Wednesday, January 2, 2008

Kiskenda

ADAKAH derita yang lebih menyakitkan dibanding kehilangan cinta? Cinta yang kubangun bata demi bata, yang kuperoleh dengan keringat, darah, dan air mata, harus kuserahkan begitu saja.
Dan justru kepada saudaraku sendiri. Saudara kembarku.
Padahal, sungguh, engkau saudara yang tolol, tak mampu membedakan mana buncahan otak dan mana leleran darah putih. Itu adalah jelas-jelas buncahan isi kepala Maesasura dan tunggangannya, Jatasura, yang kubenturkan satu sama lain. Aku tak bakal kalah melawan keduanya meskipun aku tahu mereka sakti mandraguna dan tak bisa mati kecuali secara bersama-sama. Aku tak akan minta bantuanmu karena aku tahu kau tak akan bisa membantu, dan lagi pula itu akan menghancurkan nilai-nilai kesatriaan. Bukankah kita tergolong kaum satria meskipun wajah kita sama-sama kera?
Tapi di sisi lain aku yakin, engkau bukannya tolol, melainkan sebaliknya, kau pintar, cerdik, sekaligus licik. Kau sudah punya rencana sebenarnya bahwa kau mengincar segala yang bakal kutinggalkan seandainya aku perlaya. Kau tidak memeriksanya lebih dulu, siapa sebenarnya yang perlaya, melainkan langsung menutup pintu Gua Kiskenda dengan batu sebesar gajah.
Kita sama-sama mendapat tugas dari Dewa Indra untuk menaklukkan pengacau Suralaya itu, dan hanya aku yang melawannya sendirian di dalam gua. Kau hanya mau menunggu di luar. Menunggu tanpa kepastian siapa yang akan keluar sebagai pemenang pertempuran.
Aku memang sudah berpesan kepadamu, kalau yang mengalir adalah darah merah, berarti musuh yang kalah. Namun kalau yang mengalir itu darah putih, akulah yang perlaya. Namun, sekali lagi, tidak bisakah kau membedakan darah putih dan isi batok kepala?
Baiklah, mungkin aku terlalu kasar menyebutmu tolol. Lebih tepat bahwa kau itu lugu, tak banyak tahu tentang apa pun, sampai-sampai dulu kau ikut-ikutan memburu Cupu Manik Astagina seperti yang kulakukan.
Apa yang kauinginkan dengan cupu itu? Kau menggeleng waktu itu dan aku tertawa. Kau memang selalu tak paham soal apa-apa. Kau hanya bisa mengekor apa pun yang kulakukan.
Dengan cupu itu, Adikku, kita bisa memperoleh apa saja yang kita inginkan di dunia. Apa yang kita kehendaki bisa keluar dari cupu itu.
Cupu Manik itu, kau tahu kemudian, adalah lambang rasa pilih kasih ibu kita, Retna Windradi, kepada kakak kita Retna Anjani. Bukankah ibu memilikinya dari Batara Surya tanpa diketahui oleh ayah kita, Resi Gotama? Entahlah, mungkin cupu itu juga menjadi lambang cinta terlarang antara seorang dewa dan seorang dewi yang boleh jadi tak puas menikah dengan manusia biasa. Yang pasti, bukannya menyimpan rapat-rapat, ibu memberikannya kepada Anjani.
Aku tak bisa tinggal diam, maka aku mengadu kepada ayahanda.
“Aku tak pernah memberikan sebuah cupu kepada Anjani,” tegas ayah dengan wajah yang menegang.
Anjani hanya mengatupkan bibir ketika ayah memanggilnya.
“Kan kusumpah siapa pun yang berkata bohong,” tambah ayah, dengan wajah yang mulai dirambah warna merah.
Anjani pun mengaku dengan kata-kata yang nyaris tak bisa kudengar.
Kini ibulah yang menjadi terdakwa.
“Dari mana kau mendapatkannya?”
Ibu diam. Juga ketika ayah bertanya untuk kedua kalinya.
Tak sepatah pun kata keluar dari bibir ibu. Hanya air mata yang mulai menetes di kedua pipinya.
Ayah bertanya lagi dan ibu tetap saja bungkam.
“Tiga kali aku bertanya, dan kau tetap diam. Kau sungguh seperti tugu saja.”
Tiba-tiba halilintar menggelegar dan cahaya menyilaukan nyaris membutakan.
Ketika sunyi hadir kembali, ibu telah berubah menjadi batu.
Kita semua hanya bisa menggugu.
