Thursday, January 17, 2008

Pulang (1)

Empat hari pulang kampung, ke desa kelahiranku, sungguh empat hari yang melelahkan. Meski demikian, aku menyerap sebuah pengalaman yang sangat berharga. Betapa proses sebuah pemilihan kepala desa begitu meriah, rumit, menegangkan, dan juga mengerikan. Kemeriahannya mungkin bisa disetarai pemilu legislatif, dengan semarak gambar, poster, bendera, dan kaus partai-partai. Namun taraf kengerian pilkades ternyata jauh melampaui jenis pemilihan mana pun di negeri ini, apalagi sekadar pilkada, baik bupati maupun gubernur. Emosi begitu meluap di sini.
Tentu saja. Salah satu calonnya adalah adikku sendiri. Meski pada awalnya aku tak terlalu setuju dia bersedia dicalonkan, mengingat berbagai risikonya, akhirnya seluruh keluarga mau tak mau mendukung juga. Meski tak punya hak pilih, tiga kakakku, masing-masing di Plaju, Bangka, dan Purwodadi, sampai bersedia pulang kampung demi mendukung moral adikku.
Sejak awal, aku mengusulkan tiga hal pada adikku: jangan terlalu banyak janji, jangan menggunakan politik uang, dan jangan menggunakan "orang pintar" melalui kekuatan gaib.
Di antara ketiga calon yang ada, adikku (kontestan nomor 2) paling favorit untuk menang. Menyusul kemudian kontestan no 1 dan 3. Dalam tiga bulan terakhir, mulai setelah lebaran, ketiga pesaing berusaha mencari dukungan dengan bermacam cara. Aku tidak terlalu banyak tahu mengenai usaha apa saja yang dilakukan dua kontestan lain. Salah satu sebabnya, aku memang jarang pulang kampung. Dari sisi adikku, dia telah membentuk tim sukses, yang terdiri dari para "bagong", yang tugasnya mencari massa pendukung. Dibangun juga semacam posko di sejumlah tempat di dukuh-dukuh dan RW tertentu.
Betapa menegangkannya situasi menjelang pilkades tampak dari banyaknya perpecahan di antara warga desa, antartetangga, antarkeluarga, antarsaudara, bahkan antara suami dan istri. Konon, perpecahan di antara warga baru bisa pulih dalam hitungan berbulan-bulan, bahkan hingga setahun atau lebih. Ini pasti efek negatif dari sebuah pilkades yang mestinya diantisipasi banyak pihak yang berwenang, guna dibuat aturan atau apa pun untuk meminimalisasi perpecahan seperti ini. Bahwa di A mendukung calon anu dan si B mendukung calon lain tampak nyata seperti "minyak dan air".
Namun pada kenyataannya tidak sesederhana seperti itu. Seperti tampak kemudian setelah usai pilkades, banyak sekali kejadian bahwa seseorang yang tampak sangat mendukung si A ternyata mendukung kubu lawan. Di sini aku baru tahu bahwa orang-orang desa juga bisa bermain sandiwara dengan sempurna.

No comments: