Monday, January 28, 2008

Lurah Sajir dan OTB

Soeharto dan berbagai peristiwa dalam era pemerintahannya memberikan banyak gagasan bagi penulisan fiksi. Pada zaman itu, sangat sulit mengungkapkan kebenaran. Jurnalisme bungkam, kata Seno Gumira, maka sastra harus bicara.
Ada sejumlah cerpenku yang juga diilhami Soeharto. Di antaranya yang berikut ini. Judulnya Lurah Sajir dan OTB, dimuat di Suara Pembaruan, 26 Mei 1996.


KETUKAN lemah di pintu ruang kantornya mengagetkan Lurah Sajir. Entah kenapa, akhir-akhir ini jantungnya lekas sekali berdegup kencang.
Punten!”
Pak Kebayan membukakan pintu.
Mangga, mangga…”
Lurah Sajir mengusap keringat di keningnya.
Adut, lelaki kecil dan kurus itu! Belum tiga puluh, masih bujangan, sarjana ekonomi, tapi belum punya pekerjaan. Konon, ia lebih banyak membantu ibunya mengelola warung kecilnya. Sekilas memang cuma lelaki biasa.
Tapi ini! Entah siapa yang meniupkan, seperti angin, kabar itu cepat menyebar: Adut berhasrat jadi lurah pada pemilihan mendatang. Walah, anak bau kencur ingusan begitu! Kalau diurut-urut, kamu itu masih terhitung cucuku! Pengalamanmu baru sedangkal Cibogo!
Selama tiga windu ini, boro-boro menantang Lurah Sajir, sekadar adu pandang saja tak ada yang berani. Siapa yang berani! Dialah dulu tak lama setelah zaman kacau yang dengan gagah berani melawan kekuasaan si congkak Durno. Lurah lama yang mata keranjang, merasa diri paling ganteng, suka menggoda perawan dan janda bahenol (konon punya dua istri simpanan di kampung lain).
Juga suka menyengsarakan rakyat. Minta upeti seperti raja-raja zaman baheula. Lurah yang menurut Sajir golongan kiri. Sajir pula yang menyulut sebuah predikat paling menakutkan saat itu, ah, bahkan sampai kini.
“Durno pernah terlibat PKI! Durno PKI!”
Dengan heroik Sajir menantang Durno berkelahi satu lawan satu. Tentu saja Durno keder. Siapa tak kenal jawara Sajir, jagoan yang masa mudanya habis untuk berkelana ke Cirebon, Tegal, Sumedang, Garut, sampai Banten. Jurus-jurus macam Cimande dan Cikalong bisa dia gunakan sambil merem. Cuma, lantaran harga diri merasa terinjak-injak dicap PKI dan ditantang terus-menerus, Durno melayaninya. Jelas bukan lawan yang sepadan. Baru dua tiga jurus, bertekuk lututlah dia.
Sajir dielu-elukan pemuda. Diangkat-angkat tubuhnya seperti pencetak hattrick ke gawang musuh. Diarak sepanjang jalan kampung sebagai pendekar penumpas angkara. Secara aklamasi, Sajir, yang SR pun tak tamat, jadi lurah baru. Yang kemudian dilakukannya, carik diganti. Kebayan diganti. Ulu-ulu juga. Semua untuk kerabat sendiri. Ya, jadi pahlawan jangan tanggung-tanggung. Agar pembangunan lancar, semua yang tak sepaham mesti dibungkam. Hanya kerabat sendiri yang bisa diajak bekerja sama.
“Wah, ada angin apa, Nak?”
“Ini, Pak Lurah. Ada sedikit keperluan.”
“Ya, ya… silakan duduk.”
“Katakanlah ada semacam dorongan impulsif untuk menyuarakan barang satu-dua aspiratif yang tengah berkecamuk di kalbu sebagian penduduk kampung kita tercinta ini.”
Lurah Sajir menggeser duduknya. Merogoh kantong celananya, mencari saputangan.
“Ya, ya… yang jelas saja, Nak Adut.”
“Oh, mohon beribu maaf, Pak Lurah. Begini. Menurut opini subjektif saya, dalam sekitar dua puluh lima tahun kepemimpinan Pak Lurah Sajir, kampung kita berkembang maju. Dua kali juara lomba desa tingkat kabupaten, wow, bukan main. Sepakbola dan voli sering mendominasi kejuaraan Pordes tingkat kecamatan. Klompencapirnya juga maju sekali. Program pemberantasan buta huruf sukses. Banyak pelajar kita yang berhasil jadi sarjana.”
“Ah, itu kan berkat kerja sama kita semua.”
“Listrik telah masuk desa. Koran apalagi. Rumah-rumah penduduk berubah jadi mentereng dan terang benderang. Pakai beton segala. Banyak petani yang bisa beli televisi berwarna. Tip rekorder di mana-mana. Sepeda motor berseliweran. Kantor kelurahan ini pun begitu megah. Ada ruang serbaguna yang bisa untuk keperluan apa saja, termasuk bermain badminton. Taman di depannya sangat asri, dengan rumput manila dan bunga-bunga anggrek serta lampu hiasnya. Sungguh sedap dipandang mata.”
“Ah, itu kan berkat partisipasi rakyat.”
“Tapi…”
“Ya!”
“Selain itu, sekarang jalan-jalan dan gang-gang pada berlubang. Selokan macet. Kalau hujan, air mampet dan banjir. Jembatan Cibogo hampir runtuh. Bangunan SD Inpres nyaris ambruk. Pembangunan mesjid tidak tahu kapan selesainya. Hutan di bukit sebelah barat nyaris gundul. Sawah-sawah makin habis. Angka kriminalitas meningkat. Makin banyak terjadi pencurian. Bahkan ada anak kecil jadi korban perkosaan.”
“Ya, belum semua tertangani…”
Lurah Sajir menghapus lagi keringat di wajahnya. Rambut dan gumpalan kumisnya yang kelabu seperti layu, punggungnya kian membongkok.
“Ya, tentu tak ada manusia yang sempurna, termasuk saya dan Pak Lurah. Masalahnya, bukan tak mungkin terjadi depiasi dalam cara-cara Pak Lurah memanajemen kampung kita. Barangkali sudah terjadi akumulasi powership yang operdosis. Seperti kata orang sana power tends to corrupt.”
“Wah, saya kurang paham…:
Mulai terasa denyutan pada urat-urat di kepalanya.
“Tampaknya makin banyak terjadi mismanajemen, tapi tak mau diakui. Contohnya kasus Wahab dan kawan-kawan.”
“Pengacau pembangunan itu, ya?”
“Mereka bukan pengacau, Pak Lurah.”
“Tapi sikap mereka itu jelas bisa diartikan melawan pemerintah.”
“Bukan melawan, kok, Pak Lurah. Mereka cuma mau minta ganti rugi yang wajar. Bukan ganti untung, lho, Pak. Tanah semeter no ceng, kan, tak sepadan lagi dengan akselerasi harga-harga. Mana inplasi sudah dua dijit. Depresiasi rupiah terhadap dolar terus berlangsung. Dengan harga nominal serendah itu, mereka mau beli apa? Buat substitusi perut juga tak representatif.”
“Aduh, ngomongnya kok tambah njelimet!”
Makin pening kepalanya, perut bagai diaduk mikser.
“Belum lagi tempat berteduh. Mereka mau tinggal di mana nanti? Tanah lain tak ada. Katanya pembangunan untuk kepentingan umum. Siapa umum itu, Pak Lurah! Bikin real estat, kan, untuk beberapa gelintir elite saja, baik elite politis maupun elite ekonomis.
Coba Pak Lurah pinjemin tuh tanah bengkok, buat mereka bikin gubuk dan sedikit menanam hortikultura. Pasti nggak boleh, kan! Kalau gitu, mereka sungguh putureles, lho, Pak Lurah. Tuh, dua anak Kang Wahab nangis karena bakal kehilangan cita-cita. Istrinya meratapi peruntungan yang gradiennya konstan negatip…”
“Wah…”
“Apakah Pak Lurah tidak bisa sedikit turut berempati terhadap nasib mereka yang seperti jatuh terpuruk ke dalam sumur tanpa dasar? Apakah dalam hal ini telah terjadi kolusi antara elite kekuasaan dan elite bisnis, setidaknya pada level kelurahan? Atau apakah aparat tingkat kelurahan hanyalah wayang-wayang tak bernurani yang digerakkan oleh dalang-dalang mahasakti yang tak bisa dijamah?”
“Sudah, sudah! Pusing saya…”
Adut diam. Lurah Sajir bingung mau berkata apa. Keringat mencucuri wajahnya. Ia melirik Pak Carik dan Pak Kebayan. Keduanya serentak menegap-negapkan dada mereka. Akhirnya, Lurah Sajir bangkut dari kursinya.
“Begini saja. Siapa sebenarnya yang jadi beking kamu?”
Adut memandang Lurah Sajir dengan kening berkerut.
“Nggak ada, Pak Lurah. Sumpah, ini murni inisiatip saya sendiri. Soalnya saya merasa konsern dengan nasib dan masa depan mereka. Sudah pantas hal itu diperjuangkan.”
“Tak mungkin. Kamu begitu berani. Pasti ada oknum kuat di belakang kamu. Pak Camat? Danramil? Bupati?”
“Tidak, ini murni buah pemikiran saya, sebagai masukan buat Pak Lurah. Demi kebaikan kita semua.”
“Omong kosong!”
“Sumpah, Pak Lurah!”
“Sumpah, sumpah!”
Kini Lurah Sajir berkacak pinggang.
“Atau kamu OTB?”
Kali ini Adut terdiam menatap Pak Lurah dengan kening makin berlipat-lipat. Lurah Sajir menyeringai.
“Ya, bener kan, OTB? Lihat, Pak Carik! Lihat, Pak Kebayan! Bener nggak dugaan saya. Pasti bener. Anak muda ini pasti termasuk OTB. Kelihatan sekali dari caranya ngomong. Nggak jelas juntrungannya. Memang begitulah ciri OTB, suka memutarbalikkan fakta. Suka mengada-ada. Niat pembangunan malah dicurigai yang enggak-enggak. Ngomong seperti cuma dirinya sendiri yang bener. Orang lain semua salah! Dan, beraninya dia ngomong begitu sama aparat pemerintah.”
“Pak Lurah…”
“Pak Carik dan Pak Kebayan mau kan jadi saksi? Bagus. Di sini kita temukan seorang OTB. Nanti kita umumkan ke masyarakat.”
“Pak Lurah, ampun! Saya bukan OTB! Sumpah!”
Kecemasan membayang jelas di wajah Adut. Posisi Lurah Sajir kini di atas angin. Ia tertawa penuh kemenangan.
“OTB ya OTB saja!”
“Pak Lurah, sungguh, saya bersedia menarik semua kata-kata saya. Saya juga tak akan mencalonkan diri menjadi lurah, asalkan Pak Lurah tidak menganggap saya OTB. Sumpah mati, saya hanya anak muda biasa. Sama sekali bukan OTB…”
Sepeninggal Adut, Lurah Sajir kembali tertawa lepas. Pak Carik dan Pak Kebayan saling pandang.
“OTB, Pak Lurah?”
“Ya, Otak Tidak Beres!”
Tawa Lurah Sajir meledak lagi.
***

No comments: