Friday, December 19, 2008

From Cat Stevens to Yusuf Islam


Ini buku baruku, terbit Desember ini. Tebal: 192 halaman. Harga: Rp 34.000. Berikut ini deskripsinya:

Dalam usia sangat belia, Cat Stevens telah meraih hampir semua yang diimpi-impikan orang modern: kaya, terkenal, dan dikagumi banyak orang. Kegigihannya telah membuatnya berhasil menjadi musisi yang menghasilkan banyak karya legendaris dan menjadi panutan banyak musisi lainnya.
Namun, ternyata semua itu tak membuatnya menemukan kedamaian. Lingkungan glamour menyeretnya ke dalam gaya hidup yang merusak; ia terjebak dalam kecanduan narkotika dan minuman keras. Setelah nyawanya beberapa kali nyaris melayang akibat kebiasaan buruknya, ia memutuskan untuk mencari makna hidup. Beberapa tahun kemudian, dunia dikejutkan oleh keputusannya menjadi Muslim dan berganti nama menjadi Yusuf Islam. Lebih mengejutkan lagi, tak lama kemudian ia mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia musik. Konser perpisahannya dihadiri ribuan penggemar yang menangisi kepergiannya.
Apa alasan Cat Stevens memilih Islam? Mengapa ia memutuskan meninggalkan dunia musik? Mengapa ia pernah dituduh menyetujui hukuman mati untuk Salman Rushdie? Mengapa ia akhirnya memutuskan kembali ke dunia musik? Buku ini merunut perjalanan hidup seorang manusia yang rela meninggalkan gemerlap dunia untuk menemukan panggilan batin sejatinya.

"Yusuf Islam adalah 'duta besar' dari agama yang sering disalahpahami."
-Pangeran Charles

From Cat Stevens to Yusuf Islam

Ini buku baruku, terbit Desember ini. Tebal: 192 halaman. Harga: Rp 34.000. Berikut ini deskripsi isinya:

Dalam usia sangat belia, Cat Stevens telah meraih hampir semua yang diimpi-impikan orang modern: kaya, terkenal, dan dikagumi banyak orang. Kegigihannya telah membuatnya berhasil menjadi musisi yang menghasilkan banyak karya legendaris dan menjadi panutan banyak musisi lainnya. Namun, ternyata semua itu tak membuatnya menemukan kedamaian. Lingkungan glamour menyeretnya ke dalam gaya hidup yang merusak; ia terjebak dalam kecanduan narkotika dan minuman keras. Setelah nyawanya beberapa kali nyaris melayang akibat kebiasaan buruknya, ia memutuskan untuk mencari makna hidup. Beberapa tahun kemudian, dunia dikejutkan oleh keputusannya menjadi Muslim dan berganti nama menjadi Yusuf Islam. Lebih mengejutkan lagi, tak lama kemudian ia mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia musik. Konser perpisahannya dihadiri ribuan penggemar yang menangisi kepergiannya. Apa alasan Cat Stevens memilih Islam? Mengapa ia memutuskan meninggalkan dunia musik? Mengapa ia pernah dituduh menyetujui hukuman mati untuk Salman Rushdie? Mengapa ia akhirnya memutuskan kembali ke dunia musik? Buku ini merunut perjalanan hidup seorang manusia yang rela meninggalkan gemerlap dunia untuk menemukan panggilan batin sejatinya.

“Yusuf Islam adalah ‘duta besar’ dari agama yang sering disalahpahami.”
—Pangeran Charles

Thursday, November 27, 2008

Buku suntingan baru


Sudah lama sekali tak memposting di blog ini. Selama Agustus hingga November ada beberapa bukuku yang terbit, baik karya sendiri maupun karya yang kuterjemahkan dan kusunting. Bulan November terbit hampir bersamaan dua buku yang aku berposisi sebagai penyunting, yaitu The Last Window-Giraffe karya pengarang Hongaria, Peter Zilahy, dan Morality for Beautiful Girls karya Alexander McCall Smith. Dua-duanya diterbitkan Bentang Pustaka. TLWG unik dan menarik karena novel dengan gaya penulisan seperti kamus, bercerita tentang hari-hari akhir diktator Yugoslavia, Slobodan Milosevic. Morality tetap memperlihatkan gaya cerita khas McCall Smith yang bernada komedi dengan latar kehidupan Afrika yang kental.

Sunday, August 31, 2008

Negeri Para Maling, Rampok, Bandit, dll

PADA 2005, terbit buku berjudul Kiai di Republik Maling oleh Munawar Fuad Noeh. Ada yang menilai kehadiran buku ini sangat signifikan sebagai saripati pengalaman, kesadaran, kebaikan, dan nurani. Tapi bukan soal itu inti tulisan ini. Sebab, tahun ini juga terbit buku lain, seakan-akan menjadi "antitesis", Bukan Kampung Maling Bukan Desa Ustadz, sebuah memoar politik mantan jaksa agung Abdul Rahman Saleh.
Melalui buku ini, Abdul Rahman mencoba meluruskan kesalahpahaman mengenai insiden "ustad di kampung maling" antara Jaksa Agung dan DPR secara objektif dan transparan. Sekaligus menceritakan perjalanan kariernya sejak menjadi wartawan, pembela, bintang film, notaris, Ketua Muda Mahkamah Agung. Buku ini pun sekaligus merupakan laporan kinerja selama menjadi Jaksa Agung, yaitu pembaruan kejaksaan dan pemberantasan korupsi.
Nah, mengenai kaitan antarar negara, korupsi, dan permalingan ini, pernah dipentaskan sebuah lakon berjudul Korupsi di Republik Maling. Ceritanya, bekas menteri urusan iwak lan segara (ikan dan laut), Rom Dalu, disidang karena korupsi. Rom ternyata tidak makan duit sendiri, tapi terjadi bancakan ramai-ramai. Lewat anak buahnya, Rom membagi-bagikan uang kepada semua orang penting, calon penguasa, politikus, ormas, hingga pemuka agama di negara antah berantah. Sebuah tulisan juga sempat dipublikasikan. Judulnya Indonesia Negeri Para Perampok. Tampaknya tulisan itu dibuat ketika terjadi heboh penjualan BUMN ke tangan asing. Menurut tulisan itu, pemindahan kepemilikan BUMN, yang merupakan milik sah rakyat Indonesia, ke tangan asing tidak lain dari upaya perampokan terhadap rakyat yang dibantu para penguasa, yang terdiri dari para pengelola negara yang memang memiliki sikap mental kera, rakus! Tak peduli pada tanggung jawabnya sebagai orang yang diberi amanah, baik dia sebagai pejabat publik maupun para wakil rakyat yang terhormat. "Masih banyak saja para pejabat yang memiliki mental rampok. Negeri para perampok, itulah kira-kira keadaan negeri ini."
Pada suatu waktu, Ahmad Syafii Maarif pernah menyebut Indonesia sebagai RGI (Republik Garong Indonesia) karena semakin panjangnya deretan para penggarong dan perampok harta negara bergentayangan, dari pusat sampai daerah. Tidak itu saja, kata Syafii melalui tulisannya Masalah Bangsa: Tidak Sederhana, sebagian aparat penegak hukum pun telah memasukkan dirinya ke dalam daftar warga hitam itu.
Ada juga yang menulis di sebuah blog, bahwa negeri ini pantas disebut sebagai republik copet. "Negara ini dikuasai dan diperintahi oleh tukang copet nan garong terus-menerus!" Begitu kata si penulis.
Kemudian, Kompas edisi 6 Agustus lalu memuat opini berjudul Inilah Zaman Bandit Berkeliaran, yang ditulis I Wibowo. Tulisan ini dipicu oleh kasus suap yang melibatkan 52 anggota DPR. "Banyak orang mengatakan mungkin lebih banyak lagi. Mungkin semuanya. Masyarakat yang tak lagi percaya kepada anggota DPR mengusulkan agar DPR dibubarkan. Ketika 10 tahun lalu penguasa tunggal dijatuhkan, orang berharap kejadian korupsi sejenis yang dilakukan Soeharto tak akan lagi terjadi karena rakyat akan mengawasinya. Ternyata si pengawas sendiri terlibat korupsi," tulis Wibowo.
Mau tambahan? Coba saja bikin sendiri. Negeri pencopet, kalau kita ambil padan katanya, bisa juga disebut negeri congo, negeri kabit, negeri kadet, negeri pencecak, negeri penceluk, negeri pencilok. Republik maling juga bisa kita ganti dengan istilah republik alap-alap, republik pencoleng, republik penjambret, republik pencuri. Dan republik perampok tak lain sama saja dengan republik begal, republik kecu, republik penyamun, republik bajak laut, republik lanun, republik perompak.
Duh, begitu parahkah negeri ini?

Sunday, June 1, 2008

Zaini

ADA banyak musabab orang menjadi gila. Ada banyak bentuk kegilaan. Dan banyak cara pula orang berbuat gila. Majnun menjadi gila karena cinta terhadap Laila. Pada mulanya, cinta kedua anak muda itu tumbuh dan berkembang dengan sempurna. Masalah muncul saat cinta mereka diketahui orang tua. Laila dikurung oleh keluarganya agar tak keluar rumah ke mana pun sedetik pun. Dan Majnun perlahan-lahan menjadi gila.
Orang gila, atau kegilaan, memang menjadi objek menarik dalam pelbagai khazanah, termasuk dalam sastra. Mungkin Nazami Gandavi dari Persia, pengarang kisah Laila Majnun, bukan yang pertama. Dan jelas bukan yang terakhir. Nikolai Gogol dari Rusia dan Lu Hsun dari Cina sama-sama menulis kisah dengan judul Buku Harian Seorang Gila. Muhammad Ali dari Surabaya pun pernah menulis kisah Si Gila.
Majnun dan lain-lain gila karena berbeda dengan orang kebanyakan. Ahmad Zaini pun (dianggap) gila karena berbeda. Namun kegilaan Ahmad Zaini dan Majnun sangatlah berbeda. Ahmad Zaini juga bukan bagian dari fiksi, melainkan kisah nyata.
Sebagaimana umumnya orang gila, yakni menimbulkan kegemparan, meskipun kadang sesaat saja, Ahmad Zaini pun menimbulkan kegemparan. Ahmad Zaini mengaku memiliki kekayaan 18 ribu triliun rupiah. Ia mengaku memiliki harta tersebut sebagai warisan dari orang tuanya, Suparta, yang mempunyai kolateral emas yang disimpan di sejumlah bank di AS, Cina, dan Eropa. Dana itu, kata Zaini, baru diketahui 1.000 hari setelah kematian orang tuanya. Ratusan pengusaha, bankir, dan pejabat pemerintah pun memenuhi Villa Istana Bunga, Parongpong, Kabupaten Bandung Barat, Kamis (29/5). Mereka menunggu kepastian dana belasan triliun yang dikatakan akan dikucurkan untuk membiayai proyek ratusan miliar.
Delapan belas ribu triliun tentu saja angka fantastis. Seribu triliun adalah angka satu dengan lima belas nol di belakangnya. Berapa banyak? Kalau semua kekayaan itu dibelikan emas, dengan harga katakanlah 250 ribu rupiah per gram, maka emas yang akan diperoleh adalah 72.000 ton. Kalau semua kekayaan itu berupa tumpukan uang kertas seratus ribu rupiah, dan dengan asumsi uang sepuluh juta membentuk ketebalan 1 sentimeter, maka uang sebanyak 18 ribu triliun akan membentuk tumpukan setinggi 18 ribu kilometer, atau hampir separuh keliling planet Bumi.
Bagaimana kalau kalau uang 18 ribu triliun rupiah itu dibagikan kepada semua orang Indonesia secara sama rata? Maka masing-masing akan menerima lebih dari 80 juta rupiah.
Masuk akalkah? Kalau tidak masuk akal, kita akan menyebut orang yang mengklaim memiliki kekayaan demikian itu gila. Orang terkaya di dunia, Bill Gates, pun ditaksir memiliki kekayaan "hanya" 58 miliar dolar AS (sekitar Rp 500 triliun), hanya satu per tiga puluh enam "kekayaan" Ahmad Zaini.
Polisi sudah menduga bahwa Ahmad Zaini gila dan apa yang diklaimnya adalah penipuan. Kalangan pengamat menilai bahwa bangsa Indonesia tengah dilanda kebingungan. Namun, apa pun yang terjadi, Indonesia memang negeri yang aneh. Jangan-jangan, karena aneh itulah kemunculan orang-orang gila menjadi tidak aneh. Kalau semua orang menjadi gila, maka orang waras akan dianggap gila. Tempo hari, sempat heboh soal harta karun Bung Karno. Pernah ditulis, sang Proklamator disebut-sebut mempunyai harta karun berupa batangan emas/platina senilai Rp 36 triliun. Ada yang bilang harta itu adalah pampasan perang, tapi ada juga yang bilang kekayaan itu titipan dari Chiang Kai Sek, pemimpin Cina pada waktu itu. Sampai-sampai, kabarnya, Presiden (waktu itu) Soeharto membentuk tim "Mission Impossible" untuk menelusuri keberadaan harta tersebut.
Seperti kisah-kisah tentang orang gila, kisah-kisah tentang harta karun pun sangat menarik. King Solomon's Mines, National Treasure, dan serial Indiana Jones hanyalah beberapa judul film Hollywood (sebelumnya berbentuk buku) yang terkenal. Di Indonesia, ES Ito menerbitkan sebuah novel yang hebat, Rahasia Meede (Misteri Harta Karun VOC).
Qorun, yang di Indonesia berubah menjadi karun, pun menjadi sebuah contoh kisah menarik dalam Alquran untuk menjadi peringatan bagi manusia. Bermula dari pengikut setia, Qorun kemudian menjadi penentang Musa setelah meraih kekayaan yang melimpah. Konon kekayaannya tak bisa diukur karena kunci-kunci gudang kekayaannya tak bisa dipikul seorang lelaki kuat mana pun.
Satu hal, kalau kekayaan Ahmad Zaini benar, tak ada yg bisa mengalahkan kekayaannya, termasuk Qorun. Mungkin kecuali satu, yakni tokoh fiksi yang digemari (sekaligus dibenci) anak-anak: Paman Gober.

Saturday, May 31, 2008

Sendratari Dyah Pitaloka

Ketika iseng surfing di gelombang internet, aku menemukan sebuah berita berikut ini (apa adanya, tanpa kuedit):

SENDRATARI "DYAH PITALOKA", PEMAKSAAN POLITIK YANG MENJATUHKAN MARTABAT
Magelang, 25/5 (ANTARA) - Pementasan sendratari bertajuk "Dyah Pitaloka" ingin menggambarkan simbol bahwa pemaksaan kepentingan politik para petinggi akan menjatuhkan martabat bangsa dan berakibat menyengsarakan rakyat.
"Melalui sendratari ini tergambar bahwa sikap politik para elit yang bertendensi untuk memaksakan kehendak akhirnya membuahkan kesengsaraan rakyat dan merendahkan martabat," kata Koreografer Sendratari "Dyah Pitaloka", Dwi Anugrah, usai pementasan itu, di Magelang, Minggu.
Sendratari berdurasi sekitar 40 menit itu dimainkan puluhan pelajar SMA Pangudi Luhur "Van Lith" Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dalam puncak apresiasi seni, memeringati perintis sekolah unggulan di daerah itu dengan sistem pendidikan asrama.
Lakon itu bersumber dari Kitab Negarakertagama, karya Empu Prapanca, dan Novel Senja di Langit Majapahit, karya Hermawan Aksan, dengan produser Br. Albertus Suwarto, FIC, penata iringan Purwadi, dan kemasan gerak tari tradisional Jawa.
Sendratari "Dyah Pitaloka" yang terdiri tiga adegan itu menuturkan ambisi penaklukan wilayah-wilayah nusantara oleh Patih Gajah Mada (Ardi) dari Kerajaan Majapahit yang dipimpin Raja Hayam Wuruk (Didi) dalam seni gerak tari.
Alkisah, Majapahit belum berhasil menaklukan Kerajaan Sunda Galuh di bawah Raja Linggabuana (Johan) melalui beberapa kali peperangan. Raja itu memiliki seorang puteri bernama Dyah Pitaloka (Elok).
Raja Hayam Wuruk ingin melamar Pitaloka dan menjadikannya sebagai permaisuri Kerajaan Majapahit yang dipimpinnya. Lamaran Hayam Wuruk diterima Linggabuana dan Pitaloka pun dengan pengawalan sejumlah prajurit berangkat menuju Majapahit.
Di Lapangan Bubat yang dikisahkan berada di kawasan perbatasan antara wilayah Majapahit dengan Sunda Galuh, Gajah Mada dengan pasukan tempurnya menjebak rombongan Pitaloka yang memang tidak disiapkan untuk berperang.
"Gajah Mada memaksa Sunda Galuh harus tunduk kepada Majapahit dan menjadikan Pitaloka sebagai puteri persembahan kepada Raja Hayam Wuruk," kata Anugrah.
Pertempuran antara kedua pihak di Lapangan Bubat berlangsung seru ditandai jatuh korban di kedua pihak dan kesengsaraan rakyat di sekitar tempat perang itu, namun akhirnya dimenangi pasukan di bawah pimpinan Gajah Mada.
Hayam Wuruk yang mendengar tindakan Gajah Mada itu dikisahkan dalam sendratari tersebut sebagai marah.
"Tindakan patihnya itu telah menurunkan martabat kerajaan dan mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Pesan yang ingin disampaikan dalam sendratari ini, bagaimana seorang pemimpin saat ini mengambil kebijakan yang tepat, yang tidak mengakibatkan rakyat menderita dan selalu berkomitmen mengangkat martabat bangsa dan negara," kata Dwi Anugrah. ***

Begitulah, sebagai penulis Dyah Pitaloka, Senja di Langit Majapahit, aku sama sekali tidak diberi tahu mengenai pementasan ini. Senang-senang saja karyaku diangkat menjadi sendratari. Setidaknya, karyaku mendapat pengakuan, justru di tanah Jawa. Mengejutkan. Hanya saja, mungkin akan lebih membuatku bangga kalau panitia setidaknya memberi tahu. Itu saja.
Namun, tabik buat pementasan ini.

Tuesday, May 20, 2008

Tung

ADA kesalahan dalam pendidikan di Indonesia, yakni orang disuruh belajar, tapi tak pernah diajari caranya belajar. Kita disuruh berpikir, tapi kita tak pernah diajari bagaimana caranya berpikir.
Begitulah pendapatnya mengenai pendidikan di Indonesia.
Namanya mungkin aneh di telinga sebagian kita: Tung Desem Waringin. "Apa itu?" bukan "Siapa itu?" kata seorang teman ketika suatu hari saya mengucapkan nama ini. Walah. Padahal, orang tuanya tentu punya maksud baik dengan memberinya nama demikian. Dan memang begitulah. Tung adalah nama keluarga, she Tionghoa. Desem diambil dari Desember, bulan kelahirannya. Dan Waringin diambil dari kata bahasa Jawa yang berarti beringin. Orang tuanya mengharapkan anak ketiga dari lima bersaudara ini menjadi pelindung, tempat berteduh.
Menurut lelaki kelahiran Solo 40 tahun lalu ini, proses pendidikan di negeri ini memang aneh. "Kalau orang disuruh berenang, mestinya kan harus belajar bagaimana berenang. Disuruh belajar, mestinya belajar bagaimana caranya belajar. Seperti pengalaman saya, atau kita semua di sini, guru-guru kita selalu menyuruh, ayo belajar, ayo belajar, ayo berenang, ayo berenang. Caranya? Harus fokus. Bagaimana caranya fokus? Tak pernah diajarkan," ujar Tung Desem dalam percakapan dengan saya di Sekolah Mutiara Nusantara, Jalan Sersan Bajuri, Bandung, beberapa waktu lalu.
Tung mengakui, ketika di SD hingga SMA, ia bukanlah anak yang istimewa di kelas. "Saya bahkan termasuk oon, goblok," kata Tung, yang kemudian tertawa.
Tung kemudian bertutur, ketika di SMA nilai mata pelajaran Bahasa Indonesianya biasa-biasa saja. "Pada sebuah acara reuni SMA bertemu dengan guru Bahasa Indonesia saya. Bu Tuti, ingat saya? Waktu itu Bahasa Indonesia saya dikasih lima, karena saya nggak bisa ngarang. Sekarang, Bu Tuti, terima kasih, saya Tung Desem Waringin tercatat memecahkan rekor MURI sebagai pengarang yang di hari pertama bukunya laku 10 ribu lebih. Saya juga bertemu dengan Pak Guru PMP, waktu itu saya juga dikasih nilai lima. Untungnya waktu itu semester ganjil. Kalau pas kenaikan kelas dua mata pelajaran itu dapat lima, nggak naik saya. Saya sering naik kelas dengan status diakui. Saking parahnya. Nah, saya juga pernah ikut les Kimia, ini true story, saya ikut les dengan juara satu, juara kelas, dengan para juara, hanya saya yang tidak juara. Saya ingat pada waktu les pernah dikasih seratus soal. Saya selesai cuma 20 soal, dari 20 itu, yang bener hanya dua. Saking baiknya guru les itu, dia berkata, 'Tung, kamu datang lebih awal ya. Lesnya jam tiga, kamu datang setengah tiga. Nanti saya kasih les lebih dulu, nanti kamu bisa ngejar yang lain.' Saya setuju. Begitu diajari, tetap saja saya nggak bisa. Gurunya nanya begini, sampai ngomong sorry tiga kali. 'Tung, kamu dulu waktu kecil pernah setep?' Asem tenan, ha-ha-ha."
Ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ia menjadi mahasiswa teladan. Berbagai gelar juara dalam ajang lomba akademis pun ia menangi. "Saya bergaul dengan para mahasiswa cerdas, kemudian melihat bagaimana cara mereka belajar. Saya terapkan cara mereka, dan akhirnya saya berhasil meraih prestasi tinggi," kata Tung.
Tung tampil sebagai lulusan terbaik, kemudian sukses berkarier di BCA, sebuah bank swasta terbesar di negeri ini, punya kedudukan bagus, punya keluarga yang baik dan istri yang cantik, tapi ketika ayahnya sakit, gaji Tung sebulan tak mampu menutupi biaya semalam di kelas 3 RS Mount Elizabeth di Singapura!
"Pasti ada yang salah dengan hidup saya," pikirnya. Maka ia keluar dari BCA lalu merintis karier dan kemudian sukses di bidang lain: menjadi seorang motivator. Oleh majalah Marketing, Tung dinobatkan sebagai "pelatih sukses nomor satu Indonesia".
Jadi, apa sebenarnya rahasia suksesnya? "Saya selalu belajar dari yang terbaik. Untuk menjadi pelatih sukses terbaik pun, saya belajar dari yang terbaik, antara lain dari Anthony Robbins, pelatih sukses terbaik di dunia," katanya. (*)