Namun bukannya menyesali akibat kutukannya yang mengandung ilmu kesaktian tak tepermanai, ayah mengangkat patung tugu ibu dan melemparkannya jauh ke udara seperti melontarkan sebutir kerikil dan jatuh entah di mana.
Ayah juga melemparkan cupu yang masih di genggamannya.
Kita bertiga, aku, kau, dan Anjani, hanya bisa menatap ketika cupu itu melayang membelah udara, meninggalkan kesiur angin yang terdengar seperti menyayat telinga. Tanpa kutahu siapa yang memulai, kita bertiga berlari mengejar ke arah dilemparkannya cupu.
Kita berlari ke arah Ayodya.
Namun tiba-tiba kita menghadapi sebentang permukaan danau yang tenang. Kapan danau itu ada di sana? Ah, aku yakin, cupu itu jatuh ke dalamnya. Maka aku segera menceburkan diri. Di belakangku, kau juga menceburkan dirimu.
Tak ada apa-apa di dalam sana.
Dan aku terkejut ketika kita sama-sama menjelma menjadi sepasang kera.
Oh, kutukan apa lagi yang menimpa kita?
Ketika kita sama-sama muncul di tepi telaga, Anjani pun sudah kehilangan kecantikannya, karena wajah dan tangannya sudah berubah menjadi kera.
Kita menangis menyesali kekeliruan kita. Dan ayah hanya memberikan petunjuk agar kita bertapa di Gunung Sunyapringga.
Aku tahu bahwa aku lebih khusyuk bertapa dibanding engkau maka aku memperoleh kesaktian yang melebihi engkau. Maka wajar pulalah kalau Batara Indra lebih memercayaiku untuk melawan Maesasura.
Ketika aku berhasil membunuh Maesasura, apa yang ada di dalam pikiranmu ketika menutup pintu gua dengan batu?
Oh, aku tahu kemudian.
Aku hancurkan batu raksasa yang menutup gua dan aku berlari menyusulmu ke kaendran. Kau ingat, kan? Sementara kulitku masih kesat oleh darah Maesasura yang mulai mengering dan keringatku masih membanjir, kau malah sedang berasyik masyuk di sebuah istana, dengan Dewi Tara, yang sesungguhnya berhak kumiliki.
Oh, hati siapa yang tak akan tercabik-cabik?
Kutantang kau beradu kejantanan. Namun kau hanya berdiri memandangku dengan tatapan terpana. Kau tak berani melawanku, kan? Kau tahu bakal kalah, kan?
“Ayo, lawan aku! Tentukan siapa sebenarnya yang lebih berhak atas karunia Dewa Indra!”
Aku bersiap membantingmu ketika kau menubruk dan air matamu membasahi kakiku.
“Dengarkan aku, Kanda. Aku melakukan semuanya atas pesan Kanda sendiri. Aku menangis ketika kukira kaulah yang gugur di dalam gua. Aku menutup pintu gua sebagai tanda kesedihanku yang luar biasa, dan agar Maesasura terkurung di dalamnya. Kepada Batara Indra, aku tidak pernah mengatakan bahwa akulah yang menewaskan Maesasura dan Jatasura. Aku juga tak pernah meminta hadiah apa pun dari Dewa.”
Aku tertegun mendengar penuturanmu.
“Karena itu, bantinglah aku, Kanda. Aku rela mati dengan perantara kakak kandungku sendiri.”
Kulepaskan engkau dan aku berlari ke arah semula aku datang. Mungkin bukan peruntunganku. Ya, nikmatilah manisnya cinta. Bangunlah istanamu. Dan aku hanya bisa berlari, terus berlari, hingga nyaris kehabisan napas ketika tiba kembali di Gunung Sunyapringga.
Bukan untuk mencari kesaktian semata kalau aku kemudian memilih kembali bertapa. Aku ingin mengubur cinta. Sedalam-dalamnya.
Bahwa aku kemudian memperoleh Pancasona, itu semata-mata karunia dari para dewa. Dan aku rela menghabiskan waktuku di sana hingga akhir hayatku ketika seorang inang pengasuh Dewi Tara rela datang ke pertapaanku dan berkisah bahwa sang dewi tidak bahagia menjadi permaisurimu di istana Gua Kiskenda. “Dewi mengetahui bahwa yang membunuh Maesasura dan Jatasura bukanlah suaminya, melainkan kakak kandungnya,” kata inang pengasuh.
Darah segera menyembur ke kepala.
Aku sudah rela kekasihku menjadi permaisurimu. Kenapa kau tega memperlakukannya tanpa cinta?
