Thursday, February 7, 2008

Ucapan Terima Kasih untuk Editor

SAHABAT saya, Endah Sulwesi (seorang penulis ulasan buku di sebuah blog internet, dan belakangan di media cetak juga), beberapa waktu lalu dengan nada penuh rasa kasihan bercerita tentang peluncuran sebuah buku: “Her, nama kamu sama sekali tidak disebut-sebut oleh penulisnya. Jangankan berterima kasih, menyebut sekali pun tidak.”
Buku itu adalah sebuah memoar dan saya merasa mendapat kehormatan menjadi penyunting naskahnya sebelum diterbitkan. Meski masih muda, penulisnya memang sudah dikenal banyak orang. Peluncuran itu pun berlangsung secara mewah di sebuah hotel megah, dihadiri banyak tokoh penting, mulai dari selebritas, wartawan senior, dan tokoh pendidikan, serta diliput pers secara cukup luas.
Sehari sebelumnya, Endah sempat bertanya: “Kamu dapat undangan peluncuran buku itu?” Saya menjawab tidak. “Memangnya kapan diluncurkan?” tanya saya. “Besok,” jawab Endah.
“Bahkan dalam bukunya, di antara deretan orang yang diberi ucapan terima kasih, namamu tidak disebut-sebut,” kata Endah. Waktu itu saya memang belum melihat bukunya. Dan tulisan pengantar dari sejumlah orang serta beberapa lampiran memang di luar tugas penyuntingan saya.
“Tapi namaku sebagai penyunting tercantum, kan?” seloroh saya.
“Ya, tentu saja itu sih ada.”
Saya kurang yakin waktu itu, apakah saya merasa sedih, kecewa, atau biasa-biasa saja ketika saya berkomentar: “Ya, sudah, enggak apa-apa. Aku cuma editor, editor lepas pula, dan seorang editor biasanya memang tidak pernah banyak disebut-sebut. Editor adalah orang yang katakanlah cukup berada di belakang layar. Editor mungkin bagian penting dari sebuah proses penerbitan, tapi tak perlu berharap banyak untuk bisa dianggap sebagai berperan penting kalau dibandingkan dengan misalnya pemberi kata pengantar, apalagi penulisnya.”
Belakangan saya sempat berpikir, seberapa penting sebenarnya peran editor sehingga layak, atau tidak layak, mendapat ucapan terima kasih dari penulis buku? Tak ada pihak lain yang bisa mengukur seberapa penting peran sang editor. Apakah setelah mendapat sentuhan editor sebuah naskah akan menjadi lebih baik, sama saja, atau lebih buruk, hanya si penulis dan Tuhan saja yang tahu.
Editor, atau redaktur di sebuah media massa, berhak memoles tulisan seseorang yang hendak dimuat. Pembaca nyaris tak pernah tahu apakah tulisan yang kemudian dimuat itu lebih baik, atau lebih buruk, daripada tulisan aslinya. Pembaca hanya tahu tulisan itu karya si penulis dan hampir pasti tidak berpikir sejauh mana peran si redaktur. Redaktur, sekali lagi, hanyalah orang yang ada di belakang layar. Sebagai tambahan, kalau tulisan itu menjadi lebih baik, belum tentu si penulis mengucapkan terima kasih. Sebaliknya, kalau tulisan itu menjadi lebih buruk (setidaknya menurut sudut pandang si penulis), si penulis pasti marah-marah, setidaknya bersungut-sungut. Jangan lupa, banyak penulis kita yang enggan tulisannya diedit meskipun sekadar titik atau koma.
Pada proses penerbitan buku pun, editor harus berperan untuk memoles sebuah naskah menjadi buku yang baik. Baik di sini, tentu saja, bukan hanya persoalan titik dan koma, tapi juga—diharapkan—sukses di pasaran. Bersama penulis, layouter, dan marketer, editor tergabung dalam sebuah tim yang menentukan sukses sebuah buku. Karena itu, editor harus memiliki kemampuan tidak hanya pada titik-koma atau pengetahuan kata baku dan tidak baku. Menurut Bambang Trimansyah, seorang praktisi perbukuan, editor semestinya profesi yang serba bisa, yaitu punya kemampuan sebagai problem solver, decision maker, public speaker, serta effective people.
Sayangnya, memang, belum banyak editor penerbitan di Indonesia yang memiliki kemampuan serba bisa seperti itu. Sapardi Djoko Damono pernah mengatakan bahwa editing merupakan salah satu kelemahan terbesar penerbit di Indonesia. “Tidak pernah ada editing yang sungguh‑sungguh. Saya sering bilang, editor itu seharusnya lebih pintar dari pengarangnya karena ia harus mengolah kembali naskah dari si pengarang itu. Misalnya kita diminta menerjemahkan, karena diminta, kita mengerjakannya cepat sekali. Nah, tugas editorlah yang kemudian menjadikannya sebagai karya yang benar‑benar bagus untuk diterbitkan,” kata sang penyair.
Tentang kerja editor ini, Sapardi punya pengalaman yang cukup baik dengan editor penerbit Obor yang menerbitkan terjemahannya, Amarah karya John Steinbeck. “Kalau ada hal‑hal yang mengganggu dalam terjemahan saya itu, si editor menghubungi saya. Kadang menanyakan soal konsistensi penulisan. Saya senang dengan proses seperti itu. Soalnya, hasil terjemahan itu kan tidak untuk saya. Saya menerjemahkan untuk orang lain, pembaca, karena itu orang lain harus bisa baca,” kata Sapardi.
Menurut saya, editor memang perlu terus-menerus berkomunikasi dengan penulis. Penulis pastilah bukan nabi, yang nyaris tak melakukan kesalahan. Dan tugas editorlah untuk menemukan kesalahan, kemudian memperbaikinya, tentu atas perkenan sang penulis.
Ketika menyunting sebuah naskah novel, editor mestinya tak segan-segan memberikan usulan perbaikan kalau sekiranya menemukan kesalahan atau kekurangan, lebih-lebih jika berkaitan dengan logika. Banyak novel Indonesia yang ceritanya tidak masuk akal. Dan, menurut saya, editor turut menyumbang terhadap terbitnya karya yang ceritanya tak masuk akal itu.
***
NAH, nyaris secara iseng saya membuka-buka sejumlah buku. Yang pertama adalah salah satu best seller yang tentu tak asing lagi bagi para penggemar buku, yakni Da Vinci Code karya Dan Brown. Beginilah Brown menulis pada bagian awal buku itu: “Pertama-tama dan yang utama, bagi sahabat dan editorku, Jason Kaufman, karena bekerja amat berat untuk proyek ini, dan terima kasihku untuk pemahaman yang sungguh-sungguh pada makna dari buku ini.” Setelah itu, barulah Brown menghaturkan ucapan terima kasih untuk agennya, tim risetnya, dan seterusnya.
Kemudian saya membuka buku Memoirs of a Geisha. Di bagian akhir bukunya ini, Arthur Golden pertama-tama memberikan ucapan terima kasih kepada Mineko Iwasaki, seorang geisha top Gion tahun 1960 dan 1970-an. Kemudian kepada istrinya, Trudy. Lalu, “Robin Desser dari Knopf adalah jenis editor yang diimpikan setiap pengarang: penuh gairah, berwawasan luas, bertanggung jawab, selalu siap membantu—dan lagi pula sangat menyenangkan.” Baru kemudian ia berterima kasih kepada agen, sahabat, dan seterusnya.
Dalam Spring Moon, Bette Bao Lord mengucapkan terima kasih “Untuk Orang tua Cina dan Amerika-ku, suamiku, Winston Lord, dan editorku, Corona Machemer. Untuk segala kebaikan yang takkan terbalaskan.”
Sonia Nazario, pemenang Pulitzer 2003 melalui buku Enrique’s Journey, mengakui dalam bukunya itu bahwa ia tak akan mampu mengerjakan buku ini tanpa dukungan para editor Los Angeles Times, surat kabar yang pertama kali memuat tulisan bersambung Enrique’s Journey, yang menjadi dasar buku ini. Ia mengungkapkan terima kasihnya yang pertama untuk Rick Meyer dan John Carroll, dua editor LA Times. Kemudian, di penerbit Random House, “saya ingin berterima kasih kepada editor saya, Dan Menaker, yang masukan dan kegairahannya untuk buku ini membuat setiap bagian dari cerita ini lebih baik, dan editor Stephanie Higgs serta editor produksi Evan Camfield atas kehati-hatian yang mereka tunjukkan dalam bekerja untuk membuat yang terbaik dari masing-masing bagian buku.”
Banyak buku lain, terutama buku terjemahan, memuat ucapan terima kasih yang sama. Buku-buku karya penulis Indonesia, di pihak lain, tak banyak yang memuat ucapan serupa. Yang menarik, beberapa di antara buku penulis kita memuat kata pengantar dari orang-orang penting, termasuk pejabat. Tapi ini soal lain. Di antara sedikit penulis yang mengucapkan terima kasih buat editor bukunya adalah Dewi Lestari (Dee). Dalam Supernova, Akar, Dee berterima kasih kepada sederet banyak orang, kemudian kepada “Erwinthon Napitupulu, editor saya yang teliti dan membangun.” Setelah itu kepada sahabat dan teman kerja.Mengucapkan terima kasih, tentu saja, bukanlah sebuah keharusan, melainkan sekadar menunjukkan apakah seseorang bisa bersikap rendah hati atau tidak, mengakui atau tidak bahwa ia memiliki sejumlah keterbatasan.

No comments: