Saturday, May 31, 2008

Sendratari Dyah Pitaloka

Ketika iseng surfing di gelombang internet, aku menemukan sebuah berita berikut ini (apa adanya, tanpa kuedit):

SENDRATARI "DYAH PITALOKA", PEMAKSAAN POLITIK YANG MENJATUHKAN MARTABAT
Magelang, 25/5 (ANTARA) - Pementasan sendratari bertajuk "Dyah Pitaloka" ingin menggambarkan simbol bahwa pemaksaan kepentingan politik para petinggi akan menjatuhkan martabat bangsa dan berakibat menyengsarakan rakyat.
"Melalui sendratari ini tergambar bahwa sikap politik para elit yang bertendensi untuk memaksakan kehendak akhirnya membuahkan kesengsaraan rakyat dan merendahkan martabat," kata Koreografer Sendratari "Dyah Pitaloka", Dwi Anugrah, usai pementasan itu, di Magelang, Minggu.
Sendratari berdurasi sekitar 40 menit itu dimainkan puluhan pelajar SMA Pangudi Luhur "Van Lith" Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dalam puncak apresiasi seni, memeringati perintis sekolah unggulan di daerah itu dengan sistem pendidikan asrama.
Lakon itu bersumber dari Kitab Negarakertagama, karya Empu Prapanca, dan Novel Senja di Langit Majapahit, karya Hermawan Aksan, dengan produser Br. Albertus Suwarto, FIC, penata iringan Purwadi, dan kemasan gerak tari tradisional Jawa.
Sendratari "Dyah Pitaloka" yang terdiri tiga adegan itu menuturkan ambisi penaklukan wilayah-wilayah nusantara oleh Patih Gajah Mada (Ardi) dari Kerajaan Majapahit yang dipimpin Raja Hayam Wuruk (Didi) dalam seni gerak tari.
Alkisah, Majapahit belum berhasil menaklukan Kerajaan Sunda Galuh di bawah Raja Linggabuana (Johan) melalui beberapa kali peperangan. Raja itu memiliki seorang puteri bernama Dyah Pitaloka (Elok).
Raja Hayam Wuruk ingin melamar Pitaloka dan menjadikannya sebagai permaisuri Kerajaan Majapahit yang dipimpinnya. Lamaran Hayam Wuruk diterima Linggabuana dan Pitaloka pun dengan pengawalan sejumlah prajurit berangkat menuju Majapahit.
Di Lapangan Bubat yang dikisahkan berada di kawasan perbatasan antara wilayah Majapahit dengan Sunda Galuh, Gajah Mada dengan pasukan tempurnya menjebak rombongan Pitaloka yang memang tidak disiapkan untuk berperang.
"Gajah Mada memaksa Sunda Galuh harus tunduk kepada Majapahit dan menjadikan Pitaloka sebagai puteri persembahan kepada Raja Hayam Wuruk," kata Anugrah.
Pertempuran antara kedua pihak di Lapangan Bubat berlangsung seru ditandai jatuh korban di kedua pihak dan kesengsaraan rakyat di sekitar tempat perang itu, namun akhirnya dimenangi pasukan di bawah pimpinan Gajah Mada.
Hayam Wuruk yang mendengar tindakan Gajah Mada itu dikisahkan dalam sendratari tersebut sebagai marah.
"Tindakan patihnya itu telah menurunkan martabat kerajaan dan mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Pesan yang ingin disampaikan dalam sendratari ini, bagaimana seorang pemimpin saat ini mengambil kebijakan yang tepat, yang tidak mengakibatkan rakyat menderita dan selalu berkomitmen mengangkat martabat bangsa dan negara," kata Dwi Anugrah. ***

Begitulah, sebagai penulis Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit, aku sama sekali tidak diberi tahu mengenai pementasan ini. Senang-senang saja karyaku diangkat menjadi sendratari. Setidaknya, karyaku mendapat pengakuan, justru di tanah Jawa. Mengejutkan. Hanya saja, mungkin akan lebih membuatku bangga kalau panitia setidaknya memberi tahu. Itu saja.
Namun, tabik buat pementasan ini.

Tuesday, May 20, 2008

Tung

ADA kesalahan dalam pendidikan di Indonesia, yakni orang disuruh belajar, tapi tak pernah diajari caranya belajar. Kita disuruh berpikir, tapi kita tak pernah diajari bagaimana caranya berpikir.
Begitulah pendapatnya mengenai pendidikan di Indonesia.
Namanya mungkin aneh di telinga sebagian kita: Tung Desem Waringin. "Apa itu?" bukan "Siapa itu?" kata seorang teman ketika suatu hari saya mengucapkan nama ini. Walah. Padahal, orang tuanya tentu punya maksud baik dengan memberinya nama demikian. Dan memang begitulah. Tung adalah nama keluarga, she Tionghoa. Desem diambil dari Desember, bulan kelahirannya. Dan Waringin diambil dari kata bahasa Jawa yang berarti beringin. Orang tuanya mengharapkan anak ketiga dari lima bersaudara ini menjadi pelindung, tempat berteduh.
Menurut lelaki kelahiran Solo 40 tahun lalu ini, proses pendidikan di negeri ini memang aneh. "Kalau orang disuruh berenang, mestinya kan harus belajar bagaimana berenang. Disuruh belajar, mestinya belajar bagaimana caranya belajar. Seperti pengalaman saya, atau kita semua di sini, guru-guru kita selalu menyuruh, ayo belajar, ayo belajar, ayo berenang, ayo berenang. Caranya? Harus fokus. Bagaimana caranya fokus? Tak pernah diajarkan," ujar Tung Desem dalam percakapan dengan saya di Sekolah Mutiara Nusantara, Jalan Sersan Bajuri, Bandung, beberapa waktu lalu.
Tung mengakui, ketika di SD hingga SMA, ia bukanlah anak yang istimewa di kelas. "Saya bahkan termasuk oon, goblok," kata Tung, yang kemudian tertawa.
Tung kemudian bertutur, ketika di SMA nilai mata pelajaran Bahasa Indonesianya biasa-biasa saja. "Pada sebuah acara reuni SMA bertemu dengan guru Bahasa Indonesia saya. Bu Tuti, ingat saya? Waktu itu Bahasa Indonesia saya dikasih lima, karena saya nggak bisa ngarang. Sekarang, Bu Tuti, terima kasih, saya Tung Desem Waringin tercatat memecahkan rekor MURI sebagai pengarang yang di hari pertama bukunya laku 10 ribu lebih. Saya juga bertemu dengan Pak Guru PMP, waktu itu saya juga dikasih nilai lima. Untungnya waktu itu semester ganjil. Kalau pas kenaikan kelas dua mata pelajaran itu dapat lima, nggak naik saya. Saya sering naik kelas dengan status diakui. Saking parahnya. Nah, saya juga pernah ikut les Kimia, ini true story, saya ikut les dengan juara satu, juara kelas, dengan para juara, hanya saya yang tidak juara. Saya ingat pada waktu les pernah dikasih seratus soal. Saya selesai cuma 20 soal, dari 20 itu, yang bener hanya dua. Saking baiknya guru les itu, dia berkata, 'Tung, kamu datang lebih awal ya. Lesnya jam tiga, kamu datang setengah tiga. Nanti saya kasih les lebih dulu, nanti kamu bisa ngejar yang lain.' Saya setuju. Begitu diajari, tetap saja saya nggak bisa. Gurunya nanya begini, sampai ngomong sorry tiga kali. 'Tung, kamu dulu waktu kecil pernah setep?' Asem tenan, ha-ha-ha."
Ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ia menjadi mahasiswa teladan. Berbagai gelar juara dalam ajang lomba akademis pun ia menangi. "Saya bergaul dengan para mahasiswa cerdas, kemudian melihat bagaimana cara mereka belajar. Saya terapkan cara mereka, dan akhirnya saya berhasil meraih prestasi tinggi," kata Tung.
Tung tampil sebagai lulusan terbaik, kemudian sukses berkarier di BCA, sebuah bank swasta terbesar di negeri ini, punya kedudukan bagus, punya keluarga yang baik dan istri yang cantik, tapi ketika ayahnya sakit, gaji Tung sebulan tak mampu menutupi biaya semalam di kelas 3 RS Mount Elizabeth di Singapura!
"Pasti ada yang salah dengan hidup saya," pikirnya. Maka ia keluar dari BCA lalu merintis karier dan kemudian sukses di bidang lain: menjadi seorang motivator. Oleh majalah Marketing, Tung dinobatkan sebagai "pelatih sukses nomor satu Indonesia".
Jadi, apa sebenarnya rahasia suksesnya? "Saya selalu belajar dari yang terbaik. Untuk menjadi pelatih sukses terbaik pun, saya belajar dari yang terbaik, antara lain dari Anthony Robbins, pelatih sukses terbaik di dunia," katanya. (*)

Monday, May 5, 2008

Selebritas

SEBUAH tabloid olah raga edisi Selasa, 29 April 2008, menulis salah satu judul beritanya "Ditantang Selebritas Dadakan". Tulisan itu bercerita tentang rencana pertarungan tinju antara Oscar De La Hoya dan Steve Forbes. De La Hoya bukan nama asing di ring tinju, sedangkan Forbes belum terdengar, kecuali disebutkan bahwa ia baru tampil dalam acara reality show tinju "The Contender". Penampilan itulah yang membuat Forbes disebut "selebritas dadakan".
Yang menarik, tabloid ini merupakan salah satu di antara sangat sedikit media massa yang menggunakan bentuk kata selebritas, bukan selebriti. Salah satu media yang memelopori pemakaian bentuk selebritas adalah majalah Jakarta-Jakarta, yang sayangnya sekarang sudah almarhum.
Mana yang benar, selebritas atau selebriti? Atau mungkin selebritis sebagaimana yang sering kita lihat (dengar) di sejumlah media, termasuk televisi, dan dalam percakapan sehari-hari?
Menurut pedoman penulisan unsur serapan, akhiran -ty (Inggris) atau -teit (Belanda) berubah menjadi -tas dalam bahasa Indonesia. Contohnya, university atau universiteit menjadi universitas, quality atau kwaliteit menjadi kualitas. Kita bisa menambahkan kata-kata lain seperti activity, solidarity, actuality, validity, dan morality, yang berubah menjadi aktivitas, solidaritas, aktualitas, validitas, dan moralitas. Tentu daftar ini masih bisa diperpanjang.
Dalam bahasa Inggris, kata celebrity berarti seorang yang terkenal/masyhur (lihat Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily). Bentuk jamaknya adalah celebrities. Bentuk jamak inilah yang kerap kita temukan dipakai oleh pengguna bahasa Indonesia menjadi selebritis. Tentu saja ini bentuk yang keliru, sama kelirunya ketika kita menulis tips atau fans dalam bahasa Indonesia.
Dengan pedoman penulisan unsur serapan di atas, jelaslah bahwa kata celebrity harus berubah menjadi selebritas, bukan selebriti atau (apalagi) selebritis.
Sampai edisinya yang kedua (cetakan ke-10 tahun 1999), Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) belum memasukkan lema selebriti ataupun selebritas. KBBI kalah langkah dari Kamus Kontemporer karya Peter Salim, misalnya, yang pada cetakan tahun 1995 pun sudah memasukkan lema selebritas (bukan selebriti). Baru pada edisi ketiga, KBBI memasukkan lema selebriti (bukan selebritas), yang diberi arti orang yang terkenal atau masyhur (biasanya tentang artis).
Saya termasuk pemakai bahasa Indonesia yang kecewa karena KBBI justru mengakui bentuk selebriti, bukan selebritas. Jelas bahwa penyusun KBBI (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia) tidak konsisten terhadap pedoman yang mereka susun sendiri. Apa dasar yang digunakan KBBI? Apakah KBBI mengikuti analogi sekuriti dan komoditi? Jika demikian, KBBI keliru karena bentuk sekuriti (keamanan) bisa diterima untuk membedakannya dengan sekuritas (surat berharga) meski kedua bentuk ini berasal dari bentuk yang sama security. Adapun komoditi bukan bentuk baku seperti diakui sendiri oleh KBBI karena bentuk bakunya adalah komoditas.
Apakah karena masyarakat lebih banyak yang memakai selebriti (dan selebritis) daripada selebritas? Kabarnya, Pusat Bahasa memasukkan lema tertentu berdasarkan frekuensi pemakaiannya di masyarakat. Jika demikian, selain melanggar aturannya sendiri, KBBI kerap tidak konsisten mengenai soal ini. Satu contoh saja, KBBI terus-menerus mencantumkan kata zarafah sebagai bentuk baku, bukan jerapah. Padahal, kita yakin bahwa masyarakat seluruh Indonesia lebih akrab dengan kata jerapah, bukan zarafah.
Kalau KBBI terus-terusan tidak konsisten, benar apa kata Tendy K. Somantri, salah seorang Koordinator Forum Bahasa Media Massa Jabar, bahwa kita pemakai bahasa berkali-kali "babak belur" justru ketika mencoba mengikuti kebenaran yang ditawarkan Pusat Bahasa.***

(naskah ini dimuat di harian Pikiran Rakyat, 3 Mei 2008

Sunday, May 4, 2008

Lagi, Buku Baru


Buku ini baru terbit, dan sudah kulihat di stan Mizan pada Pameran Buku Islami di Gedung Landmark, Bandung. Sampai hari ini, aku malah belum dapat bukunya. Aku mau ke kantor Mizan ah, besok. Sekalian mengembalikan SPK untuk (calon) buku mengenai Steve Jobs.
Keterangan tentang buku ini bisa dilihat di