Friday, February 1, 2008

Pwahaci Rababu

Cerpen ini dimuat di harian Pikiran Rakyat hari ini, Sabtu, 2 Februari 2008. Cerpen ini kumaksudkan merupakan petikan dari sebuah cerita panjang. Novel lah. Versi yang dimuat bisa disimak di http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=beritadetail&id=10383



GALUH, tahun 582 Saka.
Jalantara melangkah pelan seperti kucing, menyelinap waspada di antara bayangan gelap tiang-tiang ruang tengah. Langkah kakinya seringan kupu-kupu dan telapak kakinya sehalus kapas menapaki lantai kayu.
Yang membuat langkahnya terhambat bukanlah rasa takutnya akan menimbulkan bunyi sepelan apa pun di tengah kesunyian malam yang tengah mencapai puncaknya. Sebagai lelaki yang kemampuannya sudah hampir mencapai sempurna, ia bisa membuat kesunyian tetaplah kesunyian. Yang membuatnya harus berkali-kali menahan langkah adalah bunyi debar di dadanya.
Usianya sudah lewat dari pertengahan tiga puluhan. Namun selalu saja ia tak mampu meredam gejolak di dadanya setiap mengenang wajah Nay Pwahaci Rababu. Sudah belasa tahun. Semenjak ia dengan dada yang membara menatap sang dewi bersanding di pelaminan dengan kakaknya sendiri.
Di pelaminan itu, ia ingat, Pwahaci Rababu tampak bersinar dalam kemudaan dan kecantikannya. Bersinar seperti purnama. Karena itu Jalantara lebih suka menyebut namanya Wulansari. Jalantara membayangkan seperti itulah wajah Sinta. Di sebelahnya, duduk kaku kakaknya sendiri, Sang Jatmika, dengan wajah yang entah kenapa tampak begitu suram dan tua. Jalantara tak tega membayangkan kakaknya sebagai, misalnya, Dasamuka. Namun tentu saja terlampau mengada-ada kalau ia membandingkannya dengan Rama. Bibirnya selalu mengerut seperti lelaki renta. Kakaknya memang sudah kehilangan banyak giginya sehingga nyaris semuanya tanggal. Dan ayah mereka sendirilah yang memanggil kakak sulungnya dengan nama Sempakwaja.
Ah, mengapa bukan dia yang bersanding dengan Pwahaci Rababu? Ia pernah bertanya kepada sekian orang di istana. Jawabannya selalu sama: anak ketiga tak mungkin bersanding lebih dulu.
Mengapa harus dengan Rababu? Apakah ada kesepakatan di antara Sang Rajaresi Wretikandayun dengan Resi Kendan, ayah Rababu? Atau sekadar kecurangan Sempakwaja yang telah menculik sang putri?
Ia tak hendak memuji diri sendiri bahwa dialah yang sesungguhnya pantas dianggap sebagai Ramawijaya, satu-satunya lelaki yang berhak beristrikan Sinta. Jalantara lelaki yang tampan. Orang-orang berkata demikian. Mereka bahkan menyebut bahwa kulitnya bercahaya. Seperti kulit yang diselaputi minyak. Karena itu ia mendapat nama lain Mandiminyak.
Meski hanya sekilas, Jalantara ingat, tatkala duduk di pelaminan, Pwahaci Rababu sempat menatapnya dan ia menatap balik perempuan itu. Mereka bersitatap dan dada Jalantara diselimuti gelenyar yang sangat membahagiakan. Jagat seperti memusat pada diri mereka berdua. Tak ada orang lain, apalagi sekadar Sang Jatmika, kakaknya.
Berapa usia Pwahaci Rababu sekarang? Paling tinggi barulah tiga puluh. Namun, jarak waktu belasan tahun, dan dua anak lelaki yang beranjak remaja, tidak membuat Pwahaci Rababu kehilangan cahayanya.
Di tengah pesta perjamuan utsawakrama tadi, Pwahaci Rababu masih tetap menjadi pusat cahaya yang memancar gemilang ke seluruh ruang. Usia seperti tak pernah beranjak dari belasan tahun yang lalu. Tubuhnya tampak tetap semampai meski dibalut busana yang menutupi hampir seluruh tubuhnya, hanya menyisakan dua bentuk tangan yang langsat dan sejenjang leher yang mengilat, serta rambut separuh mengurai karena hanya sebagian yang diikat dengan pita ungu dan berselip seuntai melati putih.
Pwahaci Rababu seakan memiliki kecantikan abadi. Seperti Dayang Sumbi. Seperti para dewi di langit tinggi.
Duduk berseberangan dalam perjamuan, mata Jalantara tak juga lepas dari wajah Pwahaci Rababu. Berkali-kali pula mata sang Pwahaci menatapnya. Keduanya saling tatap seperti belasan tahun yang lalu. Seperti dulu, dada Jalantara berdebar kencang. Dan seperti dulu, jagat terpusat pada diri mereka.
Bertahun-tahun ia memimpikan perempuan itu. Tentu saja tak mungkin: dia adalah kakak iparnya sendiri. Bertahun-tahun ia berusaha mencari perempuan yang sebanding dengan Pwahaci Rababu. Bukan hal yang sulit baginya, sebagai seorang putra mahkota, untuk menginginkan siapa pun perempuan di segenap pelosok negeri ini. Namun ia tak pernah menemukannya. Pwahaci Rababu adalah satu-satunya di dunia. Karena itu, bertahun-tahun ia belum juga menemukan perempuan yang bakal menjadi istrinya, mendampinginya dalam suka dan duka hingga nanti menjadi raja tanah Galuh.
Jalantara tak pernah membayangkan bahwa mimpinya akan menjadi nyata dengan cara yang begitu sederhana.
Atas persetujuan sang ayah, Rajaresi Wretikandayun, Jalantara mengadakan pesta perjamuan di istana Galuh. Namun secara resmi, ayahnya sendirilah yang menjadi pengundang. Ia memang menyukai pesta. Setidaknya, ia menyukai kegembiraan dan keramaian. Berbeda dengan dua kakaknya, Sang Jatmika dan Sang Jantaka, yang lebih suka hidup menyepi mendalami sisi kehidupan ruhani. Ia tidak tahu apakah kedua kakaknya benar-benar hidup hanya untuk agama atau karena mereka tak lagi punya hak atas takhta karena keterbatasan jasmani mereka. Jatmika cacat karena tak lagi bergigi, sedangkan Jantaka menderita kemir, sebuah penyakit yang cukup membuat nista sebagai pria. Keduanya pun tak mungkin menjadi yuwaraja (putra mahkota) sebagai calon pengganti Sang Wretikandayun. Sempakwaja kemudian menjadi Resiguru di Galunggung, yang membawahkan sejumlah kerajaan kecil, dan mendapat gelar Batara Danghiyang Guru. Adapun Jantaka menjadi resiguru di Denuh, dekat sebuah telaga di kawasan Galuh Selatan, dan mendapat gelar Resiguru Wanayasa atau Rahiyang Kidul.
Jalantara sendiri kemudian tidak hanya menjadi yuwaraja yang hanya menunggu saatnya memegang takhta. Ia sudah menjadi wakil raja, menguasai sejumlah menteri dan pejabat istana, dan menjadi pimpinan angkatan bersenjata Galuh.
Perjamuan diadakan bertepatan dengan bulan purnama. Tiap tahun sebenarnya ia selalu merayakan tanggal ini, tanggal kelahirannya. Ia memang lahir di malam purnama, tiga puluh enam tahun yang lalu. Namun kali ini istimewa, karena ia ingin semua pembesar di negeri ini hadir. Semua pembesar dan pemuka Galuh, termasuk para penguasa kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Galuh, hadir dalam perjamuan meriah ini. Semua mendapat undangan resmi, termasuk Sang Sempakwaja. Namun kakaknya itu berhalangan hadir karena sedang sakit. Mengingat undangan itu datang dari ayahnya, Sempakwaja mengutus istrinya untuk mewakili.
Dan Pwahaci Rababu datang sendiri, hanya diiringi beberapa dayang dan pengawal. Dua anaknya, Purbasora dan Demunawan, lebih suka merawat dan menunggui ayahnya yang sakit dibanding datang ke pesta kakek mereka.
Jalantara tak pernah merencanakannya. Barangkali alam semestalah yang telah mengaturnya, pikir Jalantara. Ia tak tahu kakaknya sakit. Ia tak menyangka Pwahaci Rababu akan datang sendiri. Ia juga tidak sengaja menempatkan diri dan semua tamunya sedemikan rupa sehingga ia berhadapan di meja perjamuan dengan Pwahaci Rababu. Dan keduanya berkali-kali bertukar tatap.
Nyaris tak ada kata yang terucap. Mata merekalah yang bercakap-cakap.
Ketika dadanya bergolak oleh sebuah hasrat, Jalantara tak bisa lagi menikmati riuh bunyi gamelan dan lenggok gemulai para penari. Musik dan kecantikan para penari lenyap oleh satu-satunya kecantikan sejati, Pwahaci Rababu.
Jalantara benar-benar terlempar ke masa belasan tahun yang silam. Ia jatuh cinta. Ia tenggelam dalam jalinan asmara. Ia tergila-gila dalam pusaran sebuah smarakarya. Cinta yang tak lagi peduli tatasusila.
Ah.
Istana senyap. Para tamu sudah masuk ke kamar masing-masing. Hanya tinggal beberapa orang yang harus berjaga sembari membereskan bekas-bekas perjamuan.
Di taman yang terbuka, bayangan rumpun cempaka jatuh tegak lurus tertimpa purnama yang bertengger di puncak langit.
Ia sejenak ragu-ragu sebelum mengetuk pintu.
Sangat pelan.
Sekali. Dua kali. Tak ada suara apa pun dari dalam kamar.
Tiga kali.
“Wulan…”
Pintu terbuka perlahan. Mula-mula hanya bidang kecil, makin lama makin lebar, dan seraut wajah memancarkan cahaya dari dalam sana. Wajah yang selama ini diimpikannya.

2

PERJAMUAN itu berlangsung tiga malam, ketika bulan bulat menghias langit. Bukankah pesta tak pernah cukup kalau hanya semalam? Namun Pwahaci Rababu tinggal semalam lebih lama dibanding pestanya.
Mengapa dia tak langsung pulang ketika pesta telah usai? Pwahaci Rababu tak bisa menjawab pertanyaan seperti ini. Atau mungkin dia ingin mengingkarinya. Tak ingin mengakuinya. Dia hanyalah perempuan, dan perempuan tak terbiasa banyak membuat pertimbangan dengan kepalanya.
Apakah hatinya terpikat oleh Sang Mandiminyak? Dia ingin menggeleng untuk membuang perasaan seperti itu. Namun perasaan memang bersumber dari dalam dada, bukan dalam kepala. Belasan tahun lalu, dia sudah terpikat oleh ketampanan dan sorot mata tajam Jalantara. Belasan tahun lalu, ketika dia harus bersanding dengan seorang lelaki asing. Lelaki yang baru saja dikenalnya.
Dia tengah tenggelam hingga separuh dada di telaga bersama kedua teman perempuannya ketika dia baru sadar bahwa pakaiannya sudah tak ada. Apakah kedua temannya itu sedang mempermainkannya?
“Jangan bercanda. Mana bajuku?” tanya Wulansari.
Kedua temannya menggeleng. Wajah mereka tidak menunjukkan bahwa mereka sedang bercanda. Lagi pula, Wulansari pun tahu bahwa sejak semula mereka tak pernah beranjak dari kesejukan air semenjak sama-sama menanggalkan busana dan menyampirkannya di atas gerumbul perdu di pinggir telaga. Hampir satu jam mereka bermain air, menciprat-ciprat, menyelam, saling membandingkan kehalusan kulit mereka, dan menentukan payudara siapa yang paling besar.
Kini busana itu hanya tinggal dua. Tak ada lagi miliknya. Mana mungkin busananya lenyap tanpa sebab? Ketika kedua temannya sudah kembali berbusana, dia masih tenggelam di telaga.
Tiba-tiba dia ingat akan sebuah dongeng yang pernah diceritakan ayahnya, Sang Resi Kendan, tentang si bungsu dari tujuh bidadari yang tertinggal di telaga karena selendangnya dicuri seorang lelaki.
“Tolong carikan, ya,” pintanya memelas. Wajahnya pias.
Kedua temannya hanya bisa berputar-putar di sekitar, tanpa bisa menemukan apa yang mereka cari. Juga ketika mereka mencoba mencarinya lebih jauh dari telaga. Busana itu seperti lenyap di udara. Siapa yang tertarik busana sederhana itu? Bukan selendang warna-warni milik para bidadari. Hanya kain putih tanpa jahitan, yang biasanya pun sekadar dililitkan pada tubuhnya. Sama sekali tak bernilai walaupun sekadar untuk menjadi bahan curian.
Satu jam lebih mereka berputar-putar mencari kain Wulansari.
Gadis itu mengeluh dalam hati. Tentu saja tak mungkin dia pulang tanpa busana. Jarak dari telaga ke rumahnya ada ribuan langkah kaki. Apa nanti kata orang-orang? Dia bukan lagi gadis kecil. Dia sudah merasa dewasa. Payudaranya sedang tumbuh menuju kemekarannya, meskipun bukan yang terbesar di antara ketiga gadis muda itu.
“Duh, Hyang di langit tinggi, tolong hamba ini. Kembalikan kain hamba. Kalau ia perempuan, biarlah ia menjadi saudaraku. Kalau ia laki-laki, aku rela menjadi istrinya,” bisik Wulansari.
Entah dari mana kalimat itu muncul begitu saja di kepalanya. Apakah karena dia terlalu banyak mendengarkan dongeng dari ayah atau ibunya? Dan dia terkejut sekaligus menyesal. Bagaimana kalau yang datang kemudian adalah seekor anjing dengan pakaian di moncongnya? Namun dia tak bisa lagi menarik kata-kata yang sudah terucap.
Wulansari tengah mengusapkan air di wajahnya ketika terdengar sapaan bersuara berat.
“Ternyata tepat dugaanku.”
Wulansari cepat mendongak.
“Cantik sekali.”
Wulansari cepat menutupi kedua dadanya yang terbuka dengan tangannya. Wajahnya memerah, bukan oleh rasa malu, melainkan oleh rasa marah.
“Siapa kamu? Kurang ajar! Kembalikan pakaianku!”
Lelaki itu tertawa dengan suara yang aneh. Di tangannya tergenggam kain putih milik Wulansari.
Wulansari terpana. Mulut lelaki itu sama sekali tak bergigi. Mungkin karena itulah suara tawanya terdengar tak seperti orang-orang lain tertawa.
“Aku akan mengembalikan pakaianmu, dan aku laki-laki.” Lelaki itu tertawa lagi, memperlihatkan gua gelap dalam mulutnya yang mengerikan.
“Lelaki kurang ajar! Aku tadi cuma bercanda.”
“Ha-ha-ha! Bahkan para penghuni langit pun bisa mendengar suaramu. Dan janji seperti itu tak bisa ditarik. Apakah kau ingin menderita seumur hidupmu karena melanggar sumpah terhadap dewata?”
Wulansari mengeluh untuk kedua kalinya. Dia mengakui, manusia memang tak bisa main-main dengan kalimat sumpah.
Kalau saja lelaki itu mirip dengan lelaki dalam dongeng…
“Sudahlah, Nyi. Pakailah kain ini. Aku akan memboyongmu ke tempatku.”
Wulansari sekali lagi menatap wajah lelaki itu dengan sorot penuh penyesalan.
“Tentu saja aku akan lebih dulu melamar pada ayah-ibumu.”
Itu terjadi belasan tahun yang lalu. Ya, kalau saja lelaki yang mengambil kainnya itu adalah Sang Mandiminyak, adik bungsu lelaki yang bersanding dengannya tak lama kemudian…
Tatapan tajam Mandiminyak masih tetap seperti belasan tahun yang lalu, ketika diam-diam dia melirik dari tempat duduk di pelaminan. Dan Wulansari, yang kemudian lebih dikenal dengan nama Pwahaci Rababu, selalu tak bisa menahan gejolak hatinya. Terasa ada sengat aneh yang selalu membiusnya.
Belasan tahun dia tak bisa melupakan sorot mata tajam itu. Belasan tahun dia menghabiskan malam-malam dengan mata terpejam, membayangkan bahwa lelaki yang selalu berada di pelukannya adalah Jalantara.
Oh, para dewi dan pohaci, ampunilah hamba… Mengapa kalian tumpahkan perasaan indah ini dalam situasi yang rumit?
Ini bukan cinta yang seharusnya dan dia tak hendak menyelam di dalamnya. Namun apa daya? Dia selalu luluh seperti kapas tertiup angin. Terbang menuju sebuah tempat asing yang selalu dia dambakan.
Pwahaci Rababu mencoba mengingat-ingat, barangkali dia pernah mendengar kisah, hikayat, atau dongeng seperti yang dia alami saat ini. Dia menggeleng. Dia akui, pengetahuannya akan dunia pasti terlalu sederhana, tapi dia yakin bahwa di negeri ini belum pernah dia dengar perempuan dengan derita asmara seperti yang melandanya.
Boleh jadi, dialah yang pertama.
Ya, dia menderita, sekaligus bahagia.
“Jadilah permaisuriku. Hanya kau yang layak mendampingiku di istana ini,” bisik Jalantara pada malam keempat dia berada di istana Galuh.
Pwahaci Rababu tersenyum dengan sudut-sudut mata yang basah.
“Senang sekali aku mendengarnya…”
“Apakah itu berarti bersedia?”
“Sayang tidak. Aku punya dunia sendiri, dan kau memiliki dunia yang lebih gemilang. Temukanlah perempuan yang lebih pantas menjadi bunga negeri ini.”
“Kaulah yang paling pantas.”
“Bukalah matamu, edarkan tatapmu, lihatlah luasnya langit. Negeri ini jauh lebih luas daripada sekadar sampai aliran Citanduy atau puncak Galunggung.”
Air mata Pwahaci Rababu membasahi dada telanjang Jalantara. Apakah empat malam di istana Galuh akan menjadi dosa asal bagi keturunannya?
Di luar, bulan yang tak lagi bulat tampak pucat.
***

No comments: