Thursday, February 28, 2008

Kontroversi Penghargaan Budaya

(Ini sebetulnya tulisan agak lama, beberapa hari setelah tahun baru. Kukirimkan ke Kompas Jabar, tapi rupanya tidak layak muat.)

TERPILIHNYA W.S. Rendra sebagai salah satu penerima Penghargaan Budaya Sunda dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, pada malam Tahun Baru 2008, mengejutkan dan menimbulkan sejumlah pertanyaan. Apa posisi penting seniman berjuluk “Si Burung Merak” ini pada peta budaya Sunda?
Perjalanan panjang kiprah Rendra dalam peta seni dan budaya Indonesia, tentu saja, tak perlu diragukan lagi. Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, 7 November 1935) sudah berkarya sejak pertengahan 1950-an. Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan kemudian Bengkel Teater Rendra di Depok. Karya-karyanya (drama) antara lain Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), Sekda (1977), dan Mastodon dan Burung Kondor (1972), sedangkan puisi-puisinya terangkum dalam Jangan Takut Ibu, Balada Orang-Orang Tercinta, Empat Kumpulan Sajak, Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!, dan lain-lain.
Rendra telah menerima banyak penghargaan, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996), dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Namun, penghargaan yang penyerahannya dilakukan di Gedung Merdeka, Jalan Asia-Afrika, Bandung, itu, sekali lagi, bertajuk “budaya Sunda”. Nama atau lembaga lain yang menerima penghargaan ini, antara lain mantan Menteri Luar Negeri, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, budayawan Dr. Saini KM, Majalah Mangle (majalan bahasa Sunda), Kampung Cipta Gelar (kampung adat), harian Pikiran Rakyat Bandung, tokoh pencak silat paguron Tadjimalela (alm.) Djadjat Kusumahdinata (Djadjat Paramor) sebagai legenda, dalang Mamat Tahmat Tambi (dalang wayang kulit), Bi Raspi (seniman ronggeng), bolehlah diterima menurut “rasa kesundaan”.
Dengan jejak langkah yang sudah dijalani Rendra dan pemahaman mengenai “budaya Sunda”, terpilihnya Rendra memang terkesan kontroversial. Kontribusi Rendra terhadap budaya Sunda masih bisa diperdebatkan. Apakah Rendra terpilih karena ia tinggal di Depok, Jawa Barat?
Para juri tentu saja punya kriteria sendiri sehingga menganggap Rendra layak menerima penghargaan budaya Sunda. Namun ada dua hal yang juga patut menjadi catatan.
Pertama, Rendra terpilih dalam kategori diva. Kalau benar demikian, sungguh menggelikan. Sebab, diva berarti penyanyi opera wanita, atau primadona, seperti Renata Tebaldi, Joan Sutherland, Leontyne Price, Maria Callas, atau Kiri te Kanawa. Namun istilah diva juga digunakan untuk penyanyi wanita yang hebat, misalnya Whitney Houston, Madonna, Patti Labelle, Cher, Mariah Carey, Beyonce, Celine Dion, dan Aretha Franklin (lihat Wikipedia). Di Indonesia, penyanyi yang disebut-sebut sebagai diva antara lain Vina Panduwinata, Krisdayanti, dan Ruth Sahanaya. (Sebagai tambahan, di Barat, istilah diva sering dipakai dengan konotasi negatif karena para bintang itu dinilai arogan, sulit bekerja sama, manipulatif, cerewet, dan banyak menuntut.)
Kedua, asumsikan Rendra tetap layak menerima penghargaan Sunda, benarkah tak ada lagi nama yang lebih layak menerima penghargaan yang sama, tokoh yang benar-benar memiliki peran penting dalam perkembangan budaya Sunda dan Jawa Barat?
Benar saja, sejumlah tokoh budayawan Cirebon langsung bereaksi. Mereka memprotes keras pemberian penghargaan budaya itu. Pasalnya, tidak ada satu pun tokoh Pantura yang mendapat penghargaan tersebut. Ketua Dewan Kesenian Cirebon Ahmad Syubhanuddin Alwy, misalnya, menilai, tidak adanya tokoh Pantura yang dilibatkan, bahkan tidak mendapat penghargaan tersebut, merupakan suatu tindakan marginalisasi budaya oleh pemerintah. Alwy menuding tidak adanya tokoh budaya Pantura yang diberi penghargaan ini mungkin terkait politisasi Pilgub Jabar 2008 atau terkait politisasi wacana pemisahan Pantura sehingga para penilai penghargaan lebih mementingkan unsur politis daripada ketulusan dalam penilaiannya. Alwy pun menunjuk betapa kayanya wilayah Pantura dengan seni dan budaya, misalnya tari topeng, keraton, dan tokoh‑tokoh seni budaya setempat.
Tudingan senada diungkapkan Putra Mahkota Keraton Kasepuhan, PRA Arief Natadiningrat. Menurut dia, keputusan meniadakan figur dari Cirebon terkait pelestarian budaya Sunda sangat melecehkan masyarakat Cirebon dan sekitarnya. Hal ini, kata Arief, sama saja dengan tidak mengakui Cirebon dan sekitarnya sebagai bagian masyarakat Sunda atau seolah‑olah budaya Cirebon bukan budaya Jabar.
Baik Alwy maupun Pangeran Aref mengatakan, kalau masyarakat Pantura terus dimarginalkan, apalagi sekarang sudah menusuk pada marginalisasi unsur budaya, bukan suatu halangan bagi masyarakat Pantura untuk memisahkan diri dari Jabar.
Pemberian penghargaan apa pun kerap memunculkan ketidakpuasan. Bahkan pemberian hadiah Nobel pun tak jarang dinilai terlalu memanjakan negara-negara tertentu. Bagaimanapun, pemilihan seperti ini bukanlah lomba atletik atau angkat besi yang penentuan pemenangnya bisa dilihat secara kasat mata.
Pada awal Desember lalu, sebagai perbandingan, penghargaan yang diberikan oleh Akademi Jakarta (AJ) kepada penyair Sutardji Calzoum Bachri diprotes oleh sejumlah sastrawan. Alasannya, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pernah memberikan penghargaan kepada Sutardji melalui hadiah Chairil Anwar, padahal AJ adalah lembaga yang menginspirasi lembaga-lembaga seperti DKJ. Dengan demikian, penghargaan ini dinilai sebagai pekerjaan mendulang masa lalu, involutif, serta merupakan duplikasi nilai. Jadi, menurut mereka yang memprotes, pemberian penghargaan terhadap Sutardji tidak edukatif dan tidak kondusif untuk kemajuan kebudayaan Indonesia.
Kontroversi seputar penghargaan untuk Rendra dan protes para tokoh Pantura hendaknya menjadi catatan bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Penghargaan budaya adalah pengakuan atas kerja para tokoh atau lembaga budaya. Dan memang sudah sepantasnyalah penghargaan diberikan kepada siapa dan pihak mana pun yang sudah terbukti memberikan kontribusi bagi perkembangan budaya. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya tidak melakukan blunder dalam melakukan pemilihan. Pemerintah harus melakukannya secara objektif, lepas dari unsur politis, dan merangkul semua pihak.Sebagai tambahan, pemberian penghargaan umumnya lebih menonjol nuansa simbolis dan seremonialnya. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah apa saja langkah konkret setelah pemberian penghargaan seperti itu. Pemberian penghargaan hendaknya merupakan langkah awal yang diikuti langkah lain, yaitu memberikan kesempatan dan fasilitas seluas-luasnya bagi para pelaku seni dan budaya untuk mengekspresikan potensi mereka.

1 comment:

stenote said...

Blog yang bagus... semoga terus berkembang... Saya ingin berbagi wawancara dengan Maria Callas (imajiner) artikel di http://stenote-berkata.blogspot.hk/2017/11/wawancara-dengan-maria.html