Sunday, January 20, 2008

Air Mata Asih

ASIH menangis. Pipi putihnya dibelah sebutir air bening, ada sebagian pupur yang terhapus, menyusuri tepi bibirnya, lalu menggantung sejenak di dagunya yang runcing, mengilat disentuh cahaya neon, sebelum akhirnya menitik di gaun kebaya hitam pengantinnya. Aku yakin, di sisi sebelah sana, sebutir air bening serupa juga bergulir.
Kutatap tepi matanya lembut.
“Kenapa?” tanyaku berbisik.
Asih menggeleng. Ia tak berusaha menghapus jejak aliran air matanya. Ia seolah membiarkannya mengering sendiri. Mukanya tertunduk. Dari pinggir semakin tegas bahwa ia memang memiliki wajah menarik. Saat itu aku barulah tahu, hidungnya panjang dan bagus, mengingatkanku pada ukiran wayang golek. Lekukan dari dagu ke leher makin menegaskan kemudaannya.
Sesaat keringat terasa serentak membasahi kening, kuduk, dan punggungku. Perasaan bersalah mulai kembali mengoyak-ngoyak.
Kuambil saputangan di tempat duduk pelaminan. Kugeserkan tubuhku dan kucoba menghapuskan bekas air matanya. Tapi Asih menghentikan gerakanku dengan tangannya. Dengan telapak tangannya. Telapak tangan yang tak terlalu halus.
Asih menatapku dengan sudut matanya. Hanya sepersekian detik saja, matanya turun lagi. Aku belum bisa menerjemahkan arti sebutir air matanya yang sempat bergulir. Tetapi aku berharap tatapannya yang hanya sepersekian detik bukanlah manifestasi kebencian. Gusti, siapa mau memperoleh bencana kebencian di saat yang justru seharusnya kita mendapat anugerah kebahagiaan?
Hiasan janur dan buah-buahan berdiri solah menjadi pengaping. Satu di kanan dan satu di kiri. Ruang tengah masih pikuk oleh kerabat. Satu dua wajah kukenal baik. Ibu duduk di tikar, berbincang dengan ibunya Asih dan beberapa perempuan sebaya lainnya, membentuk setengah lingkaran, dengan aku dan Asih hampir berada di titik pusat. Beberapa kali kutangkap pandangan ibuku. Beberapa kali pula ia menyiratkan senyum tipis yang berusaha dibagikannya kepadaku dan Asih.
Ah, ibu.
Kamu masih juga ingin mengecewakan ibumu? Masih suka dengan kesendirian? Tanya ibuku dalam suratnya beberapa waktu lalu. Pertanyaan yang selalu diulangnya.
Aku belum siap, jawabku waktu itu.
Ibu tidak pernah memaksamu untuk segera siap. Yang ibu ingin adalah agar kamu tak menjalani hidup tidak secara layaknya orang lain. Ibu tak ingin kamu macam-macam. Ah, apa bedanya, pikirku.
Jangan kecewakan ibumu dan almarhum ayahmu, kata ibu pula.
“Wah, Ibu ini. Kok ya begitu saja menyodorkan calon pasangan buatku,” kataku beberapa waktu kemudian, pada kesempatan pulang yang sebenarnya tidak kurencanakan.
“Lho, apa salahnya jika seorang ibu mencarikan yang terbaik buat anak lanangku si ragil?”
“Tapi Ibu yakin Asih akan menerimaku?”
“Siapa yang berani menolak lamaran pemuda cakap seperti kamu?” Ibu balik bertanya dengan nada gurau.
“Maksudku, apakah kami pantas bersanding? Ingat, Bu, aku tiga puluh dua, sedangkan Asih baru sembilan belas tahun. Ketika aku mulai berpacaran, Asih baru bisa berlari.”
Ibu tertawa.
“Kamu ingin Ibu mencarikan yang sebaya denganmu? Oalah, Le, Le. Kamu pikir stok yang begitu masih ada?”
“Mungkin aku bisa mencari sendiri.”
“Alaaah, omonganmu itu lho, dari dulu Ibu dengar.”
Tak pernah bisa kutemukan jawaban mengapa pada akhirnya aku toh menerima begitu saja calon yang ibu pilihkan. Pada zaman yang sudah lama mengagung-agungkan cinta seperti ini aku justru seolah hidup pada tahun-tahun awal abad kedua puluh. Dari semula, aku ingin menyerahkan segalanya kepada Ibu. Apa alasannya, aku sendiri kurang yakin. Mungkin benar aku tidak mau mengecewakan Ibu. Mas Ario, kakak tertuaku, lalu Mas Yan, menikah pada usia-usia yang “wajar”. Mereka, yang masing-masing berada di Padang dan Banjarmasin, telah mempersembahkan cucu-cucu yang manis-manis buat Ibu. Mungkin pula benar bahwa aku seolah telah melupakan “kewajiban” yang satu ini.
“Kamu masih selalu dibayangi Maryati,” kata Ibu.
Aku tak berusaha menanggapi. Kata-kata Ibu tak sepenuhnya salah. Bukan, Maryati bukanlah cinta pertama. Bahkan aku sendiri tak ingat, apakah cinta pertamaku Tuti atau Nur. Namun Maryati adalah wanita pertama yang banyak memberiku pengertian tentang cinta yang sesungguhnya, menurut pemahamanku. Dia memang lebih tua. Karena itu aku merasa, waktu itu, ia banyak memahami. Tetapi apakah Ibu bermaksud menyindir atau sekadar ingin meneguhkan dugaan demi keinginannya, aku tak tahu. Toh tak akan bedanya.
“Aku ragu bisa mencintai Asih.”
“Cinta?”
Ibu tersenyum. Entah bagaimana, aku seolah menangkap sumber cahaya di wajah Ibu. Mungkin karena rambutnya yang makin banyak diwarnai garis-garis keperakan, atau sorot matanya yang masih tajam, meski di bulatan hitamnya ada titik-titik warna putih.
“Atau, apakah memang pilihan Ibu ini merupakan pilihan terbaik buatku?”
Ibu mendehem.
“Begini, tho, Nak. Ibumu ini sudah merundingkan segala halnya dengan pakde-pakde-mu, juga paman-pamanmu. Bahwa calon jodohmu itu kami teliti, kami nilai dari berbagai segi, ya keturunan, ya kecerdasan, ya penampilan. Sudah kami pertimbangkan bibit, bebet, dan bobot-nya. Percayalah, Asih bakal sangat cocok menjadi sigarane nyawa-mu. Ia masih kerabat juga, meski sudah agak jauh. Baru lulus sekolah perawat tahun ini. Ia akan sangat sepadan dengan kedudukanmu sebagai guru SMA di kota. Nah, coba lihat, bahkan kamu lama-lama bakal bisa menangkap bahwa garis-garis wajah Asih tak jauh berbeda dengan garis-garis wajahmu. Itulah salah satu ciri jodoh, Nak.”
Aku menatap hati-hati wajah Ibu.
“Tapi, Bu, bukankah Asih telah lebih dulu mencintai dan dicintai orang lain? Maaf lho, Bu, cerita ini sempat kudengar. Ini sebenarnya masalah yang paling serius.”
“Si Harso itu? Alaah, ia masih ingusan. Wong, kerjaan saja nggak punya. Lagi pula, mereka tak berani pacaran secara terbuka. Sembunyi-sembunyi di belakang. Apa memang zaman sekarang begitu carana pacaran? Lha, apa yang bisa diharapkan dari pacaran model begitu?”
“Ibu jangan bicara begitu. Justru yang begitulah yang tidak pernah bisa kita duga. Coba, jika mereka benar saling mencintai, apa pun arti cinta di sini, tentu akan sangat sulit nantinya menumbuhkan kasih sayang di antara aku dan Asih.”
“Kamu lagi-lagi ngomong soal cinta. Coba, apa pengertian kamu tentang cinta?”
“Yang lebih gawat, bagaimana jika, misalnya, laki-laki itu punya rencana melarikan Asih?” kataku tak memedulikan pertanyaan Ibu.
“Hush! Jangan sembarangan ngomong kamu. Nanti kedengaran setan, bisa jadi beneran.”
Aku menatap Ibu dengan kening berkerenyit.
Tetapi aku tak tahu apakah Ibu sudah lama menatapku dengan kening berkerut pula.
O, ya, ternyata sudah waktunya untuk potret bersama. Aku tidak sempat menyadari berapa lama aku berdiam diri. Ibu berada di sebelah kananku. Di sebelahnya lagi Mas Ario, sebagai pengganti Ayah. Di sebelah kiri Asih berdiri kedua orang tuanya. Kulihat wajah ibu sumringah, bercahaya, juga wajah kedua orang tua Asih. Tetapi aku tak bisa menebak, apakah senyum Asih adalah penampakan kebahagiaannya. Aku belum bisa menangkap garis-garis yang sebenarnya.
Aku juga turut tersenyum sebelum lampu blitz menyala.
Setelah itu, berturut-turut minta berfoto bersama pakde-pakde-ku, paman-paman, kerabat, baik dari pihakku maupun dari pihak Asih. Bahkan setelah itu turut serta Pak Kepala Desa, Pak Carik, dan beberapa tokoh masyarakat.
Semua kulihat tersenyum.
Hanya kemudian, sekilas, wajah Asih seperti menegang.
**
“KAMU sakit?” tanyaku.
Asih menggeleng.
Matanya menunduk, jemarinya bermain-main di pangkuannya. Rambut yang tadi disanggul kini tergerai di punggungnya, sebagian menutupi pipinya. Tetapi kebaya dan kainnya masih yang tadi.
Aroma melati dan warna putih menguasai kamar pengantin kami. Bungkusan-bungkusan kado bertumpuk di meja dekat pintu. Pintu telah terkunci. Tetapi mulutku juga seperti selalu sulit untuk membuka. Alangkah kikuk malam pengantin seperti itu, peristiwa sangat asing yang tak pernah kubayangkan bakal terarungi.
Keningku basah.
Kutarik napas dan kuusap wajah.
“Kamu pucat.” Kataku.
“Tak apa,” jawabnya. Pelan sekali dan tetap menunduk.
Dari luar kamar, ruang tengah, masih terdengar ramainya kerabat yang turut lek-lekan. Suara tawa, atau bantingan kartu, juga sedikit adu mulut.
Tetapi di luar jendela, bunyi serangga mulai mengantarkan malam.
Jam dinding menunjuk setengah sebelas.
“Tidurlah, kamu pasti lelah.”
Aku beranjak, membuka pintu, menuju ruang tengah, bergabung dengan yang begadang. Tetapi aku tak turut bermain.
Kunyalakan rokok. Aku terbatuk. Beberapa jenak aku baru sadar bahwa aku telah dua bulan berhenti merokok.
Kumatikan rokok.
Tiba-tiba kudengar bunyi seperti daun jendela dipukul. Lalu teriakan dari arah kamar. Asih!
Aku melompat.
“Ada apa? Apa yang terjadi?”
Asih berdiri dekat jendela. Mukanya pias. Matanya menatapku dengan ragu.
Tetapi mendadak ia menubrukku. Tangisnya meledak. Aku memeluknya dengan rasa sayang yang tiba-tiba memancar. Kuelus rambutnya. Kucium wanginya.
Wajah Asih rebah di dadaku.
“Dia, Mas… dia.”
“Dia siapa?” tanyaku lembut.
“Harso.”
Pelan-pelan aku merenggangkan pundak Asih. Kutatap matanya. Basah. Kuhapus dengan punggung jemariku.
“Kenapa Harso.”
“Dia… mengetuk jendela… memaksa ingin masuk…”
Tangis Asih kembali meledak. Aku mendekapnya lagi. Lebih rapat. Dan seperti tiba-tiba aku berjanji, dalam hati, aku ingin menjadi pelindung yang menyayangi dan mencintainya.
Di pintu, orang-orang mengundurkan diri satu per satu.
Nyanyian serangga membawa malam kian larut.
***
(Cerpen ini pernah dimuat di majalah Sarinah, 22 Maret 1993)

No comments: