Tuesday, May 20, 2008

Tung

ADA kesalahan dalam pendidikan di Indonesia, yakni orang disuruh belajar, tapi tak pernah diajari caranya belajar. Kita disuruh berpikir, tapi kita tak pernah diajari bagaimana caranya berpikir.
Begitulah pendapatnya mengenai pendidikan di Indonesia.
Namanya mungkin aneh di telinga sebagian kita: Tung Desem Waringin. "Apa itu?" bukan "Siapa itu?" kata seorang teman ketika suatu hari saya mengucapkan nama ini. Walah. Padahal, orang tuanya tentu punya maksud baik dengan memberinya nama demikian. Dan memang begitulah. Tung adalah nama keluarga, she Tionghoa. Desem diambil dari Desember, bulan kelahirannya. Dan Waringin diambil dari kata bahasa Jawa yang berarti beringin. Orang tuanya mengharapkan anak ketiga dari lima bersaudara ini menjadi pelindung, tempat berteduh.
Menurut lelaki kelahiran Solo 40 tahun lalu ini, proses pendidikan di negeri ini memang aneh. "Kalau orang disuruh berenang, mestinya kan harus belajar bagaimana berenang. Disuruh belajar, mestinya belajar bagaimana caranya belajar. Seperti pengalaman saya, atau kita semua di sini, guru-guru kita selalu menyuruh, ayo belajar, ayo belajar, ayo berenang, ayo berenang. Caranya? Harus fokus. Bagaimana caranya fokus? Tak pernah diajarkan," ujar Tung Desem dalam percakapan dengan saya di Sekolah Mutiara Nusantara, Jalan Sersan Bajuri, Bandung, beberapa waktu lalu.
Tung mengakui, ketika di SD hingga SMA, ia bukanlah anak yang istimewa di kelas. "Saya bahkan termasuk oon, goblok," kata Tung, yang kemudian tertawa.
Tung kemudian bertutur, ketika di SMA nilai mata pelajaran Bahasa Indonesianya biasa-biasa saja. "Pada sebuah acara reuni SMA bertemu dengan guru Bahasa Indonesia saya. Bu Tuti, ingat saya? Waktu itu Bahasa Indonesia saya dikasih lima, karena saya nggak bisa ngarang. Sekarang, Bu Tuti, terima kasih, saya Tung Desem Waringin tercatat memecahkan rekor MURI sebagai pengarang yang di hari pertama bukunya laku 10 ribu lebih. Saya juga bertemu dengan Pak Guru PMP, waktu itu saya juga dikasih nilai lima. Untungnya waktu itu semester ganjil. Kalau pas kenaikan kelas dua mata pelajaran itu dapat lima, nggak naik saya. Saya sering naik kelas dengan status diakui. Saking parahnya. Nah, saya juga pernah ikut les Kimia, ini true story, saya ikut les dengan juara satu, juara kelas, dengan para juara, hanya saya yang tidak juara. Saya ingat pada waktu les pernah dikasih seratus soal. Saya selesai cuma 20 soal, dari 20 itu, yang bener hanya dua. Saking baiknya guru les itu, dia berkata, 'Tung, kamu datang lebih awal ya. Lesnya jam tiga, kamu datang setengah tiga. Nanti saya kasih les lebih dulu, nanti kamu bisa ngejar yang lain.' Saya setuju. Begitu diajari, tetap saja saya nggak bisa. Gurunya nanya begini, sampai ngomong sorry tiga kali. 'Tung, kamu dulu waktu kecil pernah setep?' Asem tenan, ha-ha-ha."
Ketika kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ia menjadi mahasiswa teladan. Berbagai gelar juara dalam ajang lomba akademis pun ia menangi. "Saya bergaul dengan para mahasiswa cerdas, kemudian melihat bagaimana cara mereka belajar. Saya terapkan cara mereka, dan akhirnya saya berhasil meraih prestasi tinggi," kata Tung.
Tung tampil sebagai lulusan terbaik, kemudian sukses berkarier di BCA, sebuah bank swasta terbesar di negeri ini, punya kedudukan bagus, punya keluarga yang baik dan istri yang cantik, tapi ketika ayahnya sakit, gaji Tung sebulan tak mampu menutupi biaya semalam di kelas 3 RS Mount Elizabeth di Singapura!
"Pasti ada yang salah dengan hidup saya," pikirnya. Maka ia keluar dari BCA lalu merintis karier dan kemudian sukses di bidang lain: menjadi seorang motivator. Oleh majalah Marketing, Tung dinobatkan sebagai "pelatih sukses nomor satu Indonesia".
Jadi, apa sebenarnya rahasia suksesnya? "Saya selalu belajar dari yang terbaik. Untuk menjadi pelatih sukses terbaik pun, saya belajar dari yang terbaik, antara lain dari Anthony Robbins, pelatih sukses terbaik di dunia," katanya. (*)

No comments: