Sunday, March 2, 2008

Kisah (Para) Penyair Nekat

TAMPAKNYA sulit menjadi penyair di negeri ini kalau tidak nekat. Karena itu, banyak orang yang nekat menjadi penyair, atau banyak penyair yang nekat. Tapi, sebentar, penyair pun terbagi menjadi dua: penyair serius dan penyair dadakan karena suatu alasan. Alasan itu bisa saja sedang dilanda asmara, atau sedang marah-marah terhadap pihak lain, atau apa saja.
Beberapa kali saya bertemu dengan penyair (atau merasa diri penyair) yang nekat menerbitkan buku kumpulan puisi, baik melalui penerbit tertentu maupun menerbitkan sendiri--tentu saja dengan biaya sendiri.
Pernah ada seorang teman (yang merasa diri) penyair menerbitkan buku kumpulan puisi dengan menyeting sendiri, kemudian mencetaknya melalui printer sebanyak dua puluhan eksemplar, menjilidnya sendiri, mengedarkannya sendiri kepada teman-temannya, dan akhirnya mengadakan diskusi di antara mereka untuk membahas puisi-puisi dalam buku itu. Maka dalam curriculum vitae-nya, ia menulis pernah menerbitkan buku berjudul anu, yang tak lain buku yang dicetak 20-an eksemplar itu.
Saya tentu saja tidak antipati terhadap para penyair nekat itu. Sebaliknya, saya angkat topi. Buku kumpulan puisi adalah komoditas yang termasuk rendah nilai jualnya. Hanya satu dua judul buku kumpulan puisi di negeri ini yang bisa dikatakan termasuk best-seller, misalnya buku-buku karya Joko Pinurbo, Kibaran Sarung, Celana, dan Pacar Kecilku. Maka sukses mereka untuk menerbitkan buku kumpulan puisi patut dicatat dengan nilai tersendiri.
Beberapa hari lalu saya menerima sebuah buku kumpulan puisi dari Kang Yusran Pare, Pemimpin Redaksi Tribun Jabar. Kang Yusran menerimanya dari Matdon, sang penyair, dan meminta saya membuat ulasannya. Judul bukunya, yang ditulis dengan huruf-huruf putih dengan latar belakang blok hitam, terasa menghantam: Kepada Penyair Anjing.
Secara fisik, buku yang terbitan Ultimus ini menarik. Di bawah judul pada sampul, terpampang sebuah drawing karya Andi Sopiandi yang menggambarkan komposisi beberapa ekor anjing bergaya agak surealis. Secara keseluruhan, desain sampul depan oleh Ucok ini pun mengesankan sebuah upaya yang serius.
Buku ini, saya kira, terbit tidak dengan biaya sendiri, apalagi hanya dicetak dalam jumlah eksemplar yang bisa dihitung dengan jari. Ultimus adalah penerbit yang sudah menelurkan sejumlah buku bermutu. Karena itu, upaya Ultimus untuk menerbitkan buku kumpulan puisi sangat patut dihargai.
Bagaimana dengan puisi-puisinya? Hmm...
Buku setebal xviii + 90 halaman ini berisi 80 judul puisi. Sebagian besar adalah puisi pendek, yang terdiri dari beberapa baris dan hanya mengisi kurang dari sepertiga halaman. Hanya enam puisi yang masing-masing mengisi lebih dari satu halaman. Tentu saja puisi pendek tidak berarti buruk dan puisi panjang tidak berarti indah. Sitor Situmorang pernah menciptakan puisi pendek yang hanya berisi satu baris, tapi terus bergema melewati tahun-tahun dan dasawarsa.
Dari sisi gaya, sebagian konvensional, sebagian berupaya mendobrak tradisi, meski belum benar-benar menghasilkan pengucapan baru. Bahkan ada pula sejumlah puisi yang bergaya mbeling seperti yang pernah berkibar tahun 1970-an melalui Remi Silado dan kawan-kawan. Beberapa puisi dalam buku ini mengesankan sebuah proses pengendapan yang intens, beberapa berpeluang untuk menjadi puisi yang bagus, tapi banyak pula yang terkesan dibuat dengan tergesa-gesa--dan kemudian malah terjebak menjadi sekadar pamflet.
Menurut Afrizal Malna, puisi tercipta melalui proses yang berdarah-darah. Bagi Afrizal, puisi adalah sebuah posisi rawan kesenian. Untuk menulis sekaligus memahami dibutuhkan "pengorbanan" besar sehingga tak hanya sanggup mengubah pandangan seseorang, bahkan mungkin menggerakkan sebuah energi tak terlihat yang kelak membuat massa bergerak. Puisi dapat pula mencapai fungsinya yang paling sederhana sebagai jejak sang penyair yang menyeret setiap peristiwa dalam sejarah hidupnya. Ia lantas menjadi semacam kesaksian yang dapat menengarai perubahan zaman, menjadi petunjuk bagi generasi berikutnya, selain sebagai catatan sunyi peradaban.
Toto Sudarto, Rendra, Taufik Ismail pernah menempatkan diri pada posisi kesaksian. Sutardji lebih menekuni bongkar-pasang estetika, menggali yang terpendam dalam rahasia akar bahasa. Sapardi memberikan eksistensi pada ujaran sehari-hari menjadi "prasasti" monumental. Adapun Goenawan Mohamad dengan metafora mewahnya mengisi bagian elegan dalam sastra Indonesia.
Di mana posisi Kepada Penyair Anjing dalam peta puisi negeri ini? Ah, mungkin pertanyaan yang terlampau jauh. Kebanyakan puisi dalam buku ini belum mengesankan tercipta melalui proses yang berdarah-darah.

No comments: