Sunday, August 31, 2008

Negeri Para Maling, Rampok, Bandit, dll

PADA 2005, terbit buku berjudul Kiai di Republik Maling oleh Munawar Fuad Noeh. Ada yang menilai kehadiran buku ini sangat signifikan sebagai saripati pengalaman, kesadaran, kebaikan, dan nurani. Tapi bukan soal itu inti tulisan ini. Sebab, tahun ini juga terbit buku lain, seakan-akan menjadi "antitesis", Bukan Kampung Maling Bukan Desa Ustadz, sebuah memoar politik mantan jaksa agung Abdul Rahman Saleh.
Melalui buku ini, Abdul Rahman mencoba meluruskan kesalahpahaman mengenai insiden "ustad di kampung maling" antara Jaksa Agung dan DPR secara objektif dan transparan. Sekaligus menceritakan perjalanan kariernya sejak menjadi wartawan, pembela, bintang film, notaris, Ketua Muda Mahkamah Agung. Buku ini pun sekaligus merupakan laporan kinerja selama menjadi Jaksa Agung, yaitu pembaruan kejaksaan dan pemberantasan korupsi.
Nah, mengenai kaitan antarar negara, korupsi, dan permalingan ini, pernah dipentaskan sebuah lakon berjudul Korupsi di Republik Maling. Ceritanya, bekas menteri urusan iwak lan segara (ikan dan laut), Rom Dalu, disidang karena korupsi. Rom ternyata tidak makan duit sendiri, tapi terjadi bancakan ramai-ramai. Lewat anak buahnya, Rom membagi-bagikan uang kepada semua orang penting, calon penguasa, politikus, ormas, hingga pemuka agama di negara antah berantah. Sebuah tulisan juga sempat dipublikasikan. Judulnya Indonesia Negeri Para Perampok. Tampaknya tulisan itu dibuat ketika terjadi heboh penjualan BUMN ke tangan asing. Menurut tulisan itu, pemindahan kepemilikan BUMN, yang merupakan milik sah rakyat Indonesia, ke tangan asing tidak lain dari upaya perampokan terhadap rakyat yang dibantu para penguasa, yang terdiri dari para pengelola negara yang memang memiliki sikap mental kera, rakus! Tak peduli pada tanggung jawabnya sebagai orang yang diberi amanah, baik dia sebagai pejabat publik maupun para wakil rakyat yang terhormat. "Masih banyak saja para pejabat yang memiliki mental rampok. Negeri para perampok, itulah kira-kira keadaan negeri ini."
Pada suatu waktu, Ahmad Syafii Maarif pernah menyebut Indonesia sebagai RGI (Republik Garong Indonesia) karena semakin panjangnya deretan para penggarong dan perampok harta negara bergentayangan, dari pusat sampai daerah. Tidak itu saja, kata Syafii melalui tulisannya Masalah Bangsa: Tidak Sederhana, sebagian aparat penegak hukum pun telah memasukkan dirinya ke dalam daftar warga hitam itu.
Ada juga yang menulis di sebuah blog, bahwa negeri ini pantas disebut sebagai republik copet. "Negara ini dikuasai dan diperintahi oleh tukang copet nan garong terus-menerus!" Begitu kata si penulis.
Kemudian, Kompas edisi 6 Agustus lalu memuat opini berjudul Inilah Zaman Bandit Berkeliaran, yang ditulis I Wibowo. Tulisan ini dipicu oleh kasus suap yang melibatkan 52 anggota DPR. "Banyak orang mengatakan mungkin lebih banyak lagi. Mungkin semuanya. Masyarakat yang tak lagi percaya kepada anggota DPR mengusulkan agar DPR dibubarkan. Ketika 10 tahun lalu penguasa tunggal dijatuhkan, orang berharap kejadian korupsi sejenis yang dilakukan Soeharto tak akan lagi terjadi karena rakyat akan mengawasinya. Ternyata si pengawas sendiri terlibat korupsi," tulis Wibowo.
Mau tambahan? Coba saja bikin sendiri. Negeri pencopet, kalau kita ambil padan katanya, bisa juga disebut negeri congo, negeri kabit, negeri kadet, negeri pencecak, negeri penceluk, negeri pencilok. Republik maling juga bisa kita ganti dengan istilah republik alap-alap, republik pencoleng, republik penjambret, republik pencuri. Dan republik perampok tak lain sama saja dengan republik begal, republik kecu, republik penyamun, republik bajak laut, republik lanun, republik perompak.
Duh, begitu parahkah negeri ini?

2 comments:

celcius said...

luar biasa.
Mohon ijin menpublis di web kami
www.tonggakjepara.com

Salam.......

Bhayo SemerOe said...

Wang masih inget yoyo