya lurus menunjuk ke arah barat. Kemudian wanita itu tertarik sehelai kertas di atas mesin tik. Nampaknya tulisan di kertas itu baru dibuat anaknya semalam atau pagi itu. Wanita itu mengambil kertas itu dan membacanya perlahan.

Manusia lahir
manusia menikah
manusia mati,
alangkah singkatnya perjalanan
adakah jarak waktu yang lebih pendek?


Kemudian wanita itu meletakkan lagi kertas di atas meja dan memandang anaknya yang masih tahiyat akhir. Ia menunggu dengan sabar. Ketika di luar cahaya fajar merekah, ia tengok lagi anaknya masih dalam posisi semula. Lama-lama ia curiga. Diguncang-guncangnya tubuh anaknya, sambil dipanggil-panggil pula namanya. Ketika terpegang tengkuk anaknya, ternyata dingin. Tangannya pun kaku.
Wanita itu menjerit membelah pagi. ***

(Ini cerpenku yang pertama kali dimuat di surat kabar, yaitu di Mandala, 27 Mei 1990)

Sunday, January 20, 2008

Air Mata Asih

ASIH menangis. Pipi putihnya dibelah sebutir air bening, ada sebagian pupur yang terhapus, menyusuri tepi bibirnya, lalu menggantung sejenak di dagunya yang runcing, mengilat disentuh cahaya neon, sebelum akhirnya menitik di gaun kebaya hitam pengantinnya. Aku yakin, di sisi sebelah sana, sebutir air bening serupa juga bergulir.
Kutatap tepi matanya lembut.
“Kenapa?” tanyaku berbisik.
Asih menggeleng. Ia tak berusaha menghapus jejak aliran air matanya. Ia seolah membiarkannya mengering sendiri. Mukanya tertunduk. Dari pinggir semakin tegas bahwa ia memang memiliki wajah menarik. Saat itu aku barulah tahu, hidungnya panjang dan bagus, mengingatkanku pada ukiran wayang golek. Lekukan dari dagu ke leher makin menegaskan kemudaannya.
Sesaat keringat terasa serentak membasahi kening, kuduk, dan punggungku. Perasaan bersalah mulai kembali mengoyak-ngoyak.
Kuambil saputangan di tempat duduk pelaminan. Kugeserkan tubuhku dan kucoba menghapuskan bekas air matanya. Tapi Asih menghentikan gerakanku dengan tangannya. Dengan telapak tangannya. Telapak tangan yang tak terlalu halus.
Asih menatapku dengan sudut matanya. Hanya sepersekian detik saja, matanya turun lagi. Aku belum bisa menerjemahkan arti sebutir air matanya yang sempat bergulir. Tetapi aku berharap tatapannya yang hanya sepersekian detik bukanlah manifestasi kebencian. Gusti, siapa mau memperoleh bencana kebencian di saat yang justru seharusnya kita mendapat anugerah kebahagiaan?
Hiasan janur dan buah-buahan berdiri solah menjadi pengaping. Satu di kanan dan satu di kiri. Ruang tengah masih pikuk oleh kerabat. Satu dua wajah kukenal baik. Ibu duduk di tikar, berbincang dengan ibunya Asih dan beberapa perempuan sebaya lainnya, membentuk setengah lingkaran, dengan aku dan Asih hampir berada di titik pusat. Beberapa kali kutangkap pandangan ibuku. Beberapa kali pula ia menyiratkan senyum tipis yang berusaha dibagikannya kepadaku dan Asih.
Ah, ibu.
Kamu masih juga ingin mengecewakan ibumu? Masih suka dengan kesendirian? Tanya ibuku dalam suratnya beberapa waktu lalu. Pertanyaan yang selalu diulangnya.
Aku belum siap, jawabku waktu itu.
Ibu tidak pernah memaksamu untuk segera siap. Yang ibu ingin adalah agar kamu tak menjalani hidup tidak secara layaknya orang lain. Ibu tak ingin kamu macam-macam. Ah, apa bedanya, pikirku.
Jangan kecewakan ibumu dan almarhum ayahmu, kata ibu pula.
“Wah, Ibu ini. Kok ya begitu saja menyodorkan calon pasangan buatku,” kataku beberapa waktu kemudian, pada kesempatan pulang yang sebenarnya tidak kurencanakan.
“Lho, apa salahnya jika seorang ibu mencarikan yang terbaik buat anak lanangku si ragil?”
“Tapi Ibu yakin Asih akan menerimaku?”
“Siapa yang berani menolak lamaran pemuda cakap seperti kamu?” Ibu balik bertanya dengan nada gurau.
“Maksudku, apakah kami pantas bersanding? Ingat, Bu, aku tiga puluh dua, sedangkan Asih baru sembilan belas tahun. Ketika aku mulai berpacaran, Asih baru bisa berlari.”
Ibu tertawa.
“Kamu ingin Ibu mencarikan yang sebaya denganmu? Oalah, Le, Le. Kamu pikir stok yang begitu masih ada?”
“Mungkin aku bisa mencari sendiri.”
“Alaaah, omonganmu itu lho, dari dulu Ibu dengar.”
Tak pernah bisa kutemukan jawaban mengapa pada akhirnya aku toh menerima begitu saja calon yang ibu pilihkan. Pada zaman yang sudah lama mengagung-agungkan cinta seperti ini aku justru seolah hidup pada tahun-tahun awal abad kedua puluh. Dari semula, aku ingin menyerahkan segalanya kepada Ibu. Apa alasannya, aku sendiri kurang yakin. Mungkin benar aku tidak mau mengecewakan Ibu. Mas Ario, kakak tertuaku, lalu Mas Yan, menikah pada usia-usia yang “wajar”. Mereka, yang masing-masing berada di Padang dan Banjarmasin, telah mempersembahkan cucu-cucu yang manis-manis buat Ibu. Mungkin pula benar bahwa aku seolah telah melupakan “kewajiban” yang satu ini.
“Kamu masih selalu dibayangi Maryati,” kata Ibu.
Aku tak berusaha menanggapi. Kata-kata Ibu tak sepenuhnya salah. Bukan, Maryati bukanlah cinta pertama. Bahkan aku sendiri tak ingat, apakah cinta pertamaku Tuti atau Nur. Namun Maryati adalah wanita pertama yang banyak memberiku pengertian tentang cinta yang sesungguhnya, menurut pemahamanku. Dia memang lebih tua. Karena itu aku merasa, waktu itu, ia banyak memahami. Tetapi apakah Ibu bermaksud menyindir atau sekadar ingin meneguhkan dugaan demi keinginannya, aku tak tahu. Toh tak akan bedanya.
“Aku ragu bisa mencintai Asih.”
“Cinta?”
Ibu tersenyum. Entah bagaimana, aku seolah menangkap sumber cahaya di wajah Ibu. Mungkin karena rambutnya yang makin banyak diwarnai garis-garis keperakan, atau sorot matanya yang masih tajam, meski di bulatan hitamnya ada titik-titik warna putih.
“Atau, apakah memang pilihan Ibu ini merupakan pilihan terbaik buatku?”
Ibu mendehem.
“Begini, tho, Nak. Ibumu ini sudah merundingkan segala halnya dengan pakde-pakde-mu, juga paman-pamanmu. Bahwa calon jodohmu itu kami teliti, kami nilai dari berbagai segi, ya keturunan, ya kecerdasan, ya penampilan. Sudah kami pertimbangkan bibit, bebet, dan bobot-nya. Percayalah, Asih bakal sangat cocok menjadi sigarane nyawa-mu. Ia masih kerabat juga, meski sudah agak jauh. Baru lulus sekolah perawat tahun ini. Ia akan sangat sepadan dengan kedudukanmu sebagai guru SMA di kota. Nah, coba lihat, bahkan kamu lama-lama bakal bisa menangkap bahwa garis-garis wajah Asih tak jauh berbeda dengan garis-garis wajahmu. Itulah salah satu ciri jodoh, Nak.”
Aku menatap hati-hati wajah Ibu.
“Tapi, Bu, bukankah Asih telah lebih dulu mencintai dan dicintai orang lain? Maaf lho, Bu, cerita ini sempat kudengar. Ini sebenarnya masalah yang paling serius.”
“Si Harso itu? Alaah, ia masih ingusan. Wong, kerjaan saja nggak punya. Lagi pula, mereka tak berani pacaran secara terbuka. Sembunyi-sembunyi di belakang. Apa memang zaman sekarang begitu carana pacaran? Lha, apa yang bisa diharapkan dari pacaran model begitu?”
“Ibu jangan bicara begitu. Justru yang begitulah yang tidak pernah bisa kita duga. Coba, jika mereka benar saling mencintai, apa pun arti cinta di sini, tentu akan sangat sulit nantinya menumbuhkan kasih sayang di antara aku dan Asih.”
“Kamu lagi-lagi ngomong soal cinta. Coba, apa pengertian kamu tentang cinta?”
“Yang lebih gawat, bagaimana jika, misalnya, laki-laki itu punya rencana melarikan Asih?” kataku tak memedulikan pertanyaan Ibu.
“Hush! Jangan sembarangan ngomong kamu. Nanti kedengaran setan, bisa jadi beneran.”
Aku menatap Ibu dengan kening berkerenyit.
Tetapi aku tak tahu apakah Ibu sudah lama menatapku dengan kening berkerut pula.
O, ya, ternyata sudah waktunya untuk potret bersama. Aku tidak sempat menyadari berapa lama aku berdiam diri. Ibu berada di sebelah kananku. Di sebelahnya lagi Mas Ario, sebagai pengganti Ayah. Di sebelah kiri Asih berdiri kedua orang tuanya. Kulihat wajah ibu sumringah, bercahaya, juga wajah kedua orang tua Asih. Tetapi aku tak bisa menebak, apakah senyum Asih adalah penampakan kebahagiaannya. Aku belum bisa menangkap garis-garis yang sebenarnya.
Aku juga turut tersenyum sebelum lampu blitz menyala.
Setelah itu, berturut-turut minta berfoto bersama pakde-pakde-ku, paman-paman, kerabat, baik dari pihakku maupun dari pihak Asih. Bahkan setelah itu turut serta Pak Kepala Desa, Pak Carik, dan beberapa tokoh masyarakat.
Semua kulihat tersenyum.
Hanya kemudian, sekilas, wajah Asih seperti menegang.
**
“KAMU sakit?” tanyaku.
Asih menggeleng.
Matanya menunduk, jemarinya bermain-main di pangkuannya. Rambut yang tadi disanggul kini tergerai di punggungnya, sebagian menutupi pipinya. Tetapi kebaya dan kainnya masih yang tadi.
Aroma melati dan warna putih menguasai kamar pengantin kami. Bungkusan-bungkusan kado bertumpuk di meja dekat pintu. Pintu telah terkunci. Tetapi mulutku juga seperti selalu sulit untuk membuka. Alangkah kikuk malam pengantin seperti itu, peristiwa sangat asing yang tak pernah kubayangkan bakal terarungi.
Keningku basah.
Kutarik napas dan kuusap wajah.
“Kamu pucat.” Kataku.
“Tak apa,” jawabnya. Pelan sekali dan tetap menunduk.
Dari luar kamar, ruang tengah, masih terdengar ramainya kerabat yang turut lek-lekan. Suara tawa, atau bantingan kartu, juga sedikit adu mulut.
Tetapi di luar jendela, bunyi serangga mulai mengantarkan malam.
Jam dinding menunjuk setengah sebelas.
“Tidurlah, kamu pasti lelah.”
Aku beranjak, membuka pintu, menuju ruang tengah, bergabung dengan yang begadang. Tetapi aku tak turut bermain.
Kunyalakan rokok. Aku terbatuk. Beberapa jenak aku baru sadar bahwa aku telah dua bulan berhenti merokok.
Kumatikan rokok.
Tiba-tiba kudengar bunyi seperti daun jendela dipukul. Lalu teriakan dari arah kamar. Asih!
Aku melompat.
“Ada apa? Apa yang terjadi?”
Asih berdiri dekat jendela. Mukanya pias. Matanya menatapku dengan ragu.
Tetapi mendadak ia menubrukku. Tangisnya meledak. Aku memeluknya dengan rasa sayang yang tiba-tiba memancar. Kuelus rambutnya. Kucium wanginya.
Wajah Asih rebah di dadaku.
“Dia, Mas… dia.”
“Dia siapa?” tanyaku lembut.
“Harso.”
Pelan-pelan aku merenggangkan pundak Asih. Kutatap matanya. Basah. Kuhapus dengan punggung jemariku.
“Kenapa Harso.”
“Dia… mengetuk jendela… memaksa ingin masuk…”
Tangis Asih kembali meledak. Aku mendekapnya lagi. Lebih rapat. Dan seperti tiba-tiba aku berjanji, dalam hati, aku ingin menjadi pelindung yang menyayangi dan mencintainya.
Di pintu, orang-orang mengundurkan diri satu per satu.
Nyanyian serangga membawa malam kian larut.
***
(Cerpen ini pernah dimuat di majalah Sarinah, 22 Maret 1993)

Saturday, January 19, 2008

Tour de Sastro

Kira-kira setengah enam sore, aku menerima SMS dari Mas Kef (panggilan akrab Kurnia Effendi), pengarang yang--bagi kalangan sastra--tak asing lagi. Isi selengkapnya begini: Tour de Sastro dimulai. Kef, kris, sekar, dr yogya ke kudus, melintas turi, secang, magelang, salatiga, semarang, demak. Rumah pelangi, kopi eva, museum kereta api, sampo kong, mesjid demak, menara kudus, museum kretek, jenang 33.
Kurnia Effendi adalah cerpenis dan novelis yang daftar karyanya terlalu panjang untuk ditulis di sini. Cerpen-cerpennya tersebar di berbagai media massa. Buku kumpulan cerpennya antara lain Senapan Cinta dan Kincir Api. Kris adalah Gangsar Sukrisno, bos penerbit Bentang Pustaka. Adapun Sekar adalah Desi Sekar dari Forum Indonesia Membaca.
Istilah Tour de Sastro sendiri adalah pelesetan dari Tour de Sastra, yang juga sebenarnya istilah yang terkesan "main-main". Semula maksudnya adalah keliling dengan mobil menyambangi para tokoh sastra, antara lain Ahmad Tohari di Banyumas. Kalau kemudian jadinya mengunjungi berbagai tempat di Jawa Tengah, ya asyik-asyik saja. Bagi para pengarang, acara seperti itu sangat menarik karena kita bisa benar-benar menyerap banyak pengalaman dari berbagai tempat itu, dan pasti akan muncul banyak gagasan untuk ditulis.
Sayang sekali aku nggak bisa ikut atau punya kesempatan untuk ber-Tour de Sastro.

Friday, January 18, 2008

Pulang (2)

Menurut perhitungan pahit, kubu adikku diprediksi unggul setidaknya 51 persen. Dari mana sampai tiba pada angka ini? Tim sukses mendata satu per satu pemilik hak pilih. Si A mendukung mana, si B ke mana, si C gimana, dan seterusnya. Para pendukung masing-masing kubu, sekali lagi, sudah seperti air dan minyak, sangat nyata terpisah. Mereka yang diragukan langsung dianggap pendukung lawan. Para perantau yang punya hak pilih pun tak ada yang masuk sama sekali--dengan asumsi tak akan datang. Bahkan warga salah satu dukuh dianggap semuanya mendukung kubu lawan. Dan hasilnya: 51 persen diprediksi kuat menjadi pendukung adikku.
Pada saat kampanye, sekitar 1.500 warga menghadiri kampanye kubu adikku, lebih banyak dibanding ketika kampanye dua kubu lain. Warga desa lain pun memprediksi bahwa kubu adikku bakal menang.
Namun--begitulah selalu ada kata namun pada cerita mana pun--perhitungan di atas kertas kerap berbeda dengan kenyataan. Mengapa? Banyak faktor yang menjadi penentu. Aku sudah menyebut tiga hal yang sebaiknya jangan dilakukan adikku: banyak janji, politik uang, dan kekuatan gaib. Pada penyampaian visi dan misinya, ia tak banyak berucap janji selain janji normatif untuk membentuk pemerintahan desa yang jujur dan bersih. Tak ada rincian akan membangun ini-itu. Entah apakah ia juga berkata demikian ketika mendatangi rumah demi rumah sebagai bagian dari upaya mencari dukungan. Soal politik uang, aku yakin bahwa ia tak pernah memberikan amplop untuk mencoba mencari dukungan. Tak ada "serangan fajar" seperti lazim dilakukan banyak kontestan. Alasannya jelas: dana untuk itu tak ada. Adapun soal kekuatan gaib, memang sulit dibuktikan, apakah benar-benar adikku menjalankan saranku. Mungkin "nasihat-nasihat spiritual" atau apa pun namanya masih bisa diterima. Yang pasti, adikku pernah bercerita bahwa kalau ia menerima semua usulan untuk meminta bantuan paranormal, dukun, kiai, atau apa pun namanya, maka tiap hari ia tak akan sempat mengurusi hal lainnya. Usul untuk itu memang muncul berduyun-duyun. Bahkan tanpa diundang pun banyak orang, baik dari desa sendiri maupun dari desa lain, menyediakan diri untuk membantu dengan kekuatan gaib. Sebagian besar ditolak dengan halus, sebagian lain diterima dengan pertimbangan memelihara dukungan.
Suatu malam, pernah seorang pendukung adikku mengusulkan agar mau menemui seorang pintar saat itu juga, dan adikku menolaknya karena hari sudah terlalu malam. Apa yang terjadi? Setelah pencoblosan diketahui bahwa si pengusul itu berbalik mendukung kubu lain. Seorang pendukung lain bercerita: ia ingin mengusulkan hal yang sama, tapi urung setelah tahu bahwa adikku beberapa kali menolak. Untungnya yang satu ini tidak berbalik mendukung kubu lain.
Konon, pada "Hari-H", dini hari sekitar pukul 01.00-03.00, akan datang seberkas cahaya. Menurut kepercayaan masyarakat, rumah kontestan yang dimasuki cahaya dari langit itu akan muncul sebagai pemenang pemilihan. Namun sampai aku tidur sekitar pukul 03.00, tak ada kabar yang pasti mengenai cahaya ini. Cahaya itu, menurut cerita, memang gaib, sebab hanya orang-orang tertentu yang bisa melihatnya.
Paginya, aku mendengar cerita demikian: kira-kira pukul 03 lebih beberapa menit berembus angin aneh dari pintu belakang rumah ibuku (yang dijadikan markas kubu adikku), yang memang terbuka. Cuaca saat itu panas, dan angin tersebut membuat orang-orang yang saat itu terjaga menggigil. Bulu kuduk meremang. Ada dua orang yang bahkan merasa seperti digelitiki. Sebagian pun merasa ketakutan. Apakah angin itu merupakan salah satu bentuk teror gaib kubu lain? Wallahualam.
Ketika penghitungan usai, dan dipastikan adikku kalah, muncul pengakuan banyak orang bahwa mereka kesulitan ketika mencoblos gambar. Padahal yang mereka coblos adalah selembar kertas tipis seperti umumnya kertas suara, alasnya busa kasur yang dilapisi kain, dan penusuknya sebatang paku besar yang tajam. Ada yang dua kali, ada yang tiga kali baru tembus. Bahkan si pembuat alas itu (seorang guru yang kata-katanya bisa dipercaya), yang tentu sudah mencoba berkali-kali sebelum dipakai, mengaku kesulitan untuk mencoblos. "Saya tusuk sekali, enggak tembus. Dua kali, enggak juga. Tiga kali, baru tembus," katanya heran. Memang belum ada pengakuan dari kubu lain apakah mereka juga kesulitan ketika mencoblos. Namun sulit untuk tidak percaya telah terjadi keanehan. Apakah ini upaya gaib dari kubu lain? Wallahualam.
Ketika dipastikan kalah, aku segera mengumpulkan keluarga kami: adikku dan istrinya, ibuku, kakak perempuanku, dan beberapa orang lain. Aku mencoba membesarkan hati mereka. Dan tak butuh waktu lama bagi kami untuk menerima kekalahan ini dengan lapang dada. Anehnya, yang sulit menerima kenyataan justru orang-orang lain. Bakda magrib, berduyun orang datang sambil menangis.
Salah satu di antaranya malah sampai kesurupan. Baru pertama kali aku menyentuh orang kesurupan. Ia seorang perempuan biasa dan ketika ia kesurupan, empat orang laki-laki nyaris tak mampu menahan amukan tenaganya. "Awas, Kak Iis! Ada orang yang hendak mencelakakan! Cepat sembunyi!" teriaknya sambil menunjuk-nunjuk. Suaranya mirip suara laki-laki, dan biasanya ia memanggil adikku dengan sebutan Pak Iis. Berkali-kali ia berteriak: "Kak Iis salah, kok mau salaman sama orang berbaju kuning dan bercelana hitam itu!" Ketika sadar, ia mengaku tak ingat apa yang terjadi. Lantas, siapa orang berbaju kuning dan bercelana hitam itu? Tak banyak yang tahu. Baru besoknya ada yang ingat bahwa ketika pencoblosan, ada orang berpakaian seperti itu berdiri di dekat pintu masuk tempat pemungutan suara, dengan mulut yang komat-kamit terus. Konon, orang bisa mengirim kekuatan tertentu melalui salaman tangan. Tak hanya satu yang kesurupan, tapi ada tiga atau empat orang, meski dengan intensitas yang lebih ringan. Apakah ini bagian dari teror kubu lain? Wallahualam.
Beberapa waktu kemudian, seorang pendukung datang dan bercerita bahwa ia baru saja menelepon orang pintar kenalannya. Si pendukung itu bercerita bahwa si orang pintar berkata, "Untung Pak Iis kalah. Kalau menang, ia atau salah satu dari keluarganya bisa menjadi korban." Termasuk aku, batinku. Ngeri juga.
Satu-dua hari setelah pencoblosan, mulai terungkap pengakuan sejumlah orang bahwa telah terjadi "serangan fajar" dari kubu lain. Jumlahnya Rp 25 ribu per keluarga. Apa yang disebut "serangan fajar" ini tidak harus dilakukan pada saat fajar, tapi bisa kapan saja, dan dilakukan dengan banyak cara. Misalnya bagi para pemilih yang masih ragu segera disediakan jemputan motor atau mobil, dan saat itulah terjadi "serangan fajar". Dalam hal penjemputan ini, kubu adikku memang kalah start.
Apakah kubu lain memberikan janji-janji? Seorang pendukung adikku mengaku pernah diberi janji lahannya akan diberi pondasi. Beberapa anak muda diberi janji oleh salah satu kerabat pihak lain untuk diajak bekerja di Korea.
Pelajaran yang bisa dipetik: untuk bisa menjadi pemenang dalam pilkades, kontestan sebaiknya melakukan tiga hal, yaitu banyaklah berjanji, gunakan politik uang, dan mintalah bantuan kekuatan gaib.
Aku keliru karena ketiga hal inilah yang kutekankan pada adikku untuk dihindari.

Thursday, January 17, 2008

Pulang (1)

Empat hari pulang kampung, ke desa kelahiranku, sungguh empat hari yang melelahkan. Meski demikian, aku menyerap sebuah pengalaman yang sangat berharga. Betapa proses sebuah pemilihan kepala desa begitu meriah, rumit, menegangkan, dan juga mengerikan. Kemeriahannya mungkin bisa disetarai pemilu legislatif, dengan semarak gambar, poster, bendera, dan kaus partai-partai. Namun taraf kengerian pilkades ternyata jauh melampaui jenis pemilihan mana pun di negeri ini, apalagi sekadar pilkada, baik bupati maupun gubernur. Emosi begitu meluap di sini.
Tentu saja. Salah satu calonnya adalah adikku sendiri. Meski pada awalnya aku tak terlalu setuju dia bersedia dicalonkan, mengingat berbagai risikonya, akhirnya seluruh keluarga mau tak mau mendukung juga. Meski tak punya hak pilih, tiga kakakku, masing-masing di Plaju, Bangka, dan Purwodadi, sampai bersedia pulang kampung demi mendukung moral adikku.
Sejak awal, aku mengusulkan tiga hal pada adikku: jangan terlalu banyak janji, jangan menggunakan politik uang, dan jangan menggunakan "orang pintar" melalui kekuatan gaib.
Di antara ketiga calon yang ada, adikku (kontestan nomor 2) paling favorit untuk menang. Menyusul kemudian kontestan no 1 dan 3. Dalam tiga bulan terakhir, mulai setelah lebaran, ketiga pesaing berusaha mencari dukungan dengan bermacam cara. Aku tidak terlalu banyak tahu mengenai usaha apa saja yang dilakukan dua kontestan lain. Salah satu sebabnya, aku memang jarang pulang kampung. Dari sisi adikku, dia telah membentuk tim sukses, yang terdiri dari para "bagong", yang tugasnya mencari massa pendukung. Dibangun juga semacam posko di sejumlah tempat di dukuh-dukuh dan RW tertentu.
Betapa menegangkannya situasi menjelang pilkades tampak dari banyaknya perpecahan di antara warga desa, antartetangga, antarkeluarga, antarsaudara, bahkan antara suami dan istri. Konon, perpecahan di antara warga baru bisa pulih dalam hitungan berbulan-bulan, bahkan hingga setahun atau lebih. Ini pasti efek negatif dari sebuah pilkades yang mestinya diantisipasi banyak pihak yang berwenang, guna dibuat aturan atau apa pun untuk meminimalisasi perpecahan seperti ini. Bahwa di A mendukung calon anu dan si B mendukung calon lain tampak nyata seperti "minyak dan air".
Namun pada kenyataannya tidak sesederhana seperti itu. Seperti tampak kemudian setelah usai pilkades, banyak sekali kejadian bahwa seseorang yang tampak sangat mendukung si A ternyata mendukung kubu lawan. Di sini aku baru tahu bahwa orang-orang desa juga bisa bermain sandiwara dengan sempurna.

Saturday, January 12, 2008

Telepon dari Andrea


Beberapa hari lalu, Dhipie menghubungiku, seperti biasa dengan suaranya yang ceria dan enak di telinga. Apa kabar, kabar baik, dan seterusnya, Dhipie kemudian cerita dia dikontak Julius Sumanto atau siapa gitu, dari acara Kupas Tuntas di televisi Trans 7, yang menanyakan nomor kontakku. Dhipie bilang dia sudah memberikan no dan alamat e-mail-ku. Menurut Dhipie lagi, pihak Kupas Tuntas hendak mengupas soal "Perang Bubat" atau apa gitu.
Dhipie kemudian menyerahkan telepon ke Andrea Hirata. Ah, Ikal! Sudah lama sekali rasanya tidak mendengar suaranya yang juga renyah dan kata-katanya yang tetap rendah hati. Seperti biasa, Ikal menanyakan kegiatanku, sedang menulis apa, buku apa yang terbaru, dan seterusnya. Ia juga menyarankan agar aku belajar sama Dhipie supaya bisa bicara dengan jelas, tidak menggeram. Ha-ha!
Namun kata-katanya kemudian mengejutkanku. "Aku akan pulang ke Belitung tak lama lagi..."
Aku sungguh hampir kehilangan kata-kata. "Untuk seterusnya?"
"Ya. Ibuku sudah payah. Beliau hanya bisa berbaring, tak mampu berdiri lagi," kata Ikal pelan.
"Tak kembali lagi?"
"Nggak lah. Aku pasti akan berkali-kali lagi ke Bandung, kalau Telkom sedang membutuhkan tenagaku. Sekarang pesawat ke sana kan lebih mudah."
"Kami akan kehilangan kau..."
"Tidak lah, kita kan masih bisa kontak-kontak."
Kali ini, aku benar-benar tak tahu apa yang mesti kutulis lagi.
(Foto: dari kiri Andrea, Teh Senny, Kris, aku)

Friday, January 11, 2008

Pram Muda Telah lahir...


BACALAH buku tanpa membaca endorsement-nya terlebih dulu. Saya yakin ini nasihat yang cukup bijak. Sebab, endorsement (berarti 1. pengesahan, pengabsahan, persetujuan, 2. dukungan, sokongan.) bisa saja menjebak—meskipun tidak bermaksud begitu. Endorsement pada buku Rahasia Meede, Misteri Harta Karun VOC karya E.S. Ito yang ditulis sastrawan dan aktivis M. Fadjroel Rachman berbunyi begini: “Novel yang dahsyat detail sejarahnya dan inspiring. Pram muda telah lahir…”
Kalimat akhir yang singkat itu sangat menggoda sekaligus mengecoh. Saya tergoda, maka saya membaca Rahasia Meede seraya mau tak mau membayangkan dan membandingkannya dengan karya-karya Pram seperti tetralogi Bumi Manusia, Arus Balik, dan Arok-Dedes. Saya menduga, seperti karya-karya Pram itu, Rahasia Meede adalah sebuah novel sejarah, sebuah novel yang bercerita dengan latar waktu zaman VOC, seraya berharap menikmati sebuah karya yang kualitas literernya setara—atau mendekati—Pram.
Ternyata saya terkecoh. Meskipun dibuka dengan prolog peristiwa pada November 1949, peristiwa bersejarah yang kita kenal dengan nama Konferensi Meja Bundar, bab-bab selanjutnya buku ini bercerita dengan latar waktu sekarang, lebih setengah abad kemudian. Dikisahkan, wartawan muda koran Indonesiaraya, Batu Noah Gultom, mencium jejak pembunuhan berantai dengan korban orang penting di Boven Digoel, Papua. Ini melengkapi tiga pembunuhan misterius sebelumnya di Bukittinggi, Brussel, dan Bangka, kota-kota yang berhuruf awal “B”, disertai pesan yang diterima keluarga korban, yakni dosa‑dosa sosial sebagaimana pernah ditulis Mahatma Gandhi dalam majalah Young India.
Pada saat yang sama, tiga peneliti dari Belanda, Erick Marcellius de Noiijer, Rafael Alexander van de Horst, dan Robert Stephane Daucet, terjebak dalam gairah ilmu untuk menemukan de ondergrondse stad, kota bawah tanah di daerah kota tua Jakarta. Penelitian yang tekun menuntun mereka untuk mengungkap rahasia berusia ratusan tahun di dalam sebuah terowongan tua.
Sementara itu, datang juga Cathleen Zwinckel dari Belanda. Mahasiswi pascasarjana di Universitas Leiden itu mengaku tengah menyelesaikan tesis masternya tentang sejarah ekonomi kolonial. Tapi diam‑diam gadis cantik itu memiliki agenda lain, yaitu memecahkan misteri Surat Kew yang dikeluarkan William V pada 1795. Surat ini menuntunnya pada misteri terbesar yang selama ini hanya menjadi bisik‑bisik, Het Geheim van Meede (rahasia Meede). Tapi pekerjaan itu tidak semudah yang dia bayangkan. Dia diculik di Pelabuhan Sunda Kelapa dan terdampar di Banda Neira. Dan orang di balik penculikan itu bernama Kalek, buronan nomor satu karena dianggap dalang di balik peristiwa penyerbuan bersenjata pada 2002. Orang yang bertugas memburu Kalek adalah Lalat Merah, nama sandi untuk seorang perwira muda pasukan Sandhi Yudha Kopassus.
Ternyata, mereka berdua adalah teman karib ketika masih di SMA Taruna Nusantara, tapi kemudian masa depan menyodorkan pilihan pahit dalam persahabatan mereka: satu memburu yang lainnya. Dalam perburuan, Kalek mengirimkan isyarat dalam bentuk dialog Musa dan Khidr. Perlahan Lalat Merah membongkar misteri ini sambil terus berusaha menyelamatkan Cathleen Zwinckel. Pertanyaan-pertanyaan mulai terjawab, tentang peristiwa di tahun 2002, 1949, 1722, hingga masa akhir pemerintahan Daendels di Batavia. Maka, pembunuhan berantai, kota bawah tanah, surat Kew, Monsterverbond, Erberveld, dan KMB berujung pada satu misteri besar: harta karun VOC.
***
RAHASIA Meede adalah novel kedua E.S. Ito setelah Negara Kelima. Seperti novel pertamanya, Rahasia Meede memang mengambil latar belakang sejarah negeri ini, dengan rentetan data sejarah yang lengkap. Dalam data sejarah itu terdapat misteri dan teka-teki, yang kemudian dirangkai dengan data-data sejarah lainnya sehingga terbentuk bangunan misteri besar, yaitu harta peninggalan VOC berupa batangan emas yang tak terbayangkan banyaknya.
Saya memang keliru kalau membandingkan Rahasia Meede dengan karya-karya Pram. Tapi saya juga tidak bisa mengatakan novel ini buruk. Sebaliknya, dengan sekian banyak tokoh dan alur cerita yang terjalin secara memikat, Rahasia Meede merupakan karya yang istimewa di tengah karya-karya anak Indonesia yang sebagian besar tarafnya begitu-begitu saja. Dalam banyak hal, novel ini segera mengingatkan saya pada karya-karya Dan Brown seperti Da Vinci Code dan Malaikat dan Iblis, yakni jenis novel thriller dengan misteri pembunuhan dan latar belakang sejarah yang sangat kuat. Kalau kita merasa begitu asyik memvisualkan latar berbagai lokasi pada Da Vinci Code dan Malaikat dan Iblis, misalnya detail museum Louvre dan lukisan-lukisannya, serta lorong-lorong bawah tanah di Vatikan, maka saat membaca Rahasia Meede kita pun segera tergoda untuk membayangkan sebuah terowongan panjang di bawah tanah Kota Jakarta. Sedemikian meyakinkannya deskripsinya, bisa saja kita menjadi yakin, jangan-jangan terowongan itu benar-benar ada.
Rahasia Meede jelas tidak mungkin dibuat secara main-main. Menurut kabar, buku ini dikerjakan tak kurang dari dua tahun, dengan puluhan sumber informasi dan berbagai riset lokasi hingga Mentawai, Makassar, Banda Neira, dan Papua. Riset, kita tahu, merupakan faktor penting penciptaan sebuah karya kreatif yang baik. Bukan tak mungkin kita pun akan tercengang manakala tahu bahwa E.S. Ito baru berusia 26 tahun.
Ito, yang bernama asli Eddri Sumitra, lahir 21 Juni 1981. Ia menghabiskan masa kecilnya di Kamang, kampung kecil berjarak 12 km dari Bukittinggi, Sumatera Barat, lalu hijrah untuk sekolah di SMA Taruna Nusantara, Magelang, dan akhirnya berdiam di Jakarta. Ito sempat meneruskan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Namun sejak dua tahun lalu ia meninggalkan bangku kuliahnya dan kini bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengurusi persoalan sosial politik Papua. Kabarnya, ia memutuskan berhenti kuliah lantaran tidak bisa lagi mengerjakan hal-hal yang bukan menjadi minatnya. Minatnya memang adalah sejarah.
Dan dari minatnya yang kuat itulah lahir Negara Kelima dan Rahasia Meede, dua karya yang pantas dicatat dalam perjalanan sastra Indonesia.
Sayangnya, bangunan kisah yang memikat dalam Rahasia Meede ternoda oleh satu bab yang terkesan mengada-ada. Deskripsi tentang terowongan bawah tanah dari Pelabuhan Sunda Kelapa hingga Monumen Nasional memang meyakinkan (meski ada kejanggalan juga, kenapa di ujung utara terowongan itu menghadap ke laut, artinya terowongan itu sebenarnya tak lagi misterius karena akan mudah ditemukan). Namun ketika tokoh utama Kalek dan Cathleen Zwinckel menemukan apa yang mereka cari di bawah Monas, yang sempat menyebabkan puncak tugu berlapis emas itu melesak ke badan tugunya, bangunan kisah menjadi goyah. Untuk bisa seperti itu, bagian dalam tugu Monas harus berbeda total dari kenyataan yang ada. Lagi pula, dari segi ukuran, api Mona situ lebih besar—setidaknya sama—dengan leher tugu. Jadi, bagaimana bisa api Monas turun hingga lenyap ke dalam badan tugunya? Bab ini bisa dihilangkan tanpa mengganggu bangunan cerita secara keseluruhan.
Ito juga kurang mampu menggali karakter unik tiap tokohnya. Hampir semua tokoh penting dalam Rahasia Meede memiliki pengetahuan mendalam mengenai sejarah dan bisa bercerita dengan pola kalimat dan tingkat pengetahuan yang serupa. Seperti saat membaca karya Kho Ping Hoo, saya sulit sekali menghafal nama tiga peneliti Belanda itu, Erick Marcellius de Noiijer, Rafael Alexander van de Horst, dan Robert Stephane Daucet. Saya juga tak bisa cepat membedakan Erick, Rafael, dan Robert, karena gaya ungkap kalimat mereka serupa.
Ada kekeliruan seperti berikut ini. Pada halaman 518 ditulis: Tangannya merogoh rokok dari kantong. Sepanjang pertemuan mereka, baru kali ini dia (Kalek) merokok di depan Cathleen. Padahal di halaman 455 ditulis: Pada pertemuan mereka di Banda, Kalek menahan diri untuk tidak merokok. Sekarang dia tidak tahan lagi. Secangkir kopi pahit dan sebatang rokok untuk sebuah perayaan pertemuan.
Ito juga terus menggunakan penulisan Deandels, bukan Daendels seperti yang lebih banyak dikenal. Sementara itu, gambaran seorang wartawan juga stereotipe: membawa-bawa kamera dan buku notes.Pram muda, tentu saja, tidaklah harus menjadi duplikat Pram. Jadi, meski sempat terkecoh, saya sepakat bahwa telah lahir pengarang yang, kita harap, kelak bisa setaraf dengan Pram. (*)


(Ini versi asli dari tulisan yang dimuat di Pikiran Rakyat, Sabtu 12 Januari. Di PR, ada beberapa alinea yang dipotong, mungkin dengan alasan keterbatasan ruang)

Thursday, January 10, 2008

Jangan Sampai Ada Badai Eulis

GAJAH Mada, konon, memiliki kesaktian yang luar biasa. Salah satu kesaktian itu adalah ia mampu menciptakan angin puting beliung. Hanya melalui pemusatan pikiran dalam kepalanya, Mahapatih Majapahit itu mampu mengatur kecepatan angin, mengumpulkannya, menciptakan angin lesus, yang makin lama bisa makin besar menjadi angin puting beliung, lalu mengarahkannya sesuai dengan keinginannya. Betapa dahsyat, dan betapa mengerikan, kalau ilmu kesaktian itu disalahgunakan.
Namun itu hanyalah dongeng yang dikisahkan kembali oleh Langit Kresna Hariadi dalam serialnya yang terkenal, Gajah Mada. Apakah benar Gajah Mada sakti seperti itu, wallahu alam. Yang pasti, angin puting beliung memang mengerikan kalau datang melanda wilayah perkampungan. Beberapa hari belakangan, angin puting beliung menghantam sejumlah daerah di Indonesia. Beberapa waktu lalu, hujan deras disertai angin puting beliung melanda Kampung Sukasirna, Kelurahan Karanganyar, Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, yang mengakibatkan seorang mengalami luka, puluhan pohon tumbang, dua rumah rusak berat, belasan rusak ringan, serta sebuah tempat pemeliharaan ayam ambruk. Tiga hari sebelumnya, angin puting beliung memorak-porandakan sekitar 272 rumah warga di dua desa di Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Cianjur. Seminggu sebelumnya, angin yang serupa menyapu tujuh kampung di Desa/Kecamatan Buahdua, Sumedang, mengakibatkan pohon-pohon tumbang dan genting-genting serta seng atap rumah berterbangan. Pada saat yang hampir bersamaan, angin puting beliung juga menerjang Denpasar dan Gianyar, yang menyebabkan sejumlah rumah dan pura rusak, serta satu orang tewas tertimpa pohon.
Mengapa disebut angin puting beliung? Puting adalah bagian pangkal pisau yang runcing dan dibenamkan ke dalam tangkai hulu, sedangkan beliung adalah perkakas tukang kayu, yang rupanya seperti kapak dengan mata melintang (tidak searah dengan tangkainya). Logikanya, puting beliung adalah bagian pangkal beliung yang runcing yang dibenamkan ke dalam tangkainya. Kita juga bisa berpikir bahwa angin puting beliung adalah sejenis angin yang bentuknya mirip puting beliung. Dan memang demikian, angin jenis ini memiliki bentuk yang tajam di bagian bawahnya, mirip pangkal pisau yang tajam. Anehnya, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan pengertian puting beliung sebagai udara yang bergerak dengan cepat dan bertekanan tinggi, sedangkan angin puting beliung adalah gerakan udara (angin) yang berpusing, atau angin puyuh. Jadi, apa bedanya?
KBBI sungguh membuat bingung ketika memberikan definisi tentang berbagai jenis angin. Pada entri angin, disebutkan bahwa angin topan sama dengan angin puting beliung. Namun pada entri topan disebutkan bahwa topan sama dengan angin ribut, badai. Kembali ke entri angin, angin ribut didefinisikan sebagai gerakan udara yang kecepatannya antara 32 dan 37 knot (mil per jam). Namun pada entri badai, dipaparkan bahwa badai adalah angin kencang yang menyertai cuaca buruk (yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan antara 64 dan 72 knot; topan.
Jadi, apa bedanya? Kalau dijejerkan seperti itu, tampak bahwa jenis-jenis angin kencang itu dibedakan dari kecepatannya--dan tentu saja besarannya, serta tingkat kerusakan yang diakibatkan. Angin puting beliung (angin ribut) melanda kawasan yang tak terlalu luas dan terjadi hanya dalam kisaran jam, sedangkan topan (badai) mampu meluluhlantakkan kawasan yang luas dan bisa bertahan berhari hari, malah boleh jadi lebih dari seminggu.
Di Amerika, dikenal istilah tornado, ya jenis topan badai pula. Begitu juga dengan hurricane. Uniknya, entah mengapa, topan badai di dunia diberi embel-embel nama yang bagus. Ada nama El Nino (yang berarti "Si Bocah"), ada juga La Nina ("Si Bocah Perempuan"), yang melanda banyak negara beberapa tahun lalu, yang imbasnya sampai pula di Indonesia. Di Amerika, badai yang terkenal adalah Katrina. Bukankah ini nama perempuan juga? Di Bangladesh, badai itu bernama Sidr (dari kata Sidra, yang berarti "bintang jatuh").
Tentu kita berharap tidak akan ada badai yang namanya Ujang, Eulis, atau Butet.

Wednesday, January 9, 2008

Buku Baruku: Kembalikan Anakku!


Aku baru tahu buku terbaruku sudah beredar setelah aku membuka situs http://www.mizan.com/ hari ini. Beberapa waktu lalu Mas Baiquni dari Mizan memberitahukan bahwa buku yang diberi judul Kembalikan Anakku! itu sudah dipajang lebih dulu di Jakarta, terutama di toko buku MP Book Point. Dia bilang di Bandung baru Januari ini dan aku belum tahu apakah buku tersebut sudah dipajang di toko-toko di Bandung.

Buku Kembalikan Anakku! berisi kisah penculikan Raisah Ali, Agustus 2007, yang sempat menggegerkan masyarakat Indonesia, bahkan melibatkan peran Presiden SBY ketika aparat kesulitan menemukan di mana gerangan Raisah.

Aku menyusunnya dari berita-berita yang muncul di berbagai media (koran, majalah, internet) dan wawancara langsung dengan Ali Said, ayah Raisah.

Berikut ini deskripsi tentang buku ini yang kukutip dari situs Mizan:

Pada 15 Agustus 2007, Raisah, anak perempuan berusia 5 tahun, diculik dalam perjalanan pulang dari sekolah. Sejak saat itu, selama 9 hari, perhatian seluruh Indonesia tertuju pada kasus penculikan paling menghebohkan tahun lalu itu. Berkat kesigapan polisi dan kerja sama keluarga korban, kasus ini dapat dipecahkan dengan cepat dan korban dapat pulang dengan selamat.

Kasus penculikan Raisah Ali penting untuk dikaji karena sesungguhnya ini hanyalah gunung es dari maraknya penculikan di Indonesia. Buku ini memaparkan secara kronologis kasus Raisah Ali dan menggambarkan langkah demi langkah upaya keluarga dan polisi menyelamatkan Raisah. Dilengkapi pula dengan berbagai data tentang penculikan dan tip-tip praktis untuk mencegah dan menghadapi penculikan. Oleh karena itu, buku ini amat penting dibaca oleh orangtua, guru, dan bahkan semua orang yang peduli akan keamanan masyarakat.

"Buku ini mampu memberikan gambaran kepada kita bahwa anak-anak pada dasarnya mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan dari berbagai tindak kekerasan, termasuk penculikan." --Kak Seto, Ketua Komnas Perlindungan Anak

Tuesday, January 8, 2008

Sastra Mati Lampu di Unpas


Mulanya terkejut ketika Ian dari Fakultas Sastra Inggris Unpas memintaku menjadi pembicara dalam seminar dengan tema "Sastra Mati Lampu". Lah, sastra begitu riuh rendah dan terang benderang kok dibilang mati lampu. Rupanya, yang mati lampu justru di fakultas mereka. Itu pun lebih kepada langkanya kegiatan sastra dan penciptaan karya di antara mereka. Mereka ingin tercipta sebuah atmosfer yang membuat mereka bergairah dalam bersastra.
Maka hari ini, Selasa 8 Januari, aku tampil di depan para mahasiswa/i FSI Unpas, bersama dengan Nenden Lilis Aisyah. Di jagat sastra Indonesia, nama Nenden tak perlu dijelaskan lagi. Selain mengajar di almamaternya, UPI, ia masih terus menciptakan puisi dan cerpen, serta aktif dalam banyak kegiatan sastra.
nDilalah, kata orang Jawa, acara diskusi ini dibuka oleh pembacaan puisi yang antara lain karya (alm.) Beni R. Budiman, mantan suami Nenden. Mungkin sengaja? Wallahualam. Aku sendiri menyampaikan materi dengan mengutip sebuah tulisan Beni mengenai kampus dan para sastrawannya, yang pernah dimuat di Pikiran Rakyat tahun 2001. Terus terang aku tidak sengaja. Sebab, tulisan Beni itu sesuai dengan tema diskusi sastra, dan namaku disebut dalam tulisan itu.
Diskusi dihadiri sekitar 40-50 mahasiswa. Kupikir ini jumlah yang cukup menggembirakan mengingat tak ada "paksaan" untuk hadir seperti tempo hari ketika Teh Senny (Al Wasilah) mengajakku berbicara dalam program "sastrawan masuk kampus", yang merupakan bagian dari kuliah mahasiswanya.
Pertanyaan yang muncul juga menantang, meskipun masih ada juga soal "bagaimana trik menulis supaya menarik". Tak apa. Yang penting adalah antusiasme mereka.
Di akhir acara, mereka memberikan antologi puisi mereka buatku dan Nenden. Lepas dari kualitas puisi-puisi itu, bahwa mereka sudah bisa bikin antologi, meski dengan bentuk buku yang sederhana, sangat patut dihargai. Salut.

Sunday, January 6, 2008

Enam Jam Sepuluh Pengamen

BARANG siapa ingin jadi pejabat atau anggota dewan, sesekali cobalah naik bus ekonomi antarkota. Sebab, kalau sudah duduk di kursi empuk, tak bakallah punya waktu bepergian naik kendaraan seperti itu.
Begini ceritanya.
Dua minggu sekali, saya pulang kampung ke Bumiayu, Brebes. Setelah dua-tiga hari di sana, kembali lagi ke Bandung. Tiap hendak berangkat, saya harus menyediakan recehan, bisa seratusan, dua ratusan, atau lima ratusan.
Benar saja. Baru saja duduk di bus, muncul pengamen. Wajahnya tak asing lagi. Begitu juga prolognya: Selamat pagi menjelang siang, selamat jumpa lagi dengan saya, seniman jalanan, izinkan saya mengganggu sejenak ketenangan Anda. Lagunya pun itu-itu juga, campur sari, diiringi ukulele. Selesai satu atau dua lagu, si pengamen menemui penumpang satu per satu sambil membuka telapak tangan, mirip pengemis.
Turun pengamen yang pertama, naik pengamen berikutnya. Sama membawa ukulele. Kali ini lagunya pop. Sama seperti sebelumnya, cukup satu atau dua lagu, pengamen pun menyisiri kursi penumpang. "Kami tidak memaksa. Kami hanya mohon keridoan para penumpang. Tapi hargailah keringat kami," katanya.
Bus melaju keluar dari terminal. Masuk lagi pengamen ketiga. Kali ini membawa gitar. Lagunya "lagu wajib pengamen": daripada nyolong ayam, dihukum tiga bulan kurungan, lebih baik mengamen, dan seterusnya. Kalau hanya sekali dua kali, rasanya masih ada toleransi. Tapi tiga kali terus-menerus?
Untunglah sampai ke Losari, selama dua jam cukup sunyi. Tapi setelah melewati batas Jawa Barat, tepatnya di Gebang, naiklah serombongan pengamen. Ada penabuh gendang, pemetik gitar, pencabik bas, penabuh tamborin, dan penyanyinya. Alat-alat musik itu disambungkan ke amplifier. Penyanyinya wanita, berpakaian ala biduan, berpupur putih, dan bibir berpulas lipstik merah.
Setelah main, enak juga di kuping, meski pengeras suaranya kemeresak. Ritemnya meniru Rhoma Irama. Bas dan gendangnya berdentam, mengalahkeun suara mesin bus. Suara penyanyina pun merdu. Khas penyanyi dangdut. Mereka ini pengamen atau penyanyi betulan? Boleh jadi, semacam job sampingan daripada menganggur tanpa order. Sayang penyanyinya tak leluasa berjoget seperti di panggung.
Basah basah basah, seluruh tubuh, ah ah ah.
Sayang cuma dua lagu, tahu-tahu sampai Kanci, sebelum jalan tol Cirebon. Tampaknya penumpang suka. Buktinya, banyak yang memberi seribuan, yang diterima si penyanyi dengan senyum manisnya.
Keluar dari tol di Plumbon, segera naik berbondong tukang-tukang asong dan pengamen. Kali ini pengamennya bocah lelaki kira-kira sepuluh tahun. Tangannya memegang tamborin yang terbuat dari tutup-tutup botol minuman yang dipakukan ke tangkai kayu. Lagunya tak jelas. Suara ke mana, musik ke mana. Ada yang memberi pun mungkin lebih karena kasihan.
Setelah itu, tiap masuk kota, ada saja pengamen yang naik. Di Jatiwangi, Kadipaten, Sumedang. Ada yang serius, ada juga yang sekadarnya, sambil mengancam segala. "Kami hanya mengamen. Kami bukan mau ngerampok. Tapi hargai kami, jangan pura-pura tidur atau melihat ke luar jendela," katanya.
Keluar dari Sumedang, saya pikir sudah tak ada lagi. Malah sebaliknya. Tak henti-henti sejak menjelang Cadas Pangeran, Tanjung Sari, Jatinangor, sampai Cileunyi sebelum masuk jalan tol. Terus-menerus. Turun yang satu, naik yang lain.
Kadang berpikir, kenapa pengamen makin banyak? Benarkah ini salah satu tanda di negeri ini susah mencari kerja? Lagi pula, cukupkah mengamen di bus sebagai nafkah sehari-hari? Bukankah penumpang bus ekonomi kebanyakan rakyat biasa, orang-orang kampung yang juga mencari nafkah di kota, seperti tukang bakso, pelayan warteg, karyawan pabrik, pedagang kaki lima, dll?
Buat para pejabat dan anggota dewan, nah, persoalan seperti inilah yang harusnya menjadi pemikiran. Jangan malah menginginkan yang tidak-tidak. Mobil baru, kenaikan gaji, atau laptop.
**
Turun dari bus, naik angkot, barulah bernapas lega. Terasa bebas dari tukang asong dan pengamen. Enam jam di jalan, ada setidaknya sepuluh pengamen. Sayang tak lama. Di perempatan lampu merah pertama, sudah menyambut pengamen lagi, tepat di mulut pintu angkot.
Jreng-jreng-jreng! (*)

Saturday, January 5, 2008

Deudeuh Teuing, Eulis

MEH sataun cicing di Bandung, kakara ayeuna aya kasempetan lalajo sandiwara Sunda. Kahiji, pagawean asa weleh teu beak-beak tepi ka peuting unggal poena. Ma’lum atuh, kantor koran anyar, sagalana kudu ti enol wae. Komo salaku redaktur mah, apan kuring kudu miluan mariksa hasil lay out. Nu kadua, pintonan sandiwara Sunda teh langka pisan. Ceuk beja mah aya sabulan sakali ge geus lumayan.
Teu sabar ngadagoan jam dalapan. Ti mangkukna keneh geus ngajak babaturan lalajo babarengan.
“Aya keneh kitu sandiwara Sunda teh?” ceuk Kang Aom semu keom.
“Di Rumentang Siang, malem Minggu,” tembal kuring.
“Moal ah, geus boga jangji…”
“Acara keluarga nya?”
“… jeung Meti.” Bari ngiceup kituna teh.
Tuluy ngabelengeh, jiga munding keur ngagayem. Emh, eta si akang, boga beungeut kawas kedok bakal ge, bisa we ngajakan ulin jeung nu mencrang.
Ngajakan Deni nya kitu deui. “Pamajikan datang ti lembur,” cenah. Enya ge pada-pada urang Sunda, asa beda Deni jeung Kang Aom teh. Ari nu hiji tipeu salaki satia, nu hiji deui mah, duka tah… Tapi da ketang, euweuh hubunganana antara lalaki Sunda jeung karakter satia atawa henteu.
Satadina mah ukur heureuy ngajakan Lis teh. Minggu ieu manehna giliran asup beurang, ti jam dua belas tepi ka jam dalapan peuting. Teu geulis-geulis teuing, tapi manis. Kulitna beresih, buukna dicet semu beureum, tur eta panonna cureuleuk. Pangpangna mah sorana mani halimpu. Komo mun keur maging ka saha wae nu dituju: “Kanggo ka bagian redaksi, aya telepon dina line hiji,” cenah, teu beda jeung sora di supermarket.
Can aya sabulan Lis teh gawe di ieu kantor, di bagian front office. Cenah mah geus boga salaki tur budak hiji. Ngan aya beja, cenah rumah tanggana keur aya masalah. Wallahualam, da can kungsi nanya soal eta.
“Urang malem Mingguan yu?” cek kuring kamari, bari jongjon leumpang ka luar. Teu ngarep-ngarep. Paling oge diwalon ku imut.
“Hayu. Ka mana?”
Reg we.
Enyaan ieu teh? Teu salah denge?
Kuring ngalieuk.
Panon cureuleuk teh neuteup mani anteb. Nyeh imut. Leuh, enya, ku manis biwir nu imut teh. Apel cina lah.
“Lalajo sandiwara Sunda, kersa teu?”
“Dupi sandiwara Sunda teh naon kitu Pa?”
Euleuh eta geura. Dasar budak ngora, najan geus boga budak ge. Sabaraha kitu umurna teh? Aya 23? Emh, enya meureun, masa kajayaan sandiwara Sunda teh geus pareum lila. Nya kitu deui meureun masa kajayaan kuring? Asa cikeneh ngora keneh. Ayeuna mah pada nyarebut teh lain “A” atawa “Kang”, tapi “Pa”.
“Tingali we geura enjing wengi.”
“Hoyong Pa.”
“Leres?”
Nyeh deui imut. “Moal aya nu bendu?”
Kakara harita mah ngabarakatak. Ras inget ka jaman sapuluh atawa lima welas taun ka tukang, mun ngajak kenalan teh kitu jawabanana. Nanya, tapi teu merelukeun jawaban. Kaasup retoris kitu nya. Kalimah kitu teh teu kudu dijawab, da samalah mah bisa dihartikeun satuju. Nguatkeun kekecapan nu ti heula tea: hayu, ka mana? Teu, teu kudu ngajawab “moal”, lantaran bisa jadi malah ngaruksak suasana.
“Malem Minggu jam dalapan, nya?”
“Oke, Pa.”
Enyaan, teu sabar ngadagoan Saptu peuting jam dalapan. Kacipta duaan lalajo di gedong anu poek, bari pacekel-cekel leungeun. Jiga keur ngora. Teu nanaon meureun nya, angen-angen pecat sawed, najan umur geus meh tunggang gunung.
Meunang beja aya sandiwara Sunda teh ti Dian. Manehna apal da dibejaan ku Kang Moel, kuncen gedong kasenian Rumentang Siang tea. Ngan hanjakal Dian ge teu bisa lalajo. Aya kasibukan pikeun persiapan acara LBSS, cenah.
Ku kabeneran, lalakonna teh Sangkuriang Kabeurangan. Karesep kuring baheula. Ras inget ka jaman harita, taun mimiti dalapan puluhan. Kuring kakara kelas dua SMP. Harita geus dua minggu leuwih aya rombong­an sandiwara anu minton di lembur kuring, hiji desa anu saenyana mah asup Jawa Tengah, kira-kira 25 km ti wates jeung Jawa Barat, tapi masarakat sapopoena nyarita ku basa Sunda.
Peuting harita rombongan mintonkeun lalakon Sangkuriang Kabeurangan. Ku lantaran geus lila didago-dago, atuh nu lalajo ngabrul. Kuring ngahaja datang ti sore keneh, ngarah meunang tempat di hareup.
Nu lalajo sarurak eak-eakan basa Miss Titin, minangka sripanggungna, kaluar. Aeh, da di panggung mah lain Miss Titin. Make siger pulas emas dina rambutna, susumping dina cepilna, jeung gelang bahu dina puhu leungeunna, Miss Titin teh estuning ngaleungit, ngajanggelek jadi putri Dayang Sumbi.
Hate ngageter basa neuteup Nyi Dayang Sumbi.
Ngagolak malahan mah.
Hayang pisan jleng ka panggung, ngarah kuring anu jadi Sangkuriangna.
Isukna, wanci carangcang tihang, kuring buru-buru mawa anduk jeung gayung nu dieusian sabun, sikat, jeung odol, indit ka Cidadap. Leumpang gancang dina gang, tuluy bras ka jalan satapak. Ti dinya mapay galengan sawah, memeh tepi ka walungan.
Di palebah wetan, cahaya sumirat ngagembat di beulah katuhu Gunung Slamet, dipapaes ku sesa-sesa bentang peuting tadi, nu can kaburu ngaleungit tina lambar langit.
Walungan Cidadap teh ngamalir ti Gunung Baribis nu ngujur di beulah kulon, ti kidul ka kaler. Hejo poek, dilataran ku langit semu kulawu. Jiga parawan nu weleh tibra dina endahna alam pangimpian. Di beulah wetan, Cidadap ngamuara ka Ciraja, tuluy ka Cipamali.
Walungan teh kira-kira genep meter. Mun keur usum hujan, caina tarik pisan. Komo mun keur caah, euweuh nu wani meuntas cai nu ngagalura. Tapi mun usum halodo kawas harita, walungan saat. Caina ukur sagede curuk. Kari batu-batu we jeung karikil. Najan kitu, walungan teh penting pisan pikeun urang lembur mah. Mun sumur-sumur di imah geus saat, geus cunduk waktuna ngandelkeun Cidadap. Urang lembur nyarieun sumur di sapanjang walungan. Jerona aya kana sameterna, dikurilingan ku batu-batu. Aya oge nu ditambahan ku daun kalapa.
Kuring mandi dina sumur deukeut cadas. Sakumaha umumna lalaki, mandi teh dilaan sagalana. Da geus biasa, jeung deui teu kudu era sagala. Awewe ge sawareh mah aya nu mandi buligir. Tapi aya oge anu disamping nuruban awak nepi ka dadana.
Kitu pamandangan sapopoena teh. Tur biasana ge kuring teu paduli.
Ngan harita, basa geus dibaju tur rek balik ka imah, kuring kasima basa ngalieuk ka katuhu.
Dina sumur cadas, kasampak aya awewe keur mandi buligir. Nyiuk cai bari cingogo, tuluy lalaunan disiramkeun kana buukna nu ngarumbay nepi ka tonggong. Caina sawareh nyuruluk maseuhan taktak, kana leungeun, tuluy nyarakclakan kana cangkeng jeung pingping buligir. Buuk hideung ngarumbay jeung kulit koneng umyang, kakara harita kuring manggihan. Moal aya awewe lembur nu buuk jeung pakulitanana jiga kitu. Awewe di lembur kuring mah buukna lolobana semu beureum, parondok, tur ngahaja dijieun galing model harita. Kulitna karereana soklat, malah mah loba nu semu hideung.
Basa eta awewe rada ngalieuk, moal salah deui.
Dayang Sumbi. Aeh, Miss Titin.
Eta pamandangan teh teu kapopohokeun tepi ka kiwari.
Ti saprak harita, unggal peuting kuring lalajo sandiwara. Pangpangna mah hayang panggih jeung nu geulis, najan manehna mah di panggung, ari kuring cukup lalajo bareng jeung batur. Da mun hayang leuwih ti kitu mah asa ngajul bentang ku asiwung.
Ma’lum kuring teh budak bau jaringao keneh. Can boga kawani ngadeukeutan.
Hanjakal, ngan sabulan rombongan sandiwara teh. Geus lekasan minton di lembur kuring, rombongan teh indit, teuing ka mana.
Les we. Karasa aya nu leungit satutuluyna. Ka mana nya ari Miss Titin? Tepi ka ayeuna, aya kana dua puluh taun, euweuh bejana.
Kuring nuluykeun sakola ka Jogja, tuluy gawe di Surabaya. Kungsi ka Makassar, Batam, Balikpapan, jeung Jakarta. Tah, basa datang ka Bandung, bet asa muncang labuh ka puhu, kebo mulih pakandangan. Asa balik ka lembur sorangan, boh lantaran basana boh kasenianana.
Hanjakal neangan Nyi Sumbi teh weleh teu kapanggih.
Kungsi dua kali lalajo teater Sunda. Tapi beda pisan jeung sandiwara Sunda. Ari teater mah apan make naskah, tur caritana lolobana ngeunaan kaayaan kiwari. Kitu deui blokingna beda pisan. Teu kudu make layar anu digambaran ku rupa-rupa pamandangan atawa korsi nu dipapaesan minangka singgasana.
Harita nu lalajo geus ngantay memeh panto gedong kasenian dibuka. Kuring milu ngantay, sanggeus meuli tiket sapuluh rebuan. Emh, pikareueuseun. Komo nu lalajo rereana barudak ngora. Jigana barudak SMA jeung mahasiswa. Sihoreng loba keneh anu micinta kana kasenian sorangan. Aya eta ge hiji-dua anu pating caletrek kana hape, atawa pating cikikik sorangan, basa teater keur maen. Tapi nya teu nanaon. Nu penting mah korsi di jero gedong teh meh pinuh ku nu lalajo.
Kungsi deui lalajo wayang di gedong YPK, sarua pinuh ku nu lalajo.
Kitu deui basa lalajo reog di festival Jalan Braga.
Ceuk saha urang Sunda teu micinta kasenian Sunda?
**
NGAN hanjakal pisan, Saptu jam tujuh, Lis ngabejaan teu bisa maturan. “Bade ka BSM sareng pun raka,” cenah.
Sawios.
Jam dalapan kurang lima menit, kuring sorangan leumpang mapay jalan di Kosambi.
Patalimarga ngarayap. Jelema lalar-liwat. Ka marana nya? Ka gedong Rumentang Siang kitu? Ras inget kana abrulan urang lembur nu rek lalajo sandiwara Sunda harita.
Bus ka Jalan Baranang Siang. Karasa rada tiiseun. Jalan barecek, urut hujan pasosore. Di sisi jalan mah angger caraang ku nu daragang. Ras inget deui, harita ge di lembur, mun aya pintonan, sapanjang jalan baranang ku patromak nu daragang.
Reg di hareupeun Rumentang Siang.
Olohok.
Ukur aya jelema tiluan keur ngarobrol deukeut panto. Euweuh nu ngantay meuli karcis. Asa-asa basa ngaliwatan gapura ge. Teu kadenge sora nanaon ti jero gedong. Jempling.
“Punten, dupi acara sandiwara teh janten?” kuring nanya ka nu tiluan.
“Mangga Pa, teras we kalebet,” ceuk salah saurang.
Geus maen kitu? Gerentes teh.
Bus ka gedong.
Kuring ngajanteng sawatara jongjongan mah. Asa abus teuing ka gedong naon. Lampu remeng-remeng. Korsi-korsi karosong. Ngan aya genep atawa tujuh urang di korsi hareup. Teuing nu rek lalajo atawa warga grup sandiwara nu rek minton tea.
Gek diuk di tengah. Aya sababaraha urang nu ngareret ka kuring.
Lieuk kuring ka tukang. Kasampak arasup opatan barudak ngora, lalaki dua awewe dua. Jigana SMA keneh, atawa mahasiswa tingkat hiji. Tapi teu lila, kalaluar deui.
Di hareup, kadenge sora rebab, tapi kadengena pales. Sababaraha urang ting cikikik nyeungseurikeun. Enya meureun, maranehna teh warga grup sandiwara tea.
“Geus jam dalapan euy,” ceuk salah saurang.
“Sok der ah,” tembal nu sejenna.
Jam dalapan leuwih dalapan menit, jol hiji awewe di tengah panggung. Rada lintuh, jiga geus tengah tuwuh. Wedakna bodas ngeplak. Dikabaya hejo transparan, ngalapis baju bodas leungeun panjang. Jrut ngadeukeutan para nayaga nu masih keneh ngajaran gamelan. Can katingali tereh prung.
Di jero panggung, di satukangeun layar, kadenge sora barudak lalumpatan.
Jam dalapan leuwih dua puluh dua, kakara prung sandiwara teh, dibuka ku kawih nu dihaleuangkeun ku awewe nu dikabaya hejo tea. Kuring ngitung dina jero hate, teu leuwih 16 urang nu lalajo, kaasup lalaki tiluan nu tadi ngarobrol di luar gedong jeung barudak leutik nu kakara arabus ti panto gigir. Jigana mah barudak nu tadi lalumpatan di panggung.
Basa Dayang Sumbi muncul na panggung, najan tangtu lain Miss Titin eta mah, kuring asa ngalayang teuing ka jaman iraha. Jaman legenda, mangsa keur kuring leutik, jeung waktu ayeuna asa patutumpuk teu puguh. Sono ka nu geulis jungjunan ati. Tapi bet angger teu kahontal.
Sora kacapi nu ngagelik maturan Dayang Sumbi nu keur ninun asa ngageuri kana hate.
Tuh tingali, Dayang Sumbi teh angger geulis kawanti-wanti, teu robah najan ngaliwatan rebuan jaman. Tapi naha urang sorangan nu kacida kejemna ka nu geulis?
Kuring lir ngadawang ngabangbang areuy. Waas pacampur jeung sedih.
Panon karasa panas. Tetenjoan asa aya nu ngahalangan.
Deudeuh teuing, Eulis, deudeuh sandiwara Sunda. Geus cunduk kitu kana waktuna?
Clak, cipanon ngeclak tina pipi kana leungeun.
***
Bandung, 30 Mei 2007
(Dimuat dina majalah Mangle No. 2145, 29 Nop-5 Desember 2007)

Thursday, January 3, 2008

Mencari Sosok Indung

DALAM masyarakat Sunda, kaum perempuan menduduki posisi yang sangat penting dan terhormat. Kaum perempuan ditempatkan sebagai pelindung sekaligus pengasuh yang memandu anak-anaknya. Karena itu pula, kaum perempuan tidak hanya disebut “ibu”, tetapi lebih dari itu mereka disebut “indung”. Indung berarti tidak hanya perempuan yang telah mengandung dan melahirkan kita. Indung juga sekaligus memiliki makna tempat berlindung.
Seperti dalam hadis Nabi, yang menempatkan ibu di posisi yang lebih penting dibanding ayah, dalam peribahasa Sunda pun tentu bukan tanpa sengaja penyebutan ibu didahulukan dibanding penyebutan ayah. Indung tunggul rahayu, bapa tangkal darajat, yang bermakna keselamatan dan kebahagiaan anak bergantung pada keridaan dan doa ibu dan ayah.
Masyarakat Sunda buhun, yang sangat tergambar dalam cerita-cerita pantun, berlindung kepada sosok indung bernama Sunan Ambu. Sunan berasal dari kata susuhunan, artinya yang disembah. Ambu adalah ibu. Jadi, Sunan Ambu berarti Ibu Kedewataan, Ibu Ilahiah. Di kahyangan, Sunan Ambu memiliki posisi yang penting, yakni sebagai penguasa tempat tinggal para hyang dan roh-roh leluhur itu. Dia berkuasa atas para pohaci (bidadari) dan bujangga (bidadara).
Nama Sunan Ambu dapat ditemukan dalam cerita-cerita rakyat seperti Lutung Kasarung dan Mundinglaya Di Kusumah. Dalam cerita-cerita tersebut, Sunan Ambu digambarkan sebagai sosok yang penuh cinta kasih, tetapi juga tegas menghukum kalau ada yang melanggar pantangan. Putranya sendiri, Guruminda, dihukum turun ke dunia (buana panca tengah) karena pernah memandang sang ibu dengan penuh cinta. Guruminda harus menjalani hukuman menjadi seekor lutung. Namun Sunan Ambu tak melepaskan anaknya begitu saja. Dia menghadirkan Purbasari, perempuan yang sosoknya mirip Sunan Ambu sendiri, supaya Guruminda bisa mengawini putri bungsu Kerajaan Pasir Batang itu di dunia.
Sosok perempuan lain sebagai tempat berlindung yang penuh kasih sayang sekaligus tegas dalam bertindak sehingga posisinya menjadi terhormat adalah Dayang Sumbi. Dia memiliki seorang anak lelaki, Sangkuriang, yang sangat disayanginya. Namun ketika si anak melakukan kesalahan, Dayang Sumbi mengusirnya. Ketika bertahun-tahun kemudian Sangkuriang muncul lagi dan ingin mengawini Dayang Sumbi, sang ibu tentu saja menolak dengan tegas dan melakukan berbagai upaya agar keinginan Sangkuriang tak terlaksana.
Dongeng lain di tanah Sunda bercerita tentang Putri Kandita dan sang ibu, Dewi Rembulan, yang terkena guna-guna sehingga wajah keduanya menjadi buruk penuh dengan koreng, bersisik. Mereka pun diusir, keluar dari keraton. Dalam perjalanan, sang ibu wafat sehingga tinggallah sang putri seorang diri. Sang putri berjalan menyusuri pantai selatan. Karena kelelahan, dia tertidur dan bermimpi mendapat petunjuk dari Dewata, yakni jika ingin wajahnya kembali cantik, sang putri harus menceburkan dirinya ke Laut Kidul. Dia kemudian menjelma menjadi ratu makhluk halus dan menguasai seluruh Laut Selatan. Selanjutnya, oleh masyarakat, ia dikenal sebagai Ratu Kidul. Di sini tampak bahwa meskipun terusir dari tanah asalnya, seorang perempuan akhirnya memiliki kekuasaan yang besar di tempat lain.
Anehnya, berbeda dengan cerita-cerita pantun dan dongeng, catatan sejarah tanah Sunda menunjukkan bahwa posisi perempuan nyaris tak kelihatan. Kekuasaan hampir selalu berada di tangan lelaki. Sejak para Dewawarman memerintah Salakanagara, lalu Jayasingawarman, Darmayawarman, Purnawarman, dan seterusnya menguasai Tarumanagara, kemudian Manikmaya sampai Linggabumi menjadi raja-raja Kendan hingga Galuh, lantas Tarusbawa, Sanjaya, dan seterusnya hingga periode Linggabuana, Niskala Wastukancana, dan kemudian Sri Baduga Maharaja sampai Raga Mulya memimpin tanah Sunda, semua raja-raja itu kaum lelaki belaka.
Ada memang catatan yang menyebutkan bahwa Bhimadigwijaya, salah seorang yang pernah berkuasa di Salakanagara, mempunyai anak perempuan, Spatikarnawa, yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi ratu. Namun, setelah itu, meskipun seorang penguasa mempunyai anak pertama perempuan, selalu sang menantulah yang meneruskan menjadi raja. Prabu Jayaprakosa, salah seorang raja di Galuh, digantikan oleh menantunya, Prabu Darmasakti. Prabu Hulukujang digantikan menantunya, Prabu Gilingwesi. Dan Gilingwesi pun digantikan oleh menantunya, Prabu Pucukbumi.
Bandingkan dengan sejarah kerajaan-kerajaan di luar tanah Sunda. Maharani Sima, misalnya, puluhan tahun menjadi penguasa Kalingga. Parwati pernah tercatat memerintah Mataram (Kuno). Lalu Sri Isanatunggawijaya di Mamenang. Ratu Sang Luhur Sri Gunapriyadharmapatni pernah menjadi penguasa Bali bersama sang suami, Sri Dharmodayana Warmadewa. Meskipun tidak menjadi penguasa tertinggi, anak perempuan Airlangga, Sanggramawijaya, diangkat menjadi mahamantri i hino (sebuah jabatan sangat tinggi yang hanya kalah dibanding raja). Dan tentu saja Trbhuwanattunggadewi, yang pernah menjadi ratu Majapahit.
Meskipun tidak memegang kekuasaan, sejumlah perempuan Sunda mencatat sejarah yang cemerlang—kendati jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Dyah Pitaloka, walaupun belum menjadi sosok indung, menunjukkan karakter yang teguh memegang kehormatan tanah Sunda dengan memilih bunuh diri daripada menjadi upeti untuk Raja Hayam Wuruk.
Dua dari sedikit nama lain dalam sejarah sebagai perempuan yang memiliki karakter indung adalah Raden Dewi Sartika dan Inggit Garnasih. Dewi Sartika tentu bukan nama asing bagi masyarakat Sunda. Begitu pula Ibu Inggit, sosok yang berperan besar mengantarkan Soekarno ke tampuk tertinggi kepemimpinan Republik Indonesia—dan yang kemudian dengan ikhlas melepas sang suami menikah dengan perempuan lain.
Mengapa sosok indung sulit dicari di dalam catatan sejarah, pasti menarik untuk menjadi bahan diskusi. Tulisan ini tidak hendak membahasnya, dan juga tidak hendak mencoba menyebutkan siapa saja sosok indung pada perempuan Sunda masa kini. Selain memang tidak mudah menentukannya, yang jauh lebih penting adalah bahwa baik tokoh dongeng seperti Sunan Ambu dan Dayang Sumbi maupun tokoh sejarah semisal Dyah Pitaloka, Raden Dewi Sartika, dan Inggit Garnasih hendaknya menjadi inspirasi yang tak putus-putus agar kaum perempuan Sunda sekarang dan seterusnya memelihara karakter yang terpuji seperti yang terkandung pada kata indung.
Selamat Hari Ibu. (*)

(Tulisan ini dimuat di Kompas edisi Jabar, 22 Desember 2007)

Jing-Tang-Tong!

Carpon ini merupakan salah satu pemenang lomba yang diadakan Taman Budaya Jawa Barat:


HANJAKAL pisan teu ti mimiti nyaho saha saenyana Dasmin teh. Kitu tah sipat manusa mah: hanjakal teh sok pandeuri.
Dasmin teh tangtu lain jelema samanea. Moal salah deui, manehna tangtu jelema suci, sabangsaning wali, nu ngahaja dilungsurkeun ku Gusti Nu Maha Suci ka ieu dunya. Hususna ka lembur kuring. Mun lain jelema suci, jang naon manehna bisa aya di ieu lembur kalawan teu percumah?
Sakabeh urang lembur pada nyaho saha Dasmin teh: lalaki ngora nu boga kabiasaan leumpang ngagedig bulak-balik ti tungtung kulon tepi ka tungtung wetan lembur. Sapoena teuing bisa sabaraha kali pulanganting teh. Meh sapanjang jalan leungeun kencana nulak cangkeng, leungeun katuhuna diayun-ayunkeun ka tukang ka hareup, bari sungutna nurutan sora kendang.
“Jing tang tong! Jing tang tong!” cenah.
Ceuk beja mah, Dasmin teh pada ngusir ku urang lembur manehna, kira-kira lima kilometer beulah kidul lembur kuring. Kitu meureun nya sipat urang mah, nu sok ngarasa pangberesihna. Asa aing uyah kidul. Naon wae nu bakal ngotoran diri urang kudu geuwat dipiceun. Jelema model Dasmin ge meureun pada nganggap bakal jadi kokotor lembur, nu matak kudu buru-buru diusir. Ngan teu kacaritakeun naha manehna boga keneh dulur di lemburna.
Anehna, urang lembur kuring mah bet raresepeun ka Dasmin teh, najan teu leuwih pikeun hiburan. Pabeubeurang usum halodo teh panas ereng-erengan, atuh lumayan bisa seuri ningali kalakuan Dasmin.
Ku barudak mah sakapeung pada maledogan ku karikil bari nurutan sora kendang tea. Ma’lum, apan di mana-mana ge nu ngaran barudak mah sok tara ngarasa salah, najan maledogan jelema teh kawas maledogan hayam. “Seuah, seuah, ka ditu!” cenah ceuk barudak teh. Dasmin ukur ngaheheh pada maledogan teh. Katingali gugusina anu beureum kawas tomat asak. Paling oge manehna api-api nyokot batu jiga nu rek maledog. Atuh teu antaparah deui barudak teh paburiak lalumpatan. Ngan tara enyaan maledog Dasmin mah.
Sot deui batu teh, tuluy leungeun kencana kana cangkeng, leungeun katuhu diayun-ayunkeun ka tukang ka hareup, bari sungutna nurutan sora kendang, “Jing tang tong! Jing tang tong!”
“Gatotgaca gelo!” ceuk barudak.
Dasmin ukur ngagerem dikitukeun teh.
“Mmm… jek nong!” cenah, minangka sora kecrek jeung kenong.
Enya, nurutan ngageremna Gatotgaca tea.
Teuing kumaha mimitina, kuring bet resep ka Dasmin. Pedah eta meureun, da Dasmin mah tara maledogan ka barudak. Bisa jadi pedah manehna mah ukur seuri mun pada ngahina ku batur teh. Atawa ieu meureun: Dasmin teh saenyana lalaki kasep tur tara poho meresihan awakna di kamar mandi masigit. Mun seuri ge katenjo huntuna beresih tur bodas. Kitu deui bajuna, sok katingali beresih. Teuing saha nu sok mere baju ka manehna.
Atawa pedah kaayaan ekonomi kitu? Kieu maksudna. Kaayaan ekonomi teh bet asa beuki matak nyekek. Harga beas, minyak goreng, minyak tanah, listrik, naon ku hanteu, beuki ngajul wae. Teu kahontal ku gajih anu tara pipilueun naek.
Kuring ukur setap di kantor kacamatan. Boga budak dua, nu hiji rek asup SMP, nu hiji deui rek asup SD. Geus pada-pada nyaho apan, anggaran nu kudu disadiakeun pikeun asup sakola naon wae ge di urang mah beuki ngaratus rebu, malah mah ngajuta. Leuwih nyekek batan anggaran lebaran. Baju saragam, kaos olahraga, buku-buku, tas, sapatu, naon ku hanteu, can ditambah uang gedung nanahaon. Wajib kabeh eta teh. Geus kitu, pamajikan bet hayoh we kukulutus ngeunaan sagala harga naek. Atuh kudu kumaha deui? Da urang mah teu bisa nanaon. “Nya atuh neangan pangasilan tambahan tina naon wae. Tingali batur mah bisa,” kitu pokna teh.
Tah, dina kahirupan model kitu, teuing ku naon, karasa Dasmin teh jadi salah sahiji hiburan pikeun kuring. Sok resep ningali beungeutna nu teu weleh seuri najan pada ngaheureuyan kaleuleuwihi ku barudak. Leungeun kenca dina cangkeng, leungeun katuhu diayun-ayunkeun, bari sungutna nurutan sora kendang, “Jing tang tong! Jing tang tong!” Kitu sapanjang jalan, bulak-balik ti tungtung kulon tepi ka tungtung wetan lembur. Bangun euweuh kacape.
Mun ningali kuring, ti kajauhan ge geus gugupay, tuluy ngacungkeun curuk jeung jajangkung bari diantelkeun kana biwirna nu dimanyunkeun.
Kuring malik gugupay, tuluy ngodok saku baju, nyokot sabatang, sok dibikeun ka manehna. Sakapeung mah ku kuring nu sok dipangnyeungeutkeun sakalian.
Sok bari peureum-beunta mun manehna ngaroko teh, bangun nu ni’mat pisan. Sakapeung mah mun nyeuseup teh jiga nu moal rek ngaluarkeun deui haseupna. Sanggeus dibekem dina sungutna, kakara haseup teh dikaluarkeun saeutik-saeutik tina irung jeung biwirna.
Geus kitu mah, ngobrol teh ka mana-mendi. Sakali mah nanya boga nomer alus atawa henteu.
“Boga nomer alus mah mending pasangan we ku sorangan,” kitu jawabna teh, bari ngaheheh.
Kalan-kalan nanya soal maenbal. “Kumaha yeuh, Chelsea lawan Liverpool engke peuting?”
“Tah, ieu karesep uing teh. Rame pisan. Hiji-hiji jigana mah. Hanjakal Persib teu jiga kitu maenna. Cacakan mun boga pamaen kawas Gatotgaca, meureun bisa jawara Maung Bandung teh. Ku ajian Brajamusti tea, tangtu sepakanana bisa ngajebol gawang musuh.”
Kuring ngabarakatak.
Mun kuring jeung Dasmin keur uplek ngobrol duaan, euweuh barudak nu wani ngaganggu.
Sok resep ngabandungan caritaan Dasmin nu sakapeung mah teu katepi ku akal. Imajinasina ngapung ka mana-mendi. Cenah mah, jelema model Dasmin teh sok ngadenge sora tanpa rupa teuing ti mana asalna. Jejer caritana ka ditu ka dieu sangeunahna. Keur nyarita sual maenbal, ujug-ujug mengkol kana sual langit bulao. “Hayang hiber euy,” cenah. Geus kitu, ngadadak ngomong sual kadaharan.
“Lapar nya?” ceuk kuring.
Manehna ukur ngabelengeh.
Sok weh sarebu mah. “Cik geura ka warung, meuli kueh atawa naon.”
Hiji waktu, Dasmin nyarita hayang luncat tina sasak.
“Entong atuh,” ceuk kuring rada hariwang.
“Moal nanaon. Pan teu pati luhur…”
Di beulah wetan lembur teh aya sasak anu handapeunana ngamalir walungan kira-kira sapuluh meter rubakna. Tina sasak kana walungan teh aya kana lima meterna. Moal pikahariwangeun kumaha, walungan teh keur saat, nu aya teh ukur batu-batu wungkul sagede-gede munding.
Na eta mah, Dasmin teu bisa diulah-ulah. Kuring ge teu nyaho kajadianana, ngan ukur ngadenge caritaan batur.
“Dasmin rek maehan maneh!” Urang lembur ibur.
Nurutkeun caritaan nu naringali, harita Dasmin naek kana pager sasak beusi, tuluy nangtung. Dua leungeunna dipantengkeun ka sisi, jiga Nabi Isa basa disalib dina tihang kayu. Beungeutna tanggah, panonna peureum, kawas jelema nu keur ngadunga. Geus kitu, lalaunan awakna doyong ka hareup. Teu lila, awak Dasmin ngalayang ragrag ka walungan. Nu ningali pating jarerit. Sawareh mah ngabalieur atawa peureum. Kacipta atuh mun awak Dasmin ninggang kana batu-batu walungan. Ngan sabaraha detik, kadenge sora ngagedebug.
Eta ku ajaib, Dasmin ragrag meneran pisan kana keusik. Padahal di sakurilingna batu-batu wungkul. Teu tatu saeutik ge. Ukur lecet ge henteu. Ngan beungeut jeung bajuna lamokot ku keusik.
Basa panggih jeung manehna di sisi jalan hareupeun imah kuring, handapeun tangkal mahoni, kuring nanya naon tujuanana ngaragragkeun maneh tina sasak.
“Hayang ngabuktikeun yen urang bisa ngalayang kawas dangdaunan,” kitu jawabna.
Kuring olohok. “Nyatana henteu, pan?”
Dasmin balaham-belehem.
“Jek-nong!” cenah.
Hiji poe, kalakuan Dasmin beda ti sasari. Ngagedigna mah angger jiga Gatotgaca. Leungeun kenca nulak cangkeng, leungeun katuhu lempeng bari diayun-ayunkeun ka hareup ka tukang. Biasana mah beungeutna teh marahmay. Tapi harita jiga langit ceudeum. Tarangna kerung, halisna meh ngahiji.
“Mmmmm...” pokna, angger nurutan sora Gatotgaca.
“Jek nong!” tembal kuring.
Ngan manehna harita mah teu seuri teu imut.
“Dumasar kana aji Sapta Pangrungu kaula, aya beja yen ieu nagara teh teu lila deui bakal kiamat. Ku kituna, he sakabeh rahayat Pringgandani, geuwat arandika tatan-tatan piekun mapag datangna musibah. Geuwat laksanakeun upacara beberesih sarta sumerah diri ka Hyang Murbeng Dumadi.”
Kuring olohok ngadenge omonganana.
“Maneh teh boga bakat jadi dalang oge geuningan,” ceuk kuring heureuy.
Dasmin cengkat. Leungeun duanana nulak cangkeng ayeuna mah. Panonna bolotot.
“Eh, dengekeun nya, eta teh wahyuning Sang Hyang Wenang Gusti Allah!”
Kuring beuki olohok.
Jigana ka batur ge manehna ngomong kitu. Da buktina, teu lila ge pada ngaromongkeun. Aya nu nganggap serieus. Tapi leuwih loba nu ukur nyeungseurikeun.
“Nu gelo dipercaya!”
Teu lila, omongan Dasmin teh geus pada mopohokeun. Jigana urusan beuteung leuwih penting batan mikiran omongan nu teu puguh alang-ujurna. Komo deui panas halodo asa beuki ereng-erengan.
Hiji waktu kuring panggih deui jeung manehna. Cara sasari, ngobrol teh teu puguh jejerna.
Ngan teu lila, kadenge sora adan di masigit. Jep jempe Dasmin teh.
“Buruan geura ka masigit, geus cunduk kana waktu, geus ninggang kana mangsa,” pokna, sanggeus adan rengse.
“Ke lah, sakeudeung deui,” tembal kuring.
“Ngadagoan naon deui?”
“Apan kakara adan. Jeung deui, bisa sorangan di imah. Kagok, can mandi.”
“Astagfirullah. Urang teh saha nu nyaho naon nu bakal tumiba, apan? Jing-tang-tong! Ulah sok nunda-nunda sagala hal anu bisa dilakukeun ayeuna!”
Kuring kasima harita mah.
“Tuh tingali, masigit anu sakitu agrengna, nu daratang teh ukur sababaraha urang. Teu cukup jang nyieun hiji saf oge.”
“Euh, apan can baralik, Min. Loba anu masih keneh di kantor, di sawah, di tempat gawe. Loba barudak nu can baralik ti sakola di kota.”
“Ha-ha-ha!”
Enyaan, musibah mah teu bisa diramal. Euweuh nu nyangka dina usum halodo ereng-erengan kitu hujan bisa ngagebret tarik pisan. Hujan angin. Tengah peuting harita teh. Sakabeh urang lembur tangtu keur talibra. Tatangkalan loba nu rarungkad, ninggang opat imah nepi ka ampir rata jeung taneuh. Walungan di palebah wetan lembur caah galura, ngaleakkeun mangpuluh imah.
Nu maot aya lima.
Basa isukna hujan raat, kanyahoan yen salah sahiji nu maot teh Dasmin. Innalillahi. Manehna kapanggih katinggang tangkal mahoni hareupeun imah kuring pisan. Ningali posisi layonna basa kapanggih, kuring boga kacindekan yen manehna nahan tangkal mahoni ngarah teu ninggang imah kuring. Subhanalloh.
Hiji hal nu moal kapopohokeun, basa kapanggih, beungeut Dasmin teh beresih tur biwirna imut.
Layonna dimandian, disolatkeun, tuluy dikubur bareng jeung korban maot sejenna di kuburan lembur.
Sanggeus Dasmin euweuh di kieuna, kuring ngarasa leungiteun nu taya papadana. Resep ngerem sorangan. Tur sok kadenge sora tanpa rupa nu teu nyaho ti mana asalna.
***
Bandung, Juni 2007