Thursday, February 28, 2008

Kontroversi Penghargaan Budaya

(Ini sebetulnya tulisan agak lama, beberapa hari setelah tahun baru. Kukirimkan ke Kompas Jabar, tapi rupanya tidak layak muat.)

TERPILIHNYA W.S. Rendra sebagai salah satu penerima Penghargaan Budaya Sunda dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, pada malam Tahun Baru 2008, mengejutkan dan menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apa posisi penting seniman berjuluk “Si Burung Merak” ini pada peta budaya Sunda?
Perjalanan panjang kiprah Rendra dalam peta seni dan budaya Indonesia, tentu saja, tak perlu diragukan lagi. Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, 7 November 1935) sudah berkarya sejak pertengahan 1950-an. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan kemudian Bengkel Teater Rendra di Depok. Karya-karyanya (drama) antara lain Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), Sekda (1977), dan Mastodon dan Burung Kondor (1972), sedangkan puisi-puisinya terangkum dalam Jangan Takut Ibu, Balada Orang-Orang Tercinta, Empat Kumpulan Sajak, Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!, dan lain-lain.
Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996), dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Namun, penghargaan yang penyerahannya dilakukan di Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, itu, sekali lagi, bertajuk “budaya Sunda”. Nama atau lembaga lain yang menerima penghargaan ini, antara lain mantan Menteri Luar Negeri, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, budayawan Dr. Saini KM, Majalah Mangle (majalan bahasa Sunda), Kampung Cipta Gelar (kampung adat), harian Pikiran Rakyat Bandung, tokoh pencak silat paguron Tadjimalela (alm.) Djadjat Kusumahdinata (Djadjat Paramor) sebagai legenda, dalang Mamat Tahmat Tambi (dalang wayang kulit), Bi Raspi (seniman ronggeng), bolehlah diterima menurut “rasa kesundaan”.
Dengan jejak langkah yang sudah dijalani Rendra dan pemahaman mengenai “budaya Sunda”, terpilihnya Rendra memang terkesan kontroversial. Kontribusi Rendra terhadap budaya Sunda masih bisa diperdebatkan. Apakah Rendra terpilih karena ia tinggal di Depok, Jawa Barat?
Para juri tentu saja punya kriteria sendiri sehingga menganggap Rendra layak menerima penghargaan budaya Sunda. Namun ada dua hal yang juga patut menjadi catatan.
Pertama, Rendra terpilih dalam kategori diva. Kalau benar demikian, sungguh menggelikan. Sebab, diva berarti penyanyi opera wanita, atau primadona, seperti Renata Tebaldi, Joan Sutherland, Leontyne Price, Maria Callas, atau Kiri te Kanawa. Namun istilah diva juga digunakan untuk penyanyi wanita yang hebat, misalnya Whitney Houston, Madonna, Patti Labelle, Cher, Mariah Carey, Beyonce, Celine Dion, dan Aretha Franklin (lihat Wikipedia). Di Indonesia, penyanyi yang disebut-sebut sebagai diva antara lain Vina Panduwinata, Krisdayanti, dan Ruth Sahanaya. (Sebagai tambahan, di Barat, istilah diva sering dipakai dengan konotasi negatif karena para bintang itu dinilai arogan, sulit bekerja sama, manipulatif, cerewet, dan banyak menuntut.)
Kedua, asumsikan Rendra tetap layak menerima penghargaan Sunda, benarkah tak ada lagi nama yang lebih layak menerima penghargaan yang sama, tokoh yang benar-benar memiliki peran penting dalam perkembangan budaya Sunda dan Jawa Barat?
Benar saja, sejumlah tokoh budayawan Cirebon langsung bereaksi. Mereka memprotes keras pemberian penghargaan budaya itu. Pasalnya, tidak ada satu pun tokoh Pantura yang mendapat penghargaan tersebut. Ketua Dewan Kesenian Cirebon Ahmad Syubhanuddin Alwy, misalnya, menilai, tidak adanya tokoh Pantura yang dilibatkan, bahkan tidak mendapat penghargaan tersebut, merupakan suatu tindakan marginalisasi budaya oleh pemerintah. Alwy menuding tidak adanya tokoh budaya Pantura yang diberi penghargaan ini mungkin terkait politisasi Pilgub Jabar 2008 atau terkait politisasi wacana pemisahan Pantura sehingga para penilai penghargaan lebih mementingkan unsur politis daripada ketulusan dalam penilaiannya. Alwy pun menunjuk betapa kayanya wilayah Pantura dengan seni dan budaya, misalnya tari topeng, keraton, dan tokoh‑tokoh seni budaya setempat.
Tudingan senada diungkapkan Putra Mahkota Keraton Kasepuhan, PRA Arief Natadiningrat. Menurut dia, keputusan meniadakan figur dari Cirebon terkait pelestarian budaya Sunda sangat melecehkan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Hal ini, kata Arief, sama saja dengan tidak mengakui Cirebon dan sekitarnya sebagai bagian masyarakat Sunda atau seolah‑olah budaya Cirebon bukan budaya Jabar.
Baik Alwy maupun Pangeran Aref mengatakan, kalau masyarakat Pantura terus dimarginalkan, apalagi sekarang sudah menusuk pada marginalisasi unsur budaya, bukan suatu halangan bagi masyarakat Pantura untuk memisahkan diri dari Jabar.
Pemberian penghargaan apa pun kerap memunculkan ketidakpuasan. Bahkan pemberian hadiah Nobel pun tak jarang dinilai terlalu memanjakan negara-negara tertentu. Bagaimanapun, pemilihan seperti ini bukanlah lomba atletik atau angkat besi yang penentuan pemenangnya bisa dilihat secara kasat mata.
Pada awal Desember lalu, sebagai perbandingan, penghargaan yang diberikan oleh Akademi Jakarta (AJ) kepada penyair Sutardji Calzoum Bachri diprotes oleh sejumlah sastrawan. Alasannya, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pernah memberikan penghargaan kepada Sutardji melalui hadiah Chairil Anwar, padahal AJ adalah lembaga yang menginspirasi lembaga-lembaga seperti DKJ. Dengan demikian, penghargaan ini dinilai sebagai pekerjaan mendulang masa lalu, involutif, serta merupakan duplikasi nilai. Jadi, menurut mereka yang memprotes, pemberian penghargaan terhadap Sutardji tidak edukatif dan tidak kondusif untuk kemajuan kebudayaan Indonesia.
Kontroversi seputar penghargaan untuk Rendra dan protes para tokoh Pantura hendaknya menjadi catatan bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Penghargaan budaya adalah pengakuan atas kerja para tokoh atau lembaga budaya. Dan memang sudah sepantasnyalah penghargaan diberikan kepada siapa dan pihak mana pun yang sudah terbukti memberikan kontribusi bagi perkembangan budaya. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya tidak melakukan blunder dalam melakukan pemilihan. Pemerintah harus melakukannya secara objektif, lepas dari unsur politis, dan merangkul semua pihak.Sebagai tambahan, pemberian penghargaan umumnya lebih menonjol nuansa simbolis dan seremonialnya. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah apa saja langkah konkret setelah pemberian penghargaan seperti itu. Pemberian penghargaan hendaknya merupakan langkah awal yang diikuti langkah lain, yaitu memberikan kesempatan dan fasilitas seluas-luasnya bagi para pelaku seni dan budaya untuk mengekspresikan potensi mereka.

Tuesday, February 19, 2008

Cinta

(Cerpen ini dimuat di harian Seputar Indonesia, Minggu 17 Februari 2008)

I
PISAU lipat itu bergetar di genggamanku. Ah, pasti karena denyut jantungku yang kian kencang, seperti pegas di ambang retas. Pisau itu baru kubeli di toko kecil tak jauh dari rumahku. Hijau pupus warna tangkainya—seperti warna gaun kesukaannya, entah dari bahan apa, dan kecil saja ukurannya. Harganya pun tak seberapa. Dalam keadaan terlipat, paling-paling lima sentimeter pan­jangnya. Dalam keadaan terbuka, tajam ujungnya berkilat tatkala memantulkan cahaya.
Kalau kita berkaca, akan tampak wajah kita yang sebenarnya: mengerikan seperti denawa.
Tiap malam, keletak-keletuk sepatunya yang beradu dengan lapisan beton jalan gang kompleks perumahan memukul-mukul keheningan. Memukul-mukul jantung. Mula-mula samar, seperti ketukan ujung jari di tembok, makin lama makin nyaring. Iramanya selalu sama. Seperti nyanyian dua per dua, dengan tempo alegro.
Selalu ingin kusibakkan tirai jendela, kuintip remang jalan di muka, dan kunikmati sumber bunyi yang menggetarkan lebih dari komposisi Tchaikovski. Bila perlu, akan kubuka pintu kamarku, lalu keluar dan kutunggu dia di pintu pagar. Akan kusapa dia dengan ucapan selamat malam. Dan aku yakin dia akan menoleh dengan senyumnya yang paling mendebarkan. Udara akan tersaput dengan harum magnolia.
Seandainya waktu berkurang lima atau enam tahun, aku bahkan akan menunggunya di ujung jalan.
Aku akan menyapanya dengan segala kesopanan. Aku yakin dia akan menarik bibir merahnya dengan senyuman yang ramah. Kalaupun tidak, dia tentu akan menjawab sapaanku dengan lirik mata yang mendebarkan atau suara yang mendesis seperti bisik angin. Kalaupun tidak juga, aku akan memaksanya berjalan merendenginya di sepanjang gang yang sunyi. Bila perlu merangkulkan tanganku di pundaknya.
Tapi sampai ketukan itu larut di udara malam, aku masih terempas dalam kesunyian yang makin mengimpit.
Aku hanya bisa membelai permukaan bilah pisauku, pelan-pelan dari pangkal, dan aku merasainya seakan-akan jemariku menyusuri permukaan punggungnya—duhai, aku bahkan belum tahu namanya.
Tak lama lagi dia, setelah lelah sejak sore menghibur para lelaki yang kelelahan, akan sampai di rumahnya. Tepatnya, salah satu kamar di rumah mewah hampir di ujung jalan. Dia akan membuka pagar besi rumah itu, lalu akan terdengar derit yang menyilet hening, membuka kunci pintu samping, menutupnya kembali, berjalan menaiki tangga, dan membuka pintu kamar depan di lantai dua. Ketika pintu terbuka, pasti akan meruap wangi yang tak kalah segar dari dalam kamar. Mungkin dia akan langsung merebahkan tubuh rampingnya di kasur yang empuk dengan seprai merah muda yang harum. Mungkin juga dia akan membuka dulu bajunya, mengambil handuk, lalu membasuh tubuh telanjangnya dengan air yang sejuk.
Setelah itu, akan ia kenakan gaun tidur hijau pupus yang lembut. Sama lembutnya dengan hijau tangkai pisauku. Dia pasti sangat menyukai warna hijau. Gaun hijau sutra itu halus dan tipis sehingga akan menerawangkan warna kulitnya yang pualam dan bentuk tubuhnya yang mengingatkanku pada sosok Dewi Supraba.

II
OH, kenapa kamu selalu gelisah, lelaki? Kamu ingin keluar mencegat perempuan malam itu? Keluarlah. Muncratkan semua kepenatan dalam dadamu. Aku tak ingin menjadi penjara bagimu. Kalau kauanggap bahwa apa yang ada dalam pikiranmu akan membuatmu menjadi laki-laki, ayolah kumpulkan keberanianmu, buka pintu hati-hati supaya kamu yakin tak akan membangunkanku. Dan aku tak akan membuka mata seandainya pun aku bangun dan mengetahuinya. Bukalah pintu, menyelinaplah keluar seperti kucing. Bukankah laki-laki itu memang kucing? Tutup lagi pintu. Kalau perlu, kuncilah dari luar biar aku terkurung di dalam, dalam ketidaktahuan—setidaknya tidak tahu menurut anggapanmu.
Senyampang keletak-keletuk suara sepatunya masih menggema di telinga, keluarlah melalui pintu muka. Sapalah dia dengan segala kesopanan. Aku yakin dia akan menarik bibir merahnya dengan senyuman yang ramah. Kalaupun tidak, dia akan menjawab sapaanmu dengan lirik mata yang mendebarkanmu atau suara yang mendesis seperti bisik angin. Tapi, kalaupun tidak juga, jangan memaksanya berjalan merendenginya di sepanjang gang yang sunyi, apalagi merangkulkan tanganmu di pundaknya.
Pasti dia terlalu lelah karena sejak sore menghibur para lelaki yang kelelahan. Temani saja sampai rumahnya. Tepatnya, salah satu kamar di rumah mewah hampir di ujung jalan. Bukakan pagar besi rumah itu, hati-hati, pasti akan terdengar derit yang menyilet hening. Antar dia membuka kunci pintu samping, menutupnya kembali, berjalan menaiki tangga, dan membuka pintu kamar depan di lantai dua. Kamu pasti akan suka karena ketika pintu terbuka, akan meruap wangi yang tak kalah menyegarkan dari dalam kamar. Kamu pasti akan lebih suka kalau dia akan langsung merebahkan tubuh rampingnya di kasur yang empuk dengan seprai merah muda yang harum, apalagi kalau dia membuka dulu bajunya, mengambil handuk, lalu membasuh tubuh telanjangnya dengan air yang sejuk.
Bukankah kamu selalu membayangkan indahnya pemandangan itu?
Hei, kamu masih gelisah di sini, lelaki?

III
KELETAK-keletuk bunyi sepatuku yang beradu dengan lapisan beton memukul-mukul hening malam. Dan memukul-mukul dadaku. Aku seperti menjadi manusia soliter, sendirian hidup ketika alam semesta tidur. Dan sebentar pagi aku akan menjadi satu-satunya manusia yang mati ketika alam semesta hidup disiram matahari.
Oh, tidak, aku yakin, di sebuah kamar, seorang lelaki tengah gelisah. Hampir tiap malam aku merasakan sepasang mata memandang dari kegelapan seperti hendak menelanku. Aku tak pernah melihat mata itu. Tapi aku merasakan sorotnya, seperti sepasang garis sinar sejajar yang memancar dari sudut malam yang pudar.
Dasar lelaki, ayolah sibakkan tirai jendelamu, intiplah keremangan jalan ini. Akan lebih baik lagi kalau kau tidak terus-menerus sembunyi, tapi bukalah pintu kamarmu, lalu keluar dan menungguku di pintu pagar. Sapalah aku dengan ucapan selamat malam. Atau selamat pagi. Aku akan menoleh sambil kuberikan sisa senyumku.
Tapi sampai kulewati kamarmu yang temaram, aku hanya menjumpai kesunyian yang makin mengimpit.
Aku memang lelah karena sejak sore menghibur para lelaki yang mengaku kelelahan. Namun aku senang melakukannya karena dengan demikian aku menjadi makin tahu bahwa semua lelaki memang tolol.
Mereka saling berebut kekayaan sepanjang siang seperti binatang yang berebut makanan, hanya untuk dibuang dalam beberapa kejapan malam harinya, dengan alasan untuk mengusir kelelahan.
Ah, ayolah, lelaki, bukankah kamu sama dengan semua lelaki itu?

IV
AH, perempuan, maafkan aku. Kau terlalu indah, karena itu izinkan aku melukis tubuhmu, untuk bisa kunikmati sendiri lukisannya. Kamu terlalu indah untuk juga dimiliki lelaki lain.
Telah kusiapkan kuas yang khusus. Ujungnya memang tajam mengilat, dan tak perlu cat jenis apa pun untuk melukis tubuhmu. Mungkin aku akan memulai dengan ujung telunjuk kiriku sebagai semacam garis kasar, yang akan diikuti dengan ujung pisau lipatku. Ya, ya, akan kumulai dari bawah tengkuk lehermu. Bukankah di sana ada tato kupu-kupu yang membentangkan sayapnya yang biru? “Kenapa kau senang tato kupu-kupu?” begitulah aku akan bertanya lebih dulu. “Karena indah sekaligus rapuh,” pasti demikian jawabmu. Ironi yang indah, bukan?
Dari gambar kupu-kupu di tengkukmu, perlahan-lahan akan kususuri dengan ujung jariku, sekaligus ujung pisauku, lekukan di tengah punggungmu yang melandai dan bera­khir di lembah di antara tonjolan bokongmu yang membukit.
Lukisan Rembrant atau Monet, repertoar Beethoven atau Mozart, puisi Keats atau apalagi sekadar Goenawan, hanyalah ujung kuku dibanding keindahanmu.
Dan aku ingin menikmati sendiri.
“Aku ingin memilikimu selama hidupku. Dengan cinta.” Begitulah aku akan berbisik, sebelum kau meregang nyawa di puncak cinta. Mungkin kau akan tertawa, disertai air mata.

V
HEI, lelaki, apa artinya cinta?

VI
Ha-ha-ha!

Sunday, February 17, 2008

Republik Bodor

(Carpon ini dimuat di majalah Mangle No 2156, 12-20 Pebruari 2008)


IEU téh carita ngeunaan hiji nagara. Lain nagara urang tangtuna gé. Ngaranna téh nagara Aratnasun. Aya ogé nu pada nyebut Aisénodni. Tapi kulantaran pangeusi nagara téh bodor wungkul, éta nagara leuwih sohor ku ngaran nagri bodor.
Ngaranna gé nagri bodor, atuh présidénna, para menteri, anggota déwan, gupernur, bupati, walikota, camat, tepi ka para kapala désa, kabéh gé bodor wungkul. Kitu deui para bos pausahaan, para artis sinétron tur panyanyina. Para guru, murid, mahasiswa, wartawan, tukang baso, jeung nu séjénna, sarua kabéh gé bodor kénéh. Cindekna mah, sakabéh rahayat éta nagara téh bodor wungkul.
Kulantaran bodor téa, pagawéan maranéhanana téh sapopoéna nya ngabalodor. Paripolahna paripolah bodor. Beuteung burayut jiga balon, beungeut bodas kawas kapas, irung buleud beureum jiga kueh apem. Dibaju polkadot rupa-rupa warnana, atawa kumaha waé rupana, maranéhanana ting réngkénék di mana jeung iraha baé. Maranéhanana ngabodor ti saprak hudang isuk-isuk tepi ka reup saré peuting-peuting, di imah, di pasar, di mal, di kampus, di kantor-kantor, pokona mah di mana baé.
Da puguh bodor, atuh sistim politik éta nagara téh sakadaék wé, kumaha anu jadi pamingpin harita. Aya éta gé nu pada nyarebut ku maranéhna undang-undang dasar nagri bodor, tur tétéla pisan disebutkeun di dinya yen bentuk nagarana téh républik. Tapi da kanyataanana mah présidén bodor bet boga kalakuan sakumaha umumna para raja, malah osok leuwih ti éta: maharaja, najan tangtu wé maharaja bodor. Kitu deui para menterina, teu béda jeung para hulubalang raja. Ku sabab sistimnya teu puguh téa, présidén bodor bisa wé asalna ti partéy mana waé, kaasup partéy nu aya ngaranna wungkul.
Baheula, basa présiden bodor nu ti heula lungsur ku para mahasiswa nu geus bosen jaradi bodor, timbul harepan bakal aya perobahan. Harita teuing ti mana jolna, loba jelema anu ngusulkeun sangkan aya réformasi dina sagala widang.
Ngan hanjakal, para bodor jumlahna leuwih loba batan jelema. Kitu deui kakawasaanana leuwih kuat. Ku kituna, sora-sora anu ngusulkeun perobahan téh beuki lila beuki pareum. Antukna, nu kadenge mah angger wé sora ting cikikik jeung kecap-kecap anu teu puguh hartina. Sawaréh, loba jelema anu ahirna ngagabung jeung para bodor, ngajadi bodor. Sawaréh deui mah teuing ka marana lesna.
Ti saprak harita loba bodor anu dibaju sakumaha umumna jelema: maké jas seungit, pantalon rapih, dasi warna-warni, sapatu hérang ngagenclang, tur buuk diminyak fresh look téa. Ngan hanjakal, haténa jeung kalakuanana mah angger wé bodor.
Matak teu héran, basa maranéhanana ngarasa geus ngalakukeun réformasi, sihoréng ngan ukur api-api réformasi, nya réformasi bodor téa. Kitu deui, maranéhanana ngarasa geus milih jelema sina dilungguhkeun jadi présidén, tapi sihoréng nyalahan. Sabab, anu dipilih jadi présidén téh bodor pituin najan dibaju jiga jelema gé. Para menterina sarua kénéh, paripolahna angger bodor najan beungeut jeung pakéanana kawas jelema.
Bari seuri ting cikikik, para pajabat nagri bodor ngahakanan naon waé nu bisa dihakan, ngalegut naon waé nu bisa diinum, tur nyokotan naon waé nu kahontal, teu paduli éta téh lain anu maranéhanana. Di nagri manusa mah éta téh kasebutna korupsi. Tapi di nagri bodor mah lain. Teuing naon ngaranna. Nu puguh mah lain korupsi. Sabab, tacan kacaritakeun aya pajabat nagri bodor anu enya-enya dihukum kulantaran maokan duit nagara. Enya gé maranéhanana pada nyarebut koruptor, maranéhanana bet kalahka malik bungah. Teuing ku naon. Meureun pédah kabéh koruptor geuningan bisa kénéh jadi pajabat.
Malah mah para bos bodor anu nelegan duit nepi ka triliunan gé masih bisa kénéh bébas ka mana-mendi, bari euweuh tanda-tanda maranéhanana bakal dibui. Rék dibui kumaha, sagala bukti nu aya bisa laleungitan teuing ka mana.
“Abdi mah teu gaduh artos sapérak-pérak acan,” cenah ceuk salah sahiji pajabat bodor manten. Kituna téh bari imut, bangun anu teu boga dosa nanaon.
Heuheuy.
Ngan anéhna, sanajan dipaokan ku lobaan, sumber duit nagri bodor mah weléh ngocor waé. Mun diibaratkeun tangkal mah, subur pisan. Tangkal para pajabat bodor, tangtuna gé. Da ari tangkal rahayat bodor mah beuki lila beuki garing, euweuh daunan.
Nu ramé deui mah mun geus tepi kana waktuna lima taun sakali, nyaéta anu pada nyarebut pésta démokrasi téa. Pésta démokrasi rahayat bodor.
Leuh, saméméh pésta téa, hiji-hiji para inohong bodor naék kana panggung, ngabalodor pikeun narik haté rahayat bodor. Maranéhanana teu kudu éra ngawadul lantaran mun teu kitu mah cenah moal matak narik. Para koruptor ngawadul sual kumaha carana ngabasmi korupsi. Para pajabat bodor anu biasa ngaheureuykeun hukum pagedé-gedé wadul pikeun nanjeurkeun hukum. Para tukang ngawadul patarik-tarik sora ngeunaan cara pikeun nanjeurkeun kajujuran.
Ari pésta geus lekasan mah, naha éta para pajabat bodor inget kénéh atawa henteu kana sagala jangji maranéhanana, teu penting. Ngaranna gé bodor, maranéhanana ngarasa teu boga kawajiban pikeun ngalaksanakeunana.
Para pajabat bodor téh euweuh kaéra kitu? (Naon? Éra?)
Enya, é-r-a, atawa i-s-i-n. Di nagri bodor mah jigana geus lila pisan éta kekecapan téh ngaleungit, teuing ka mana.
Tingali wé geura barudak sakolana. Maranéhanana ukur sura-seuri lamun guru-guruna keur ambek ku lantaran teu maliré kana aturan sakola. Di imah nya kitu deui, barudak téh ukur ting séréngéh lamun kolotna ambek ku lantaran kanyahoan ngalakukeun kasalahan.
Tapi da uyah mah tara téés ka luhur. Barudak bodor mah boga kalakuan kitu gé tangtuna ngala ka indung-bapa jeung guru-guru bodor.
Sok wé tingali deui dina acara telepisi, loba pisan kajadian jelema teu uyahan nu umurna geus meh tunggang gunung ngagadabah barudak leutik bari jeung bangun anu teu ngarasa salah.
Tingali geura, dina acara-acara nu biasana disiarkeun tengah peuting, éta pangalaman nu kuduna disumput-sumput téh dibolékér-bolékérkeun sajalantrahna. Kahirupan marenahna mun keur dugem. Bobogohan kawas sato, teu boga ka éra. Ngahaja patukeur-tukeur pamajikan. Jeung réa-réa deui.
Tuh geura, para pajabat bodor anu ku saréréa pada nyaho ngalakukeun korupsi milyaran gé bet kalah ka ngahaja harayang diékspos dina surat kabar jeung telepisi, bari dibarung ku imut mun dipotrét atawa dirékam kaméra téh. Ceuk maranéhna mah, kalakuan maranéhna téh lain kalicikan, da teu ngarempak kana aturan tinulis atawa undang-undang.
Enya gé aya sababaraha kali pajabat bodor anu dibui alatan korupsi, lain hartina maranéhanana asup bui cara para maling kelas kambing. Maranéhanana mah di jero bui gé lir ibarat mondok di kamar suite hotél bintang genep, tur dilayanan jiga para putra raja. Maranéhanana bisa kénéh boga kabébasan ngalakukeun naon baé cara keur bébas kénéh. Para narapidana bodor téh masih bisa kénéh ngatur kabéh pausahaan maranéhanana, ngarasakeun kahirupan biasa, malah mah bisa kénéh jadi pamingpin organisasi maén bal nagara bodor. Sanajan préstasi maén bal éta nagri téh angger tikusruk, tur loba pihak anu ngusulkeun ngarah éta pamingpin téh lungsur tina korsi katua, éh, da keukeuh wé. Tuda éta, anak buahna siap ngabéla tohpati jiwaraga.
Geus kitu, para anggota déwan perwakilan rakyat bodor mah nurus tunjung teu katulungan. Maranéhanana unggal bulan tutuluyan ménta naék gajih jeung tunjangan hirup. Mun teu kitu, aya waé istilahna téh. Umpamana baé ménta sangkan tunjangan komunikasi téh ditaékkeun. Naon nu disebut tunjangan komunikasi, rahayat bodor mah teu nyarahoeun.
Para anggota déwan perwakilan rakyat bodor tuluy ngayakeun sidang istiméwa, paripurna, kabéh anggota haladir, da anu dibahasna gé pasualan anu pohara pentingna. Penting pikeun para anggota déwan bodor téa, nyaéta maranéhna merelukeun laptop. Alesanana kieu cenah: ayeuna téh apan jaman supra-modéren tur laptop téh geus jadi kabutuhan penting pisan ibarat pakéan. Ceuk maranéhanana téh, mun teu boga laptop, maranéhanana teu bisa ngalaksanakeun tugas ngabéla kapentingan rahayat sakumaha kuduna. Rék katepi ku akal atawa henteu, teu jadi sual, da bodor mah tara mikir. Ku kituna, ayana laptop geus jadi kawajiban. Laptopna gé lain laptop sambarangan, tapi produk pang anyarna kalawan spésifikasina gé pang canggihna. Hargana mahal saeutik mah teu nanaon. Kumaha mun aya rahayat bodor nu protés? Bejakeun wé yen éta téh pikeun karaharjaan rahayat. Naha enya para anggota déwan bodor téh bisa maké laptop, teu kudu ditanyakeun. Apan Tukul Arwanabodor gé bisa mamawa laptop bari sanajan teu bisa makéna. Heuheuy!
Tah, éta téh kabéh gé ngagambarkeun yén saenyana mah ti baheula gé para anggota déwan bodor mah teu kungsi ngalaksanakeun tugasna pikeun ngawakilan rahayat bodor. Kuduna mah apan ngadedengékeun naon saenyana aspirasi rahayat téh. Éta mah bet kalahka mikiran diri sorangan, paduli teuing nasib rahayat mah. Kuduna mah apan maranéhanana téh ngawaskeun para pajabat éksekutif. Éta mah bet kalahka ngadukung naon baé kaputusan pajabat éksekutif, da geus puguh beubeunanganana: Volvo, Mercy, atawa Toyota Auris.
Kadieunakeun nagri bodor téh katalangsara ku alatan bencana alam di mana-mana. Mun keur usum halodo, panas éréng-éréngan lir ibarat sagara keusik pabeubeurang. Walungan jeung talaga sararaat, leuweung kahuruan. Sabalikna, lamun keur usum hujan, walungan ngagalura di mana-mana, ngeueum ti désa nepi ka kota-kota. Pasir arurug. Bumi eundeur ku lini, gunung-gunung olab ngutahkeun lahar jeung lava. Lautan ngagolak nelegan mangratus rébu jelema.
Salian ti bencana alam, beuki loba waé kacilakaan téh. Kapal udara ragrag, kapal laut kalebuh, karéta api tisolédat tina rélna, beus tabrakan jeung treuk, jeung réa-réa deui. Korban mah geus teu kaitung deui jumlahna.
Ngan anéhna, para pajabat bodor mah angger pating barakatak bari ngabaheuhay. Ceuk pikiran maranéhanana, nu penting mah sagala mamala téh euweuh pakaitna jeung diri sorangan. Kari ngodok pésak wé, beulikeun kana indomi saratus dus, bikeun ka para korban, bari diliput ku média massa. Bérés.
***
HIJI poé, aya sababaraha urang rahayat bodor nu beuki teu sugema ningali kaayaan kawas kitu. Maranéhanana tuluy ka ditu ka dieu néangan manusa. Manusa enyaan, nu teuing di mana ayana. Maranéhanana neangan jelema anu pada nyarebut satria piningit téa, nu dipiharep pisan bisa ngaropéa kaayaan.
Ngan hanjakal néangan manusa modél kitu téh lir ibarat néangan jarum di jero walungan. Sababaraha kali maranéhanana yakin geus manggihan satria piningit. Tapi teu lila maranéhanana sadar yén nu kapanggih téh sihoréng… satria piningit bodor.
“Geus atuh lah. Nagri bodor mah da kuduna gé diparéntah ku bodor. Mun ku jelema, meureun nagri urang moal lucu deui,” kitu cenah ceuk salah sahiji pajabat bodor. Éta pamadegan téh pada satuju ku sakabéh pajabat bodor séjénna.
Right or wrong is my clown country, ceuk maranéhanana bari ngabarakatak. Dasar bodor.
Heuheuy deudeuh.
***

Monday, February 11, 2008

Bewara Kupas Tuntas

Bewara ini kudapatkan justru dari milis kisunda:

DI ATAS LAPANGAN BUBAT, TERBURAI LUKA DUA PERADABAN.
ANTARA KEJAYAAN MAJAPAHIT DAN KEHORMATAN SUNDA GALUH.
DEMARKASI BUDAYA MEMBUNCAHKAN PRASANGKA JAWA-SUNDA.
BAGAIMANA KINI SUNDA DAN JAWA MELIHAT TRAGEDI BUBAT?
BAGAIMANA PANDANGAN LANGIT KRESNA HARIADI (PENGARANG NOVEL"PERANG BUBAT") DAN HERMAWAN AKSAN (PENGARANG NOVEL "DYAHPITALOKA") MENGENAI PERISTIWA TERSEBUT?
SAKSIKAN EPISODE "SANDYAKALANING LANGIT BUBAT"

K U P A S T U N T A S
SELASA, 12 FEBRUARI
2008 PUKUL 23.30 WIB
HANYA DI TRANS7

Thursday, February 7, 2008

Ucapan Terima Kasih untuk Editor

SAHABAT saya, Endah Sulwesi (seorang penulis ulasan buku di sebuah blog internet, dan belakangan di media cetak juga), beberapa waktu lalu dengan nada penuh rasa kasihan bercerita tentang peluncuran sebuah buku: “Her, nama kamu sama sekali tidak disebut-sebut oleh penulisnya. Jangankan berterima kasih, menyebut sekali pun tidak.”
Buku itu adalah sebuah memoar dan saya merasa mendapat kehormatan menjadi penyunting naskahnya sebelum diterbitkan. Meski masih muda, penulisnya memang sudah dikenal banyak orang. Peluncuran itu pun berlangsung secara mewah di sebuah hotel megah, dihadiri banyak tokoh penting, mulai dari selebritas, wartawan senior, dan tokoh pendidikan, serta diliput pers secara cukup luas.
Sehari sebelumnya, Endah sempat bertanya: “Kamu dapat undangan peluncuran buku itu?” Saya menjawab tidak. “Memangnya kapan diluncurkan?” tanya saya. “Besok,” jawab Endah.
“Bahkan dalam bukunya, di antara deretan orang yang diberi ucapan terima kasih, namamu tidak disebut-sebut,” kata Endah. Waktu itu saya memang belum melihat bukunya. Dan tulisan pengantar dari sejumlah orang serta beberapa lampiran memang di luar tugas penyuntingan saya.
“Tapi namaku sebagai penyunting tercantum, kan?” seloroh saya.
“Ya, tentu saja itu sih ada.”
Saya kurang yakin waktu itu, apakah saya merasa sedih, kecewa, atau biasa-biasa saja ketika saya berkomentar: “Ya, sudah, enggak apa-apa. Aku cuma editor, editor lepas pula, dan seorang editor biasanya memang tidak pernah banyak disebut-sebut. Editor adalah orang yang katakanlah cukup berada di belakang layar. Editor mungkin bagian penting dari sebuah proses penerbitan, tapi tak perlu berharap banyak untuk bisa dianggap sebagai berperan penting kalau dibandingkan dengan misalnya pemberi kata pengantar, apalagi penulisnya.”
Belakangan saya sempat berpikir, seberapa penting sebenarnya peran editor sehingga layak, atau tidak layak, mendapat ucapan terima kasih dari penulis buku? Tak ada pihak lain yang bisa mengukur seberapa penting peran sang editor. Apakah setelah mendapat sentuhan editor sebuah naskah akan menjadi lebih baik, sama saja, atau lebih buruk, hanya si penulis dan Tuhan saja yang tahu.
Editor, atau redaktur di sebuah media massa, berhak memoles tulisan seseorang yang hendak dimuat. Pembaca nyaris tak pernah tahu apakah tulisan yang kemudian dimuat itu lebih baik, atau lebih buruk, daripada tulisan aslinya. Pembaca hanya tahu tulisan itu karya si penulis dan hampir pasti tidak berpikir sejauh mana peran si redaktur. Redaktur, sekali lagi, hanyalah orang yang ada di belakang layar. Sebagai tambahan, kalau tulisan itu menjadi lebih baik, belum tentu si penulis mengucapkan terima kasih. Sebaliknya, kalau tulisan itu menjadi lebih buruk (setidaknya menurut sudut pandang si penulis), si penulis pasti marah-marah, setidaknya bersungut-sungut. Jangan lupa, banyak penulis kita yang enggan tulisannya diedit meskipun sekadar titik atau koma.
Pada proses penerbitan buku pun, editor harus berperan untuk memoles sebuah naskah menjadi buku yang baik. Baik di sini, tentu saja, bukan hanya persoalan titik dan koma, tapi juga—diharapkan—sukses di pasaran. Bersama penulis, layouter, dan marketer, editor tergabung dalam sebuah tim yang menentukan sukses sebuah buku. Karena itu, editor harus memiliki kemampuan tidak hanya pada titik-koma atau pengetahuan kata baku dan tidak baku. Menurut Bambang Trimansyah, seorang praktisi perbukuan, editor semestinya profesi yang serba bisa, yaitu punya kemampuan sebagai problem solver, decision maker, public speaker, serta effective people.
Sayangnya, memang, belum banyak editor penerbitan di Indonesia yang memiliki kemampuan serba bisa seperti itu. Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa editing merupakan salah satu kelemahan terbesar penerbit di Indonesia. “Tidak pernah ada editing yang sungguh‑sungguh. Saya sering bilang, editor itu seharusnya lebih pintar dari pengarangnya karena ia harus mengolah kembali naskah dari si pengarang itu. Misalnya kita diminta menerjemahkan, karena diminta, kita mengerjakannya cepat sekali. Nah, tugas editorlah yang kemudian menjadikannya sebagai karya yang benar‑benar bagus untuk diterbitkan,” kata sang penyair.
Tentang kerja editor ini, Sapardi punya pengalaman yang cukup baik dengan editor penerbit Obor yang menerbitkan terjemahannya, Amarah karya John Steinbeck. “Kalau ada hal‑hal yang mengganggu dalam terjemahan saya itu, si editor menghubungi saya. Kadang menanyakan soal konsistensi penulisan. Saya senang dengan proses seperti itu. Soalnya, hasil terjemahan itu kan tidak untuk saya. Saya menerjemahkan untuk orang lain, pembaca, karena itu orang lain harus bisa baca,” kata Sapardi.
Menurut saya, editor memang perlu terus-menerus berkomunikasi dengan penulis. Penulis pastilah bukan nabi, yang nyaris tak melakukan kesalahan. Dan tugas editorlah untuk menemukan kesalahan, kemudian memperbaikinya, tentu atas perkenan sang penulis.
Ketika menyunting sebuah naskah novel, editor mestinya tak segan-segan memberikan usulan perbaikan kalau sekiranya menemukan kesalahan atau kekurangan, lebih-lebih jika berkaitan dengan logika. Banyak novel Indonesia yang ceritanya tidak masuk akal. Dan, menurut saya, editor turut menyumbang terhadap terbitnya karya yang ceritanya tak masuk akal itu.
***
NAH, nyaris secara iseng saya membuka-buka sejumlah buku. Yang pertama adalah salah satu best seller yang tentu tak asing lagi bagi para penggemar buku, yakni Da Vinci Code karya Dan Brown. Beginilah Brown menulis pada bagian awal buku itu: “Pertama-tama dan yang utama, bagi sahabat dan editorku, Jason Kaufman, karena bekerja amat berat untuk proyek ini, dan terima kasihku untuk pemahaman yang sungguh-sungguh pada makna dari buku ini.” Setelah itu, barulah Brown menghaturkan ucapan terima kasih untuk agennya, tim risetnya, dan seterusnya.
Kemudian saya membuka buku Memoirs of a Geisha. Di bagian akhir bukunya ini, Arthur Golden pertama-tama memberikan ucapan terima kasih kepada Mineko Iwasaki, seorang geisha top Gion tahun 1960 dan 1970-an. Kemudian kepada istrinya, Trudy. Lalu, “Robin Desser dari Knopf adalah jenis editor yang diimpikan setiap pengarang: penuh gairah, berwawasan luas, bertanggung jawab, selalu siap membantu—dan lagi pula sangat menyenangkan.” Baru kemudian ia berterima kasih kepada agen, sahabat, dan seterusnya.
Dalam Spring Moon, Bette Bao Lord mengucapkan terima kasih “Untuk Orang tua Cina dan Amerika-ku, suamiku, Winston Lord, dan editorku, Corona Machemer. Untuk segala kebaikan yang takkan terbalaskan.”
Sonia Nazario, pemenang Pulitzer 2003 melalui buku Enrique’s Journey, mengakui dalam bukunya itu bahwa ia tak akan mampu mengerjakan buku ini tanpa dukungan para editor Los Angeles Times, surat kabar yang pertama kali memuat tulisan bersambung Enrique’s Journey, yang menjadi dasar buku ini. Ia mengungkapkan terima kasihnya yang pertama untuk Rick Meyer dan John Carroll, dua editor LA Times. Kemudian, di penerbit Random House, “saya ingin berterima kasih kepada editor saya, Dan Menaker, yang masukan dan kegairahannya untuk buku ini membuat setiap bagian dari cerita ini lebih baik, dan editor Stephanie Higgs serta editor produksi Evan Camfield atas kehati-hatian yang mereka tunjukkan dalam bekerja untuk membuat yang terbaik dari masing-masing bagian buku.”
Banyak buku lain, terutama buku terjemahan, memuat ucapan terima kasih yang sama. Buku-buku karya penulis Indonesia, di pihak lain, tak banyak yang memuat ucapan serupa. Yang menarik, beberapa di antara buku penulis kita memuat kata pengantar dari orang-orang penting, termasuk pejabat. Tapi ini soal lain. Di antara sedikit penulis yang mengucapkan terima kasih buat editor bukunya adalah Dewi Lestari (Dee). Dalam Supernova, Akar, Dee berterima kasih kepada sederet banyak orang, kemudian kepada “Erwinthon Napitupulu, editor saya yang teliti dan membangun.” Setelah itu kepada sahabat dan teman kerja.Mengucapkan terima kasih, tentu saja, bukanlah sebuah keharusan, melainkan sekadar menunjukkan apakah seseorang bisa bersikap rendah hati atau tidak, mengakui atau tidak bahwa ia memiliki sejumlah keterbatasan.

Wednesday, February 6, 2008

Cerpen Nirwan Dikritik Habis

Tampaknya banyak yang tidak menyukai "kubu" Teater Utan Kayu (TUK), termasuk di dalamnya Nirwan Dewanto, yang dinilai memosisikan diri sebagai pembawa bendera sastra paling berkualitas di negeri ini.
Aku ingat dalam sebuah diskusi di CCF, mungkin setahun lalu, Nirwan bilang begini: tak ada puisi bagus di Indonesia. Duh, sombongnya orang ini, pikirku waktu itu. Kata-kata Nirwan menyulut "kemarahan", antara lain, Soni Farid Maulana.
Berikut ini sebuah postingan di sebuah blog tentang kritik terhadap Nirwan.

Saut vs TUK

Aku "menemukan" sebuah tulisan hasil wawancara dengan Saut Situmorang, yang dengan boemipoetra-nya bertekad menghancurkan Teater Utan Kayu (TUK). Bacalah di sini.

Tuesday, February 5, 2008

Kisah Aluminium Foil Seribu Rupiah

Selasa, 5 Februari, aku naik buskota AC dari terminal Leuwipanjang, pada siang yang cukup membakar aspal. Bus masih berhenti menunggu penumpang, dan aku naik dari pintu depan. Aku duduk di kursi deretan ketiga atau keempat dari depan. Aku baru duduk beberapa detik saja, seorang pengasong membagi-bagikan sesuatu, yang ternyata berupa aluminium foil dalam bungkus plastik, seukuran kira-kira 5x20 cm persegi.
Namun kursi yang kududuki terasa terlalu dekat dengan kursi di depannya sehingga kakiku tersiksa. Lutut harus beradu dengan kerasnya kursi depan. Maka aku memutuskan pindah ke kursi di deretan agak belakang. Aku tidak menyadari bahwa ketika aku pindah, si pengasong yang berjualan aluminium foil itu sedang mengambili dagangannya. Yang berniat membeli ya langsung bayar, yang tidak ya mengembalikan.
Ketika aku sudah menemukan tempat duduk yang lebih nyaman, si tukang asong itu sudah turun dari bus. Dari jendela kaca, aku celingukan mencari-cari, tapi ternyata tak kelihatan. Ah, betapa kejamnya aku, kenapa tidak turun dan mencarinya di bawah?
Di balik lembaran aluminium itu terbaca harganya: Rp 1000. Juga manfaat dan cara memakainya: aluminium ini bermanfaat untuk menambal barang yang bocor, semisal panci, talang, wajahn, dan sebangsanya. Cara memakainya sangat mudah: bersihkan dulu barang yang akan ditambal, lepaskan lapisan belakang aluminium, lalu tempelkan bagian yang ada perekatnya ke permukaan barang.
Sempat bingung juga aku. Apa nanti kutinggalkan saja di kursi bus? Kalau demikian, ada kemungkinan barang ini diambil orang lain entah siapa, dan kemungkinan besar tak akan pernah kembali ke si pengasong. Atau kubawa saja ke rumah? Toh harganya cuma seribu. Mungkin aku bisa memanfaatkannya untuk apa saja. Mungkin juga untuk semacam koleksi atau apa lah namanya.
Namun dua kemungkinan ini terasa membentur sesuatu dalam hati. Aku bukanlah orang yang terlalu peduli pada orang lain. Tapi kali itu aku sempat membayangkan: si pengasong itu mungkin membawa 20 atau 30 lembar dagangannya. Katakanlah dari satu lembarnya ia mendapat keuntungan 500 rupiah, maka kalau semua jualannya laku, ia memperoleh keuntungan 10-15 ribu rupiah. Dengan hilangnya salah satu dagangannya, ia sudah jelas rugi seribu rupiah. Aku yakin, nilai seribu ini sangat berarti baginya.
Ketika bus sudah berjalan dan kondektur mulai menariki uang dari penumpang, tiba-tiba aku punya gagasan. Saat si kondektur sampai di tempatku, dengan cepat kusodorkan aluminium foil itu.
"Kang, tolong saya titip ini buat dikembalikan lagi ke si pengasong. Tidak sempat terambil sama dia," kataku.
Kondektur itu tersenyum ramah. "Oh, iya," katanya seraya menerima barang itu dan menyimpannya di saku bajunya.
Setelah itu, dadaku benar-benar lega. Aku berdoa semoga aluminium foil itu kembali ke tangan yang berhak.

Monday, February 4, 2008

Tampil di Majalah Gatra


Kali ini aku tampil di majalah Gatra, edisi 31 Januari-6 Februari 2008, pada rubrik Buku halaman 84, dalam tulisan berjudul Obat Dahaga Rumah Ketidakpastian, hasil wawancara beberapa waktu lalu, dan tentu saja digabung dengan narasumber lain, yakni Langit Kresna Hariadi, E.S. Ito, Asvi Warman Adam, dan lain-lain. Fotoku juga nampang di sana, hasil pemotretan di Taman Ganesha, ITB.
Demikianlah kutipan dari tulisan yang disusun Rita Triana Budiarti itu (tentu saja yang menyangkut diriku, hehehe!):

... "Perang Bubat itu kan terjadi karena kesalahpahaman, multitafsir atas peristiwa sebenarnya," tutur Hermawan, yang wartawan surat kabar Tribun Jabar.
Dalam novelnya, Hermawan menampilkan Dyah Pitaloka, putri Raja Linggabuana dari Kerajaan Sunda Galuh (Pajajaran), sebagai sosok feminis pada masanya. Ia tak hanya rupawan, melainkan juga cendekia yang pandai berdebat.
... Dalam versi Hermawan, Linggabuana ingin Hayam Wuruk menjemput calon istrinya. "Sudah merendahkan diri, masak nggak dijemput?" kata lelaki asal Brebes, Jawa Tengah, itu.
Tapi Hermawan tidak menempatkan Hayam Wuruk sebagai tokoh yang layak divonis bersalah. Biang keladinya justru ambisi Gajah Mada.
... "Hayam Wuruk tidak berani menolak Gajah Mada," Hermawan menambahkan.

Tentu saja itu sekelumit. Tulisan keseluruhan, plus beberapa foto, memakan empat halaman. Pokoknya, tulisan Rita keren deh.

Teganya Menipu Teman


Pameran buku kali ini kurang membuatku antusias. Sabtu lalu aku ke sana, dan hanya membeli satu buku, Pasar Jawa, Abad VIII-XI, diskon 50 persen menjadi Rp 12.500, dari stan Penerbit Kiblat Buku Utama.
Ketemu Yus R. Ismail, temanku sesama penulis. Ia cerita tentang betapa beratnya membangun penerbit buku. Masalah paling berat adalah penipuan yang dilakukan para agen. Salah satu nama yang disebutnya adalah Doddy Achmad Fauzi, salah satu penulis asal Bandung yang pernah menjadi wartawan Media Indonesia. Nilainya puluhan juta rupiah. Doddy kini tak bisa dihubungi lagi. Aku geleng-geleng kepala. Kok tega-teganya menipu teman sendiri.
Yus kini lebih banyak menerbitkan buku yang sudah pasti dibeli. Misalnya buku karya Usman Supendi, teman kami yang juga dosen di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung. Buku ini pasti dibeli, setidaknya 300-an eksemplar, sesuai dengan jumlah mahasiswanya, yang pasti menurut kalau diwajibkan membeli.
Aku juga ketemu Erwan Juhara dan temannya (aku lupa namanya). Si teman ini menanyakan apakah aku punya naskah Sunda. Aku segera membatin: wah, ini pasti ada hubungannya dengan proyek Bapusda, hehehe.
Pada hari terakhir, Senin, 4 Februari, aku ke Landmark lagi, juga dengan niat tak akan beli (banyak) buku. Eh, begitu lewat stan Pustaka Hidayah, ternyata banyak buku bagus dan murah. Maka aku melupakan niatku, dan meraup enam buku, seharga Rp 99.000, ditambah bonus 1 buku. Buku novel The March karya E.L. Doctorow harganya 15 ribu saja, dari aslinya 49.900. Novel Praha karya Arthur Phillips pun hanya 16.000, dari semula 54.900. Gimana tidak menggiurkan?
Sayang uang di dompet hanya segitu. Aku sudah meniatkan diri kembali ke sana setelah menerima honor juri di kantor. Malang tak dapat ditolak, honor diberikan besok, kata Peppy. Alamak...

Friday, February 1, 2008

Pwahaci Rababu

Cerpen ini dimuat di harian Pikiran Rakyat hari ini, Sabtu, 2 Februari 2008. Cerpen ini kumaksudkan merupakan petikan dari sebuah cerita panjang. Novel lah. Versi yang dimuat bisa disimak di http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=10383



GALUH, tahun 582 Saka.
Jalantara melangkah pelan seperti kucing, menyelinap waspada di antara bayangan gelap tiang-tiang ruang tengah. Langkah kakinya seringan kupu-kupu dan telapak kakinya sehalus kapas menapaki lantai kayu.
Yang membuat langkahnya terhambat bukanlah rasa takutnya akan menimbulkan bunyi sepelan apa pun di tengah kesunyian malam yang tengah mencapai puncaknya. Sebagai lelaki yang kemampuannya sudah hampir mencapai sempurna, ia bisa membuat kesunyian tetaplah kesunyian. Yang membuatnya harus berkali-kali menahan langkah adalah bunyi debar di dadanya.
Usianya sudah lewat dari pertengahan tiga puluhan. Namun selalu saja ia tak mampu meredam gejolak di dadanya setiap mengenang wajah Nay Pwahaci Rababu. Sudah belasa tahun. Semenjak ia dengan dada yang membara menatap sang dewi bersanding di pelaminan dengan kakaknya sendiri.
Di pelaminan itu, ia ingat, Pwahaci Rababu tampak bersinar dalam kemudaan dan kecantikannya. Bersinar seperti purnama. Karena itu Jalantara lebih suka menyebut namanya Wulansari. Jalantara membayangkan seperti itulah wajah Sinta. Di sebelahnya, duduk kaku kakaknya sendiri, Sang Jatmika, dengan wajah yang entah kenapa tampak begitu suram dan tua. Jalantara tak tega membayangkan kakaknya sebagai, misalnya, Dasamuka. Namun tentu saja terlampau mengada-ada kalau ia membandingkannya dengan Rama. Bibirnya selalu mengerut seperti lelaki renta. Kakaknya memang sudah kehilangan banyak giginya sehingga nyaris semuanya tanggal. Dan ayah mereka sendirilah yang memanggil kakak sulungnya dengan nama Sempakwaja.
Ah, mengapa bukan dia yang bersanding dengan Pwahaci Rababu? Ia pernah bertanya kepada sekian orang di istana. Jawabannya selalu sama: anak ketiga tak mungkin bersanding lebih dulu.
Mengapa harus dengan Rababu? Apakah ada kesepakatan di antara Sang Rajaresi Wretikandayun dengan Resi Kendan, ayah Rababu? Atau sekadar kecurangan Sempakwaja yang telah menculik sang putri?
Ia tak hendak memuji diri sendiri bahwa dialah yang sesungguhnya pantas dianggap sebagai Ramawijaya, satu-satunya lelaki yang berhak beristrikan Sinta. Jalantara lelaki yang tampan. Orang-orang berkata demikian. Mereka bahkan menyebut bahwa kulitnya bercahaya. Seperti kulit yang diselaputi minyak. Karena itu ia mendapat nama lain Mandiminyak.
Meski hanya sekilas, Jalantara ingat, tatkala duduk di pelaminan, Pwahaci Rababu sempat menatapnya dan ia menatap balik perempuan itu. Mereka bersitatap dan dada Jalantara diselimuti gelenyar yang sangat membahagiakan. Jagat seperti memusat pada diri mereka berdua. Tak ada orang lain, apalagi sekadar Sang Jatmika, kakaknya.
Berapa usia Pwahaci Rababu sekarang? Paling tinggi barulah tiga puluh. Namun, jarak waktu belasan tahun, dan dua anak lelaki yang beranjak remaja, tidak membuat Pwahaci Rababu kehilangan cahayanya.
Di tengah pesta perjamuan utsawakrama tadi, Pwahaci Rababu masih tetap menjadi pusat cahaya yang memancar gemilang ke seluruh ruang. Usia seperti tak pernah beranjak dari belasan tahun yang lalu. Tubuhnya tampak tetap semampai meski dibalut busana yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, hanya menyisakan dua bentuk tangan yang langsat dan sejenjang leher yang mengilat, serta rambut separuh mengurai karena hanya sebagian yang diikat dengan pita ungu dan berselip seuntai melati putih.
Pwahaci Rababu seakan memiliki kecantikan abadi. Seperti Dayang Sumbi. Seperti para dewi di langit tinggi.
Duduk berseberangan dalam perjamuan, mata Jalantara tak juga lepas dari wajah Pwahaci Rababu. Berkali-kali pula mata sang Pwahaci menatapnya. Keduanya saling tatap seperti belasan tahun yang lalu. Seperti dulu, dada Jalantara berdebar kencang. Dan seperti dulu, jagat terpusat pada diri mereka.
Bertahun-tahun ia memimpikan perempuan itu. Tentu saja tak mungkin: dia adalah kakak iparnya sendiri. Bertahun-tahun ia berusaha mencari perempuan yang sebanding dengan Pwahaci Rababu. Bukan hal yang sulit baginya, sebagai seorang putra mahkota, untuk menginginkan siapa pun perempuan di segenap pelosok negeri ini. Namun ia tak pernah menemukannya. Pwahaci Rababu adalah satu-satunya di dunia. Karena itu, bertahun-tahun ia belum juga menemukan perempuan yang bakal menjadi istrinya, mendampinginya dalam suka dan duka hingga nanti menjadi raja tanah Galuh.
Jalantara tak pernah membayangkan bahwa mimpinya akan menjadi nyata dengan cara yang begitu sederhana.
Atas persetujuan sang ayah, Rajaresi Wretikandayun, Jalantara mengadakan pesta perjamuan di istana Galuh. Namun secara resmi, ayahnya sendirilah yang menjadi pengundang. Ia memang menyukai pesta. Setidaknya, ia menyukai kegembiraan dan keramaian. Berbeda dengan dua kakaknya, Sang Jatmika dan Sang Jantaka, yang lebih suka hidup menyepi mendalami sisi kehidupan ruhani. Ia tidak tahu apakah kedua kakaknya benar-benar hidup hanya untuk agama atau karena mereka tak lagi punya hak atas takhta karena keterbatasan jasmani mereka. Jatmika cacat karena tak lagi bergigi, sedangkan Jantaka menderita kemir, sebuah penyakit yang cukup membuat nista sebagai pria. Keduanya pun tak mungkin menjadi yuwaraja (putra mahkota) sebagai calon pengganti Sang Wretikandayun. Sempakwaja kemudian menjadi Resiguru di Galunggung, yang membawahkan sejumlah kerajaan kecil, dan mendapat gelar Batara Danghiyang Guru. Adapun Jantaka menjadi resiguru di Denuh, dekat sebuah telaga di kawasan Galuh Selatan, dan mendapat gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul.
Jalantara sendiri kemudian tidak hanya menjadi yuwaraja yang hanya menunggu saatnya memegang takhta. Ia sudah menjadi wakil raja, menguasai sejumlah menteri dan pejabat istana, dan menjadi pimpinan angkatan bersenjata Galuh.
Perjamuan diadakan bertepatan dengan bulan purnama. Tiap tahun sebenarnya ia selalu merayakan tanggal ini, tanggal kelahirannya. Ia memang lahir di malam purnama, tiga puluh enam tahun yang lalu. Namun kali ini istimewa, karena ia ingin semua pembesar di negeri ini hadir. Semua pembesar dan pemuka Galuh, termasuk para penguasa kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Galuh, hadir dalam perjamuan meriah ini. Semua mendapat undangan resmi, termasuk Sang Sempakwaja. Namun kakaknya itu berhalangan hadir karena sedang sakit. Mengingat undangan itu datang dari ayahnya, Sempakwaja mengutus istrinya untuk mewakili.
Dan Pwahaci Rababu datang sendiri, hanya diiringi beberapa dayang dan pengawal. Dua anaknya, Purbasora dan Demunawan, lebih suka merawat dan menunggui ayahnya yang sakit dibanding datang ke pesta kakek mereka.
Jalantara tak pernah merencanakannya. Barangkali alam semestalah yang telah mengaturnya, pikir Jalantara. Ia tak tahu kakaknya sakit. Ia tak menyangka Pwahaci Rababu akan datang sendiri. Ia juga tidak sengaja menempatkan diri dan semua tamunya sedemikan rupa sehingga ia berhadapan di meja perjamuan dengan Pwahaci Rababu. Dan keduanya berkali-kali bertukar tatap.
Nyaris tak ada kata yang terucap. Mata merekalah yang bercakap-cakap.
Ketika dadanya bergolak oleh sebuah hasrat, Jalantara tak bisa lagi menikmati riuh bunyi gamelan dan lenggok gemulai para penari. Musik dan kecantikan para penari lenyap oleh satu-satunya kecantikan sejati, Pwahaci Rababu.
Jalantara benar-benar terlempar ke masa belasan tahun yang silam. Ia jatuh cinta. Ia tenggelam dalam jalinan asmara. Ia tergila-gila dalam pusaran sebuah smarakarya. Cinta yang tak lagi peduli tatasusila.
Ah.
Istana senyap. Para tamu sudah masuk ke kamar masing-masing. Hanya tinggal beberapa orang yang harus berjaga sembari membereskan bekas-bekas perjamuan.
Di taman yang terbuka, bayangan rumpun cempaka jatuh tegak lurus tertimpa purnama yang bertengger di puncak langit.
Ia sejenak ragu-ragu sebelum mengetuk pintu.
Sangat pelan.
Sekali. Dua kali. Tak ada suara apa pun dari dalam kamar.
Tiga kali.
“Wulan…”
Pintu terbuka perlahan. Mula-mula hanya bidang kecil, makin lama makin lebar, dan seraut wajah memancarkan cahaya dari dalam sana. Wajah yang selama ini diimpikannya.

2

PERJAMUAN itu berlangsung tiga malam, ketika bulan bulat menghias langit. Bukankah pesta tak pernah cukup kalau hanya semalam? Namun Pwahaci Rababu tinggal semalam lebih lama dibanding pestanya.
Mengapa dia tak langsung pulang ketika pesta telah usai? Pwahaci Rababu tak bisa menjawab pertanyaan seperti ini. Atau mungkin dia ingin mengingkarinya. Tak ingin mengakuinya. Dia hanyalah perempuan, dan perempuan tak terbiasa banyak membuat pertimbangan dengan kepalanya.
Apakah hatinya terpikat oleh Sang Mandiminyak? Dia ingin menggeleng untuk membuang perasaan seperti itu. Namun perasaan memang bersumber dari dalam dada, bukan dalam kepala. Belasan tahun lalu, dia sudah terpikat oleh ketampanan dan sorot mata tajam Jalantara. Belasan tahun lalu, ketika dia harus bersanding dengan seorang lelaki asing. Lelaki yang baru saja dikenalnya.
Dia tengah tenggelam hingga separuh dada di telaga bersama kedua teman perempuannya ketika dia baru sadar bahwa pakaiannya sudah tak ada. Apakah kedua temannya itu sedang mempermainkannya?
“Jangan bercanda. Mana bajuku?” tanya Wulansari.
Kedua temannya menggeleng. Wajah mereka tidak menunjukkan bahwa mereka sedang bercanda. Lagi pula, Wulansari pun tahu bahwa sejak semula mereka tak pernah beranjak dari kesejukan air semenjak sama-sama menanggalkan busana dan menyampirkannya di atas gerumbul perdu di pinggir telaga. Hampir satu jam mereka bermain air, menciprat-ciprat, menyelam, saling membandingkan kehalusan kulit mereka, dan menentukan payudara siapa yang paling besar.
Kini busana itu hanya tinggal dua. Tak ada lagi miliknya. Mana mungkin busananya lenyap tanpa sebab? Ketika kedua temannya sudah kembali berbusana, dia masih tenggelam di telaga.
Tiba-tiba dia ingat akan sebuah dongeng yang pernah diceritakan ayahnya, Sang Resi Kendan, tentang si bungsu dari tujuh bidadari yang tertinggal di telaga karena selendangnya dicuri seorang lelaki.
“Tolong carikan, ya,” pintanya memelas. Wajahnya pias.
Kedua temannya hanya bisa berputar-putar di sekitar, tanpa bisa menemukan apa yang mereka cari. Juga ketika mereka mencoba mencarinya lebih jauh dari telaga. Busana itu seperti lenyap di udara. Siapa yang tertarik busana sederhana itu? Bukan selendang warna-warni milik para bidadari. Hanya kain putih tanpa jahitan, yang biasanya pun sekadar dililitkan pada tubuhnya. Sama sekali tak bernilai walaupun sekadar untuk menjadi bahan curian.
Satu jam lebih mereka berputar-putar mencari kain Wulansari.
Gadis itu mengeluh dalam hati. Tentu saja tak mungkin dia pulang tanpa busana. Jarak dari telaga ke rumahnya ada ribuan langkah kaki. Apa nanti kata orang-orang? Dia bukan lagi gadis kecil. Dia sudah merasa dewasa. Payudaranya sedang tumbuh menuju kemekarannya, meskipun bukan yang terbesar di antara ketiga gadis muda itu.
“Duh, Hyang di langit tinggi, tolong hamba ini. Kembalikan kain hamba. Kalau ia perempuan, biarlah ia menjadi saudaraku. Kalau ia laki-laki, aku rela menjadi istrinya,” bisik Wulansari.
Entah dari mana kalimat itu muncul begitu saja di kepalanya. Apakah karena dia terlalu banyak mendengarkan dongeng dari ayah atau ibunya? Dan dia terkejut sekaligus menyesal. Bagaimana kalau yang datang kemudian adalah seekor anjing dengan pakaian di moncongnya? Namun dia tak bisa lagi menarik kata-kata yang sudah terucap.
Wulansari tengah mengusapkan air di wajahnya ketika terdengar sapaan bersuara berat.
“Ternyata tepat dugaanku.”
Wulansari cepat mendongak.
“Cantik sekali.”
Wulansari cepat menutupi kedua dadanya yang terbuka dengan tangannya. Wajahnya memerah, bukan oleh rasa malu, melainkan oleh rasa marah.
“Siapa kamu? Kurang ajar! Kembalikan pakaianku!”
Lelaki itu tertawa dengan suara yang aneh. Di tangannya tergenggam kain putih milik Wulansari.
Wulansari terpana. Mulut lelaki itu sama sekali tak bergigi. Mungkin karena itulah suara tawanya terdengar tak seperti orang-orang lain tertawa.
“Aku akan mengembalikan pakaianmu, dan aku laki-laki.” Lelaki itu tertawa lagi, memperlihatkan gua gelap dalam mulutnya yang mengerikan.
“Lelaki kurang ajar! Aku tadi cuma bercanda.”
“Ha-ha-ha! Bahkan para penghuni langit pun bisa mendengar suaramu. Dan janji seperti itu tak bisa ditarik. Apakah kau ingin menderita seumur hidupmu karena melanggar sumpah terhadap dewata?”
Wulansari mengeluh untuk kedua kalinya. Dia mengakui, manusia memang tak bisa main-main dengan kalimat sumpah.
Kalau saja lelaki itu mirip dengan lelaki dalam dongeng…
“Sudahlah, Nyi. Pakailah kain ini. Aku akan memboyongmu ke tempatku.”
Wulansari sekali lagi menatap wajah lelaki itu dengan sorot penuh penyesalan.
“Tentu saja aku akan lebih dulu melamar pada ayah-ibumu.”
Itu terjadi belasan tahun yang lalu. Ya, kalau saja lelaki yang mengambil kainnya itu adalah Sang Mandiminyak, adik bungsu lelaki yang bersanding dengannya tak lama kemudian…
Tatapan tajam Mandiminyak masih tetap seperti belasan tahun yang lalu, ketika diam-diam dia melirik dari tempat duduk di pelaminan. Dan Wulansari, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Pwahaci Rababu, selalu tak bisa menahan gejolak hatinya. Terasa ada sengat aneh yang selalu membiusnya.
Belasan tahun dia tak bisa melupakan sorot mata tajam itu. Belasan tahun dia menghabiskan malam-malam dengan mata terpejam, membayangkan bahwa lelaki yang selalu berada di pelukannya adalah Jalantara.
Oh, para dewi dan pohaci, ampunilah hamba… Mengapa kalian tumpahkan perasaan indah ini dalam situasi yang rumit?
Ini bukan cinta yang seharusnya dan dia tak hendak menyelam di dalamnya. Namun apa daya? Dia selalu luluh seperti kapas tertiup angin. Terbang menuju sebuah tempat asing yang selalu dia dambakan.
Pwahaci Rababu mencoba mengingat-ingat, barangkali dia pernah mendengar kisah, hikayat, atau dongeng seperti yang dia alami saat ini. Dia menggeleng. Dia akui, pengetahuannya akan dunia pasti terlalu sederhana, tapi dia yakin bahwa di negeri ini belum pernah dia dengar perempuan dengan derita asmara seperti yang melandanya.
Boleh jadi, dialah yang pertama.
Ya, dia menderita, sekaligus bahagia.
“Jadilah permaisuriku. Hanya kau yang layak mendampingiku di istana ini,” bisik Jalantara pada malam keempat dia berada di istana Galuh.
Pwahaci Rababu tersenyum dengan sudut-sudut mata yang basah.
“Senang sekali aku mendengarnya…”
“Apakah itu berarti bersedia?”
“Sayang tidak. Aku punya dunia sendiri, dan kau memiliki dunia yang lebih gemilang. Temukanlah perempuan yang lebih pantas menjadi bunga negeri ini.”
“Kaulah yang paling pantas.”
“Bukalah matamu, edarkan tatapmu, lihatlah luasnya langit. Negeri ini jauh lebih luas daripada sekadar sampai aliran Citanduy atau puncak Galunggung.”
Air mata Pwahaci Rababu membasahi dada telanjang Jalantara. Apakah empat malam di istana Galuh akan menjadi dosa asal bagi keturunannya?
Di luar, bulan yang tak lagi bulat tampak pucat.
***