Maka kau terkejut ketika aku muncul di pintu istana dan segera menantangmu. Aku tak perlu lagi kata-kata. Kutarik tanganmu dan kuputar-putar tubuhmu, lalu kulemparkan tubuhmu. Aku yakin kau akan jatuh di utara Gunung Maliawan. Kau baru merasakan Pancasona, kan?
Entah berapa lama, kemudian, aku mereguk cinta dengan kekasih sejatiku, Dewi Tara, di Gua Kiskenda. Aku tak tahu apa yang terjadi di luar sana. Cinta menutup segalanya.
Dan tiba-tiba, langit di luar menjadi redup dan bunyi genderang membahana. Aku berlari keluar pintu istana gua sambil menyipitkan mata untuk mengetahui siapa gerangan yang sudi berkunjung ke istana cintaku.
“Kau tak akan melupakanku, bukan?”
Aku menatapnya. Ah, ya, tentu saja. Tiap memandangmu, aku merasa sedang memandangku di cermin.
Kau berdiri paling depan, bersebelahan dengan dua orang satria yang sama-sama berwajah tampan, sedemikian tampan sehingga surya pun temaram. Siapa mereka? Di tangan salah satu satria itu tampak gemerlap sebuah pusaka. Dan di belakangmu, ribuan—atau laksaan?—laskar kera dan manusia bergabung membentuk pasukan yang menggiriskan.
“Apa maumu datang lagi, Adikku?” tanyaku.
Sebuah pertanyaan yang tolol sebenarnya. Tanpa engkau jawab pun, aku tahu apa kehendakmu. Bukankah kau merasa bahwa Dewi Tara milikmu?
“Baiklah, bukankah kau masih merasa takut sehingga datang meluruk dengan segelar besar pasukan?”
Kau menatapku tanpa berkedip. Dan justru ketika aku berkedip, kau menerjang dengan tangan yang mengembang. Kusambut seranganmu dengan tangan yang juga mengembang. Ah, kau mengalami kemajuan pesat, Adikku. Tenagamu berlipat dan kecepatanmu meningkat. Namun itu belum cukup untuk mengalahkanku. Dalam beberapa jurus kemudian, kuangkat engkau dan kubanting hingga terkapar di hadapan dua satria yang menyertaimu.
Aku tak bisa mendengar apa yang kalian katakan. Aku juga tak berprasangka apa-apa ketika satria itu melingkarkan janur kuning di tubuhmu. Oh, kesaktian jenis apa lagi yang akan kaugunakan untuk melawanku?
Rupanya aku terkecoh. Bukan kesaktian, melainkan pertanda untuk membedakan. Ketika aku berhasil menyambar kaki kanan dan lehermu, dan kemudian membantingmu, serta hendak mengakhirimu, aku baru sadar apa yang terjadi.
Tiba-tiba dadaku panas. Sesuatu menancap hingga tembus ke belakang. Sebatang panah yang mengilap. Aku tak tahu dari mana datangnya.
Aku menoleh. Tangan satria itu tak lagi menggenggam pusakanya.
Darah mulai meleleh dari lubang lukaku. Darah putih. Darah yang kausangka sudah tumpah di Gua Kiskenda dulu.
“Siapa sebenarnya engkau, duhai satria tampan?”
Satria itu tersenyum. “Namaku Ramawijaya. Dan ini adikku Lesmana. Kami putra Prabu Dasarata dari Ayodya.”
Aku membalas senyumnya dengan seringai. “Oh, rupanya engkaulah satria pelindung jagat itu. Aku memang sudah ditakdirkan perlaya di tangan titisan Wisnu. Tapi mengapa harus dengan cara seperti ini? Apa salahku? Mengapa engkau memanahku secara tidak satria? Kalau seorang titisan dewata yang terkenal itu bertindak sedemikian tercela, bagaimana orang bisa membedakan kebajikan dan kejahatan? Lagi pula, aku bertempur dengan adikku sendiri demi urusan pribadi. Mengapa engkau turut campur? Serta datang dengan gelar pasukan tak terkira? Aku tak pernah berpikir melibatkan rakyatku. Aku berharap bahwa setelah salah satu dari kami kalah, selesai pulalah persoalan. Tapi kini…”
Pandanganku mengabur. Darah makin hangat melumuri kedua telapak tanganku. Lututku gemetar.
Dan kemudian hanya wajah Dewi Tara yang tampak di mataku, dengan senyumnya yang paling indah.
Sempurnalah sudah kehilanganku.
***
(Cerpen ini dimuat di Media Indonesia, 10 September 2006

No comments: