Sunday, March 30, 2008

Buku baru lagi


Ini buku baruku. Aku sendiri belum punya bukunya. Saat search namaku di Google, muncul informasi bahwa buku ini sudah terbit. Setidaknya aku tahu di situs Mizan, Inibuku.com, dan beberapa lainnya.

Saturday, March 15, 2008

Buku Terbaru: Pendidikan Olahraga

Buku terbaruku kali ini diberi judul Pendidikan Olahraga, Pengalaman 17 Tahun dalam Pelembagaan dan Penyelenggaraan Mata Kuliah Olahraga di ITB, diterbitkan oleh Kelompok Keahlian Ilmu Keolahragaan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, bekerja sama dengan Penerbit ITB, Februari 2008.
Buku ini memang tidak kutulis sendiri, tapi bersama Deni Ahmad Fajar (asisten redaktur Tribun Jabar) dan Hawe Setiawan (sastrawan, penulis, editor). Dan sayangnya, nama kami bertiga tidak tampil di sampul muka, tapi hanya di halaman dalam, di bawah Tim Pengarah, yang terdiri dari para dosen ITB, termasuk mantan rektor ITB Wiranto Arismunandar. Juga tak ada data sesingkat apa pun tentang kami sebagai penulis.
Proses terbitnya buku ini terhitung lama, sejak pertemuan pertama dengan Prof Wiranto dkk, pada 1 Juli 2007. Salah satu anggota tim pengarah ternyata adalah Didi Sunadi, yang ternyata teman seangkatan adikku di FPOK IKIP (sekarang UPI).
Cukup banyak pula hambatan yang kami temui, terutama minimnya data yang bisa kami telusuri dari sejumlah narasumber.
Aku lebih dulu tahu buku ini sudah terbit justru dari tabloid Bola edisi 7 Maret 2008. Sehari menjelang peluncuran, dua temanku, Deni dan Hawe, mendapat SMS dari Didi yang mengharap kehadiran kami sebagai tim penulis hadir pada hari Minggu, 9 Maret 2008. Aku sendiri tidak dapat SMS. Karena bentrok dengan sebuah acara, aku dan Deni tidak hadir. Hawe hadir, tapi aku belum sempat mendapat cerita mengenai bagaimana acaranya.
Kami mendapat buku itu masing-masing satu eksemplar! (Padahal, penerbit umumnya memberikan jatah buat penulis itu minimal sepuluh eksemplar.) Memang ditambah masing-masing satu kaus. Tapi kaus itu tak ada hubungannya dengan buku itu atau ITB. Kaus itu terkesan pembagian dari Telkomsel.
Pada laman Sekolah Farmasi ITB, kubaca berita mengenai peluncuran buku tersebut sebagai berikut (apa adanya, termasuk salah ketiknya dsb):

Kelompok Keilmuan Keolahragaan Sekolah Farmasi ITB, meluncurkan buku Pendidikan Olahraga: Pengalaman 17 Tahun dalam Pelembagaan dan Penyelenggaraan Matakuliah Olahraga di ITB di acara Dies Natalis ke-49 ITB, hadir pada acara tersebut Rektor ITB, Wakil Rektor, pimpinan UKA dan UKP, juga dihadiri oleh mantan Rektor ITB, Wiranto Arismunandar. Dalam sambutannya Rektor ITB melihat pentingnya olahaga dalam pembangunan bangsa ini. Karena itu, ITB konsisten memberikan mata kuliah olahraga yang ditangani oleh Kelompok Keilmuan Keolahragaan. Untuk pengembangan ke depan,kelompok Ilmu Keolahragaan ingin menjadi yang terdepan dalam riset riset olahraga. “Idealnya di setiap partisipasi Indonesia di ajang multievent diimbangi dengan riset yang berkaitan dengan prestasi maupun kegagalannya. Jika itu dilakukan, niscaya kelemahan olahraga prestasi akan segera diketahui,” ungkap Dekan Sekolah Farmasi , Dr Tutus Gusdinar Kartawinata. Kita juga berharap bias menjadi sport center yang memiliki kekuatan di bidang riset olahraga. Saat ini kami mengupayakan berbagai effort ke sana,” tambah Tutus Gusdinar.

Demikianlah.

Monday, March 3, 2008

Tanpa Judul

Tulisanku di rubrik Coffee Break Tribun Jabar, Minggu 2 Maret, yang juga kuposting di sini dengan judul "Kisah (Para) Penyair Nekat", ternyata mendapat respons dari sang penyair. Respons itu dikirimkan lewat e-mail ke Tribun Jabar. Di sini kuposting respons itu, seadanya (termasuk semua salah ketiknya), berikut ini:

banyak seniman di bandung yang kemudian terlempar dan
tersisihkan dari sejarah sastra,untuk kembali eksis
tentu bukan hal yang mudah,karena berbagai
hal.misalnya tidak berkarya lagi, atau karyanya tidak
bermutu, atau kahayangaya ka euweuh euweuh, jadi
ketika ada seniman lain tetap eksis ia hanya bisa
kumetap lalu caci maki tak keruan.
terimakasih atas resensi buku puisisaya di tribun,
saya sadar bahwa sebuah karya bukan lagi milik
pengranagnya ika sudah berada di tangan pmbaca, tapi
bahayanya kalau pembaca itu kemudian adalah seniman
yang terlemparkan dari sejarah sastra..
sehingga pengetahuannya ttg sastra nol besar, tidak
memahami perkembangan sastra yang tengah berlangsung.
kaciaaaaaaaaan dech...

terimakasih
terimaksih
nuhu
nuhun

matdon
matazibril@yahoo.com

Sunday, March 2, 2008

Kisah (Para) Penyair Nekat

TAMPAKNYA sulit menjadi penyair di negeri ini kalau tidak nekat. Karena itu, banyak orang yang nekat menjadi penyair, atau banyak penyair yang nekat. Tapi, sebentar, penyair pun terbagi menjadi dua: penyair serius dan penyair dadakan karena suatu alasan. Alasan itu bisa saja sedang dilanda asmara, atau sedang marah-marah terhadap pihak lain, atau apa saja.
Beberapa kali saya bertemu dengan penyair (atau merasa diri penyair) yang nekat menerbitkan buku kumpulan puisi, baik melalui penerbit tertentu maupun menerbitkan sendiri--tentu saja dengan biaya sendiri.
Pernah ada seorang teman (yang merasa diri) penyair menerbitkan buku kumpulan puisi dengan menyeting sendiri, kemudian mencetaknya melalui printer sebanyak dua puluhan eksemplar, menjilidnya sendiri, mengedarkannya sendiri kepada teman-temannya, dan akhirnya mengadakan diskusi di antara mereka untuk membahas puisi-puisi dalam buku itu. Maka dalam curriculum vitae-nya, ia menulis pernah menerbitkan buku berjudul anu, yang tak lain buku yang dicetak 20-an eksemplar itu.
Saya tentu saja tidak antipati terhadap para penyair nekat itu. Sebaliknya, saya angkat topi. Buku kumpulan puisi adalah komoditas yang termasuk rendah nilai jualnya. Hanya satu dua judul buku kumpulan puisi di negeri ini yang bisa dikatakan termasuk best-seller, misalnya buku-buku karya Joko Pinurbo, Kibaran Sarung, Celana, dan Pacar Kecilku. Maka sukses mereka untuk menerbitkan buku kumpulan puisi patut dicatat dengan nilai tersendiri.
Beberapa hari lalu saya menerima sebuah buku kumpulan puisi dari Kang Yusran Pare, Pemimpin Redaksi Tribun Jabar. Kang Yusran menerimanya dari Matdon, sang penyair, dan meminta saya membuat ulasannya. Judul bukunya, yang ditulis dengan huruf-huruf putih dengan latar belakang blok hitam, terasa menghantam: Kepada Penyair Anjing.
Secara fisik, buku yang terbitan Ultimus ini menarik. Di bawah judul pada sampul, terpampang sebuah drawing karya Andi Sopiandi yang menggambarkan komposisi beberapa ekor anjing bergaya agak surealis. Secara keseluruhan, desain sampul depan oleh Ucok ini pun mengesankan sebuah upaya yang serius.
Buku ini, saya kira, terbit tidak dengan biaya sendiri, apalagi hanya dicetak dalam jumlah eksemplar yang bisa dihitung dengan jari. Ultimus adalah penerbit yang sudah menelurkan sejumlah buku bermutu. Karena itu, upaya Ultimus untuk menerbitkan buku kumpulan puisi sangat patut dihargai.
Bagaimana dengan puisi-puisinya? Hmm...
Buku setebal xviii + 90 halaman ini berisi 80 judul puisi. Sebagian besar adalah puisi pendek, yang terdiri dari beberapa baris dan hanya mengisi kurang dari sepertiga halaman. Hanya enam puisi yang masing-masing mengisi lebih dari satu halaman. Tentu saja puisi pendek tidak berarti buruk dan puisi panjang tidak berarti indah. Sitor Situmorang pernah menciptakan puisi pendek yang hanya berisi satu baris, tapi terus bergema melewati tahun-tahun dan dasawarsa.
Dari sisi gaya, sebagian konvensional, sebagian berupaya mendobrak tradisi, meski belum benar-benar menghasilkan pengucapan baru. Bahkan ada pula sejumlah puisi yang bergaya mbeling seperti yang pernah berkibar tahun 1970-an melalui Remi Silado dan kawan-kawan. Beberapa puisi dalam buku ini mengesankan sebuah proses pengendapan yang intens, beberapa berpeluang untuk menjadi puisi yang bagus, tapi banyak pula yang terkesan dibuat dengan tergesa-gesa--dan kemudian malah terjebak menjadi sekadar pamflet.
Menurut Afrizal Malna, puisi tercipta melalui proses yang berdarah-darah. Bagi Afrizal, puisi adalah sebuah posisi rawan kesenian. Untuk menulis sekaligus memahami dibutuhkan "pengorbanan" besar sehingga tak hanya sanggup mengubah pandangan seseorang, bahkan mungkin menggerakkan sebuah energi tak terlihat yang kelak membuat massa bergerak. Puisi dapat pula mencapai fungsinya yang paling sederhana sebagai jejak sang penyair yang menyeret setiap peristiwa dalam sejarah hidupnya. Ia lantas menjadi semacam kesaksian yang dapat menengarai perubahan zaman, menjadi petunjuk bagi generasi berikutnya, selain sebagai catatan sunyi peradaban.
Toto Sudarto, Rendra, Taufik Ismail pernah menempatkan diri pada posisi kesaksian. Sutardji lebih menekuni bongkar-pasang estetika, menggali yang terpendam dalam rahasia akar bahasa. Sapardi memberikan eksistensi pada ujaran sehari-hari menjadi "prasasti" monumental. Adapun Goenawan Mohamad dengan metafora mewahnya mengisi bagian elegan dalam sastra Indonesia.
Di mana posisi Kepada Penyair Anjing dalam peta puisi negeri ini? Ah, mungkin pertanyaan yang terlampau jauh. Kebanyakan puisi dalam buku ini belum mengesankan tercipta melalui proses yang berdarah-darah.