Monday, January 21, 2008

Kucing Mak Icih

SEJAK semula saya sudah punya firasat bahwa kawasan Kebun Binatang bukanlah kawasan yang nyaman untuk tempat tinggal. Rumah-rumah berimpitan seperti kandang ayam. Hanya satu alasan mengapa saya memilih mengontrak kamar di kawasan ini: dekat kampus.
Ada tiga kamar di loteng ini. Saya sendiri menempati yang paling belakang. Kamar tengah ditempati oleh Irwansyah, mahasiswa Planologi dari Aceh. Pemuda berbadan gempal bulat berotot ini mempunyai kebiasaan tidur sore-sore, untuk mempersiapkan bangun pukul tiga dini hari. Itu saya perhatikan setelah saya tinggal di situ beberapa hari. Sedangkan kamar yang paling depan dihuni oleh Mas Toto, mahasiswa Geodesi tingkat akhir. Ia berasal dari Lampung, tapi orang tuanya merupakan transmigran dari Jawa Timur. Belakangan saya tahu bahwa Mas Toto yang bertubuh tinggi kecil ini mempunyai kebiasaan ngalong, baru berangkat tidur selepas subuh. Bangun tengah hari. Sungguh bertolak belakang dengan Irwansyah. Mungkin karena itu kulitnya sepucat mayat.
Janda pemilik rumah sendiri menempati bagian bawah, rumah yang hanya memiliki satu kamar tamu, satu kamar tidur, dan satu dapur sekaligus kamar makan, berderet ke belakang. Kamar mandi di pojok belakang, digunakan bersama oleh pemilik dan penyewa. Jalan menuju loteng di bagian kanan rumah menyerupai lorong yang sempit dan gelap. Suasana lembab dan gelap karena di sebelah kanan dan kirinya tembok rumah orang lain.
Dari cerita Mak Icih sendiri, demikian nama janda pemilik rumah itu, saya jadi tahu bahwa ia ditinggal mati suaminya lima belas tahun yang lalu karena kecelakaan mobil. Dulu suaminya pegawai kecil di kantor Walikotamadya. Kini ia mengandalkan hidupnya dari pensiun suaminya. Ia punya dua anak. Yang pertama, Ujang, sudah berkeluarga, tinggal di kawasan Cihampelas. Yang kedua, Nyai, anak perempuan yang masih menemaninya.
Beberapa hari setelah saya mendiami salah satu kamar rumah milik Mak Icih, sepulang dari kuliah saya mendapati Mak Icih tengah marah-marah di depan Irwansyah. Seekor kucing meringkuk di pelukannya.
“Kucing Ibu, Den, mau dibunuhnya! Ia menyiramnya dengan air panas! Untung Ibu lekas datang, kalau tidak…!”
Irwansyah sementara itu berdiri tenang bersandar di pintu kamarnya. Ia tak menjawab.
“Mungkin tak sengaja,” saya berusaha melerai.
“Ah, sudah jelas sengaja!”
Saya berusaha menenangkan Mak Icih dengan mengajaknya turun. Setelah berhasil, saya naik lagi ke kamar sendiri dan merebahkan diri tiduran. Namun saya masih mendengar omelan marah Mak Icih meledak-ledak seperti cambuk gembala kambing. Untuk mengatasai polusi suara itu, saya bunyikan radio kecil. Tentu lebih enak menikmati alunan merdu Mega Mustika daripada mendengarkan bunyi cambuk butut.
Pada suatu malam, sehabis nonton dunia dalam berita, saya berniat mengerjakan tugas pendahuluan untuk praktikum esok harinya. Saya baru saja membaca sebentar buku petunjuk praktikum fisika itu ketika tiba-tiba saya mendengar suara-suara aneh di luar. Mula-mula saya mendengar lengkingan seperti bayi menangis. Kemudian terdengar suara menggeram laksana suara raksasa dalam wayang golek. Setelah itu suara mirip bayi menangis lagi, disusul suara menggeram. Begitu seterusnya. Saya sedang sibuk menebak-nebak ketika mendadak suara-suara itu menjadi riuh susul-menyusul, disertai bunyi gedebak-gedebuk. Tak salah lagi, pasti kucing berkelahi. Konsentrasi belajar saya kontan berantakan. Bajingan! Padahal besoknya praktikum pukul tujuh pagi. Sedangkan mengerjakan tugas pendahuluan biasanya membutuhkan waktu paling tidak dua jam. Tanpa pikir panjang saya bangkit mengambil sapu, membuka pintu, kemudian mengayunkan sapu sekuat tenaga ke arah kucing-kucing yang tengah bergumul. Sayang tak kena, sementara kedua kucing jahanam itu berlarian ke depan, menghilang entah ke mana. Saya mengumpat sumpah serapah.
Saya sibuk memikirkan cara terbaik mencegah kegaduhan lebih lanjut yang dibikin kedua kucing itu. Ada gagasan terlintas untuk membeli golok. Saya akan membunuh kucing Mak Icih kalau lagi tidur siang hari. Kemudian saya cincang… Tapi ternyata saya merasa ngeri kalau hal itu saya lakukan. Sesungguhnyalah, saya tidak tahan melihat darah. Maka gagasan itu saya kubur dalam-dalam. Kemudian muncul rancangan lain, yaitu menjerat leher kucing itu. Saya akan memasang tali yang kuat ke lehernya untuk sedemikian rupa sehingga bila kedua ujung tali saya tarik, kucing itu akan menggelepar-gelepar kehabisan napas. Tetapi ternyata, saya tak punya nyali untuk itu. Tampaknya melakukan pembunuhan, meskipun hanya terhadap binatang, terlalu mengerikan.
Sementara saya belum menemukan gagasan yang baik, suatu hari saya iseng meletakkan bangkai seekor tikus kecil yang saya temukan di pojok kamar, ke dekat kucing Mak icih yang tengah tidur di depan kamar Mas Toto seperti biasa. Saya berharap kucing itu akan melahap bangkai tikus. Tetapi ketika bangun, kucing itu hanya menatap bangkai tikus itu. Kemudian menciuminya. Lalu menyepaknya untuk kemudian didekati lagi. Kadang-kadang kucing itu berguling-guling kesenangan seperti memperoleh suatu mainan. Tentu saja saya terkesima. Baru kali itu saya menjumpai kucing tak berselera terhadap tikus. Saya pikir, sombong benar kucing ini!
Tanpa saya ketahui, Mak Icih muncul dari belakang dan berkata dengan nada marah.
“Aduh, Den! Kucing Ibu mah tak pernah dikasih tikus!”
Mak Icih kemudian meraih kucingnya, membelai-belainya, dan menciumnya dengan mesra.
Pada suatu hari Minggu pagi saya berjalan-jalan di Jalan Cikapundung, melihat-lihat buku-buku dan majalah bekas. Juga menyaksikan aksi para penjual obat, pakaian, kacamata, jam tangan, dan, yang paling banyak, penjual nomor buntut SDSB. Tiba-tiba saya tertarik kepada sebuah ramuan yang dilengkingkan si penjual hingga mulutnya berbusa: racun tikus! Inilah mungkin yang saya cari. Tanpa menawar saya langsung membeli sebungkus.
Bukan untuk membasmi tikus, melainkan buat meracun kucing.
Sore harinya saya membeli dua bungkus nasi dan ikan di warung tak jauh dari rumah. Sebungkus untuk diumpankan kepada kucing Mak Icih setelah dicampur dengan racun tikus. Yang sebungkus lagi, tentu saja, buat makan sore saya sendiri. Campuran nasi dan racun tikus, eh racun kucing, saya letakkan di depan kamar Mas Toto. Mudah-mudahan kucing Mak Icih sore ini kelaparan dan langsung melahan umpan saya. Malamnya saya tak mendengar kegaduhan seperti biasanya. Bahkan ketika saya nonton TV di bawah, Mak Icih sempat mengeluh kucingnya tak kelihatan sejak sore. Agak berdebar juga saya mendengar keluhan Mak Icih. Pagi harinya saya menuju ke tempat umpan saya letakkan. Saya terkejut bukan main ketika mendapati kucing Mak Icih lelap tidur melingkar sehat wal afiat tak kurang suatu apa. Sedangkan umpan saya telah raib entah ke mana.
Baru kemudian saya mengetahui dari penuturan Mak Icih bahwa dia telah menemukan nasi campur ikan. Mak Icih menduga, makanan itu dicampur dengan racun, karena warnanya lain dengan makanan yang biasa ia sajikan.
“Ini pasti perbuatan si Irwansyah!” teriak Mak Icih.
Saya mengangguk-angguk, tentu saja tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Namun saya sempat heran, ke mana gerangan kucing Mak Icih semalam. Dan kenapa sama sekali kucing itu tidak menyentuh nasi umpan.
Gagal meracuni kucing Mak Icih, saya berpikir mencari cara lain untuk, kalau bisa, membunuh kedua kucing itu sekaligus. Rasanya semakin lama saya semakin gila oleh kegaduhan-kegaduhan yang terjadi. Bahkan yang lebih gila, kedua kucing itu sering berkejar-kejaran di atas genting rumah.
Saya tak bisa memastikan bagaimana kesiapan saya menghadapi ujian semester nanti.
Melalui seorang kenalan mahasiswa kedokteran, pada suatu hari saya berhasil memperoleh sebotol kecil cairan obat bius. Saya tidak bertanya bagaimana caranya memperoleh cairan itu. Dan ia juga seperti segan untuk menceritakan. Tak apalah, yang penting saya sudah punya gagasan baru dengan cairan itu.
Begitulah, pada suatu siang yang panas, dengan hati-hati saya menuju depan kamar Mas Toto. Benarlah, kucing Mak Icih sedang terlelap dengan damai. Melihat damainya tidur kucing, mula-mula saya agak ragu. Tapi mengingat segala kegilaan yang dibuatnya, keraguan saya langsung menguap. Hati-hati saya mengambil kapas, kemudian meneteskan obat bius ke kapas hingga basah. Setelah itu kapas saya tempelkan ke lubang hidung kucing. Setelah beberapa saat, saya membalik-balikkan tubuh kucing, untuk meyakinkan bahwa binatang itu telah kena pengaruh bius. Setelah saya yakin, binatang malang itu saya masukkan ke dalam sebuah kantong yang sudah saya persiapkan. Kemudian saya bergegas mengunci kamar, turun, keluar rumah, berjalan menuju Jalan Taman sari, dan menyetop angkutan kota arah Cicaheum.
Dari Cicaheum saya baik buskota jurusan Jatinangor.
Akhirnya, di daerah yang sunyi di sekitar kampus AIK, saya mengeluarkan tubuh makhluk yang ternyata masih terbius. Kemudian tubuh makhluk tak berdaya itu saya buang begitu saja di semak-semak tepi jalan yang menuju kampus AIK. Lalu saya tinggalkan dengan perasaan amat puas. Selanjutnya saya menyetop kendaraan menuju Tanjungsari. Kebetulan saya punya janji mengunjungi seorang teman.
Tiga hari saya di Tanjungsari.
Ketika saya kembali ke kontrakan, saya terkejut sekali ketika Mas Toto memberitahukan bahwa Mak Icih di rumah sakit.
“Tampaknya sakitanya parah,” tuturnya.
Menurut cerita Mas Toto, sore itu Mak Icih ngamuk-ngamuk. Meja dan kursi dibanting-banting. Kepalanya dibentur-benturkan ke tembok. Ia selalu menjerit-jerit menanyakan kucingnya. Anaknya, Nyai, tak bisa berbuat apa-apa. Irwansyah yang kebetulan pulang kuliah segera mendekati. Tapi Mak Icih, menurut Irwansyah seperti dituturkan Mas Toto kepada saya, malah menunjuk-nunjuk Irwansyah seperti hendak menyatakan sesuatu. Saat itulah tubuh Mak Icih oleng dan ambruk. Untung Irwansyah cepat menangkao tubuh setengah renta itu. Besoknya Mak Icih belum bisa bangun. Nyai sesenggukan terus di sisinya. Ujang pun dipanggil. Kemudian Mas Toto, Irwansyah, Ujang, dan Nyai membawa Mak Icih ke Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Mendengar penuturan Mas Toto saya segera menuju rumah sakit. Di sana, Ujang dan Nyai tengah menunggui. Sementara Mak Icih tampak terbaring dengan mata terpejam semakin cekung. Kali ini saya benar-benar takut Mak Icih akan sungguh-sungguh menjadi mummi.
Dua hari berikutnya, ketika Mak Icih masih di rumah sakit, ketika suasana rumah menjadi beku oleh keheningan, ketika saya semakin merasa amat berdosa, sekonyong-konyong saya mendengar lengkingan suara seperti bayi menangis. Kemudian saya bergegas turun. Benar, kucing berbulu putih dengan belang hitam, bertubuh agak kurus dan kotor: kucing Mak Icih!
Gila! Bagaimana mungkin kucing itu dapat kembali? Menempuh jarak belasan kilometer dari Jatinangor, melalui jalan-jalan yang belum pernah dilewatinya?
Sore itu juga saya bergegas ke rumah sakit menceritakan kembalinya kucing itu kepada Mak Icih. Mendengar penuturan saya wajah Mak Icih berubah ceria. Matanya berbinar, senyumnya mengembang memancarkan cahaya harapan hidup.
Namun sementara itu, sepulang dari rumah sakit, di kamar saya segera mulai membereskan pakaian, buku-buku, dan sebagainya. Saya berpikir, lebih cepat pindah lebih baik. Yah, paling lambat setelah Mak Icih sembuh kembali dan pulang ke rumah nanti. ***

(Ini cerpen pertamaku di Pikiran Rakyat, lupa tanggalnya, th 1990)

No comments: