Thursday, January 3, 2008

Mencari Sosok Indung

DALAM masyarakat Sunda, kaum perempuan menduduki posisi yang sangat penting dan terhormat. Kaum perempuan ditempatkan sebagai pelindung sekaligus pengasuh yang memandu anak-anaknya. Karena itu pula, kaum perempuan tidak hanya disebut “ibu”, tetapi lebih dari itu mereka disebut “indung”. Indung berarti tidak hanya perempuan yang telah mengandung dan melahirkan kita. Indung juga sekaligus memiliki makna tempat berlindung.
Seperti dalam hadis Nabi, yang menempatkan ibu di posisi yang lebih penting dibanding ayah, dalam peribahasa Sunda pun tentu bukan tanpa sengaja penyebutan ibu didahulukan dibanding penyebutan ayah. Indung tunggul rahayu, bapa tangkal darajat, yang bermakna keselamatan dan kebahagiaan anak bergantung pada keridaan dan doa ibu dan ayah.
Masyarakat Sunda buhun, yang sangat tergambar dalam cerita-cerita pantun, berlindung kepada sosok indung bernama Sunan Ambu. Sunan berasal dari kata susuhunan, artinya yang disembah. Ambu adalah ibu. Jadi, Sunan Ambu berarti Ibu Kedewataan, Ibu Ilahiah. Di kahyangan, Sunan Ambu memiliki posisi yang penting, yakni sebagai penguasa tempat tinggal para hyang dan roh-roh leluhur itu. Dia berkuasa atas para pohaci (bidadari) dan bujangga (bidadara).
Nama Sunan Ambu dapat ditemukan dalam cerita-cerita rakyat seperti Lutung Kasarung dan Mundinglaya Di Kusumah. Dalam cerita-cerita tersebut, Sunan Ambu digambarkan sebagai sosok yang penuh cinta kasih, tetapi juga tegas menghukum kalau ada yang melanggar pantangan. Putranya sendiri, Guruminda, dihukum turun ke dunia (buana panca tengah) karena pernah memandang sang ibu dengan penuh cinta. Guruminda harus menjalani hukuman menjadi seekor lutung. Namun Sunan Ambu tak melepaskan anaknya begitu saja. Dia menghadirkan Purbasari, perempuan yang sosoknya mirip Sunan Ambu sendiri, supaya Guruminda bisa mengawini putri bungsu Kerajaan Pasir Batang itu di dunia.
Sosok perempuan lain sebagai tempat berlindung yang penuh kasih sayang sekaligus tegas dalam bertindak sehingga posisinya menjadi terhormat adalah Dayang Sumbi. Dia memiliki seorang anak lelaki, Sangkuriang, yang sangat disayanginya. Namun ketika si anak melakukan kesalahan, Dayang Sumbi mengusirnya. Ketika bertahun-tahun kemudian Sangkuriang muncul lagi dan ingin mengawini Dayang Sumbi, sang ibu tentu saja menolak dengan tegas dan melakukan berbagai upaya agar keinginan Sangkuriang tak terlaksana.
Dongeng lain di tanah Sunda bercerita tentang Putri Kandita dan sang ibu, Dewi Rembulan, yang terkena guna-guna sehingga wajah keduanya menjadi buruk penuh dengan koreng, bersisik. Mereka pun diusir, keluar dari keraton. Dalam perjalanan, sang ibu wafat sehingga tinggallah sang putri seorang diri. Sang putri berjalan menyusuri pantai selatan. Karena kelelahan, dia tertidur dan bermimpi mendapat petunjuk dari Dewata, yakni jika ingin wajahnya kembali cantik, sang putri harus menceburkan dirinya ke Laut Kidul. Dia kemudian menjelma menjadi ratu makhluk halus dan menguasai seluruh Laut Selatan. Selanjutnya, oleh masyarakat, ia dikenal sebagai Ratu Kidul. Di sini tampak bahwa meskipun terusir dari tanah asalnya, seorang perempuan akhirnya memiliki kekuasaan yang besar di tempat lain.
Anehnya, berbeda dengan cerita-cerita pantun dan dongeng, catatan sejarah tanah Sunda menunjukkan bahwa posisi perempuan nyaris tak kelihatan. Kekuasaan hampir selalu berada di tangan lelaki. Sejak para Dewawarman memerintah Salakanagara, lalu Jayasingawarman, Darmayawarman, Purnawarman, dan seterusnya menguasai Tarumanagara, kemudian Manikmaya sampai Linggabumi menjadi raja-raja Kendan hingga Galuh, lantas Tarusbawa, Sanjaya, dan seterusnya hingga periode Linggabuana, Niskala Wastukancana, dan kemudian Sri Baduga Maharaja sampai Raga Mulya memimpin tanah Sunda, semua raja-raja itu kaum lelaki belaka.
Ada memang catatan yang menyebutkan bahwa Bhimadigwijaya, salah seorang yang pernah berkuasa di Salakanagara, mempunyai anak perempuan, Spatikarnawa, yang kemudian menggantikan ayahnya menjadi ratu. Namun, setelah itu, meskipun seorang penguasa mempunyai anak pertama perempuan, selalu sang menantulah yang meneruskan menjadi raja. Prabu Jayaprakosa, salah seorang raja di Galuh, digantikan oleh menantunya, Prabu Darmasakti. Prabu Hulukujang digantikan menantunya, Prabu Gilingwesi. Dan Gilingwesi pun digantikan oleh menantunya, Prabu Pucukbumi.
Bandingkan dengan sejarah kerajaan-kerajaan di luar tanah Sunda. Maharani Sima, misalnya, puluhan tahun menjadi penguasa Kalingga. Parwati pernah tercatat memerintah Mataram (Kuno). Lalu Sri Isanatunggawijaya di Mamenang. Ratu Sang Luhur Sri Gunapriyadharmapatni pernah menjadi penguasa Bali bersama sang suami, Sri Dharmodayana Warmadewa. Meskipun tidak menjadi penguasa tertinggi, anak perempuan Airlangga, Sanggramawijaya, diangkat menjadi mahamantri i hino (sebuah jabatan sangat tinggi yang hanya kalah dibanding raja). Dan tentu saja Trbhuwanattunggadewi, yang pernah menjadi ratu Majapahit.
Meskipun tidak memegang kekuasaan, sejumlah perempuan Sunda mencatat sejarah yang cemerlang—kendati jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Dyah Pitaloka, walaupun belum menjadi sosok indung, menunjukkan karakter yang teguh memegang kehormatan tanah Sunda dengan memilih bunuh diri daripada menjadi upeti untuk Raja Hayam Wuruk.
Dua dari sedikit nama lain dalam sejarah sebagai perempuan yang memiliki karakter indung adalah Raden Dewi Sartika dan Inggit Garnasih. Dewi Sartika tentu bukan nama asing bagi masyarakat Sunda. Begitu pula Ibu Inggit, sosok yang berperan besar mengantarkan Soekarno ke tampuk tertinggi kepemimpinan Republik Indonesia—dan yang kemudian dengan ikhlas melepas sang suami menikah dengan perempuan lain.
Mengapa sosok indung sulit dicari di dalam catatan sejarah, pasti menarik untuk menjadi bahan diskusi. Tulisan ini tidak hendak membahasnya, dan juga tidak hendak mencoba menyebutkan siapa saja sosok indung pada perempuan Sunda masa kini. Selain memang tidak mudah menentukannya, yang jauh lebih penting adalah bahwa baik tokoh dongeng seperti Sunan Ambu dan Dayang Sumbi maupun tokoh sejarah semisal Dyah Pitaloka, Raden Dewi Sartika, dan Inggit Garnasih hendaknya menjadi inspirasi yang tak putus-putus agar kaum perempuan Sunda sekarang dan seterusnya memelihara karakter yang terpuji seperti yang terkandung pada kata indung.
Selamat Hari Ibu. (*)

(Tulisan ini dimuat di Kompas edisi Jabar, 22 Desember 2007)

1 comment:

abahsangpenyamun said...

Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke

mempertanyakan sosok indung, jd inget tulisan eta. sok sanajan tulisan amanat galunggung eta mah hartina teu ngan saukur ngeunaan wanoja wungkul. tapi apanan moal lahir budak mun taya indungna tiheula. siga lahirna bentang ti jero nebula, sok sanajan nebula mah lain indungna.. sempet di astronomi oge pan kang?