Wednesday, January 23, 2008

Fiksi Sejarah

Pukul setengah satu lebih lima menit--terlambat dari kesepakatan pukul setengah satu--aku bertemu dengan Rita Achdris dari majalah Gatra, di kafe CCF. Dia ditemani Malik, fotografer. Basa-basi sebentar, lalu ngobrol. Ceritanya sih aku diwawancara dengan tema fiksi sejarah, yang akan ditulis Rita di majalahnya, mungkin edisi mendatang ini.
Sebetulnya aku sedikit kecewa karena Rita ternyata belum tamat baca Dyah Pitaloka-ku. Jadinya, menurutku, wawancara ini agak timpang. Aku mesti menjelaskan sebagian alur cerita dalam novelku. Aku ingat cerita tentang Prof Mubyarto--kalau ga salah--yang suka lebih dulu menanyakan apakah wartawan yang mewawancarainya sudah membaca buku(-buku)nya. Kalau si wartawan bilang belum, pasti akan diusir. Aku tentu tidak seekstrem itu, hehehe. Siapa lah aku ini.
Rita bertanya soal sumber data bagi penulisan Dyah Pitaloka. Juga soal kontroversi Perang Bubat sendiri, yang oleh sebagian orang dianggap tidak pernah ada. Dst.
Di luar wawancara, Rita juga menyinggung pendapat Andreas Harsono, yang mengaku tidak setuju dengan adanya fiksi sejarah. Menurut Andreas, seperti dikatakan Rita (dan juga Endah Sulwesi tempo hari), jangan campur adukkan fakta dan fiksi. Kalau mau menulis fiksi, menulislah seperti Harry Potter. Penulisan fiksi sejarah dikhawatirkan Andreas akan "meracuni" pemikiran masyarakat. "Bagaimana kalau pada tahun-tahun mendatang masyarakat menganggap fiksi sejarah, misalnya Da Vinci Code, sebagai sejarah?" kata Rita, menirukan Andreas.
Sah-sah saja, tentu, Andreas berpendapat begitu. Dia berlatar jurnalistik dan (mungkin) sangat menyukai jurnalisme sastrawi, seperti yang ditonjolkannya pada diskusi novel In Cold Blood karya Truman Capote beberapa waktu lalu.
Menurutku sih, kekhawatiran Andreas berlebihan. Apakah karya-karya Shakespeare misalnya, yang banyak mengambil kejadian dalam sejarah, dianggap sebagai karya sejarah? Rasanya tidak. Saya juga yakin bahwa pembaca tidak bodoh dengan menganggap fiksi sejarah sebagai sejarah. Kalau saya balik, selain dongeng-dongeng (termasuk Harry Potter), adakah karya yang tidak berdasarkan data faktual? Kalaupun bukan fiksi sejarah, fiksi-fiksi yang dibikin berlatar waktu saat ini akan menjadi fiksi sejarah pada tahun-tahun mendatang.
Tentu saja, fiksi sejarah tidak bisa menjungkirbalikkan fakta sejarah. Kalau Perang Jawa berakhir saat Pangeran Diponegoro ditangkap pada 1830, kita tentu tak bisa menulis fiksi dengan latar 1835 dan Diponegoro masih berperang. Akurasi fakta tetap harus dimaksimalkan.
Namun bagiku, setuju atau tidak setuju bukan soal penting. Yang penting adalah ini: TERUSLAH BERKARYA, jangan berhenti hanya karena orang berbeda pendapat dengan kita.
Selesai ngobrol-wawancara, kami menuju Taman Ganeca, sebelah Mesjid Salman, ITB. Aku difoto di sana. Pose begini, begitu, dst. Duh, kayak artis beneran, hehehe.

2 comments:

lukisansunyi said...

waduh, hancur sudah segenap upayaku untuk pura-pura cerdas :D. pokoknya, nantikan liputannya di Gatra terbaru. ada foto hermawan aksan paling keren juga lo..

Hermawan Aksan said...

liputanmu keren gitu lo...