Wednesday, January 2, 2008

Aku Ingin Menulis Tubuhmu

AKU sebenarnya malu berterus terang seperti ini. Namun, karena kebugilan makin terbentang di mana-mana, baiklah, aku memang ingin sekali menulis di sekujur tubuh bugilmu. Ingin kutulis kisah sederhana tentang keindahan meskipun aku yakin segenap lekuk tubuhmu lebih indah dibanding jalinan kata mana pun. Aku juga tahu rangkaian kata-kata dalam kisah yang kaususun selalu membuatku seperti tak perlu lagi membaca cerita atau bahkan puisi yang lain. Toh, aku hanya ingin menggoreskan kata-kataku sendiri dengan ujung-ujung jari, lebih dari sekadar untuk meyakinkan bahwa tak ada satu bagian pun dari tubuhmu yang bakal terlampaui.
Aku memang tak yakin apakah waktu kita masih panjang terbentang. Namun aku cukup yakin kita masih punya waktu sebelum jam tanganmu berubah jadi sapu dan kau berubah menjadi abu.
Sebenarnya, aku ingin benar-benar menyapukan ujung pena di sekujur permukaan kulitmu yang telanjang (yang niscaya putih dan lebih lembut daripada sutra cina), agar kata-kataku tak begitu saja hilang, dan kuharap kata-kataku akan memperindah tubuhmu—lebih indah dari sekadar sapuan garis dan warna. Karenanya akan kutulis dengan bermacam warna tinta, tergantung di bagian mana aku menulisnya.
Namun kupikir tulisan yang tak kasat mata akan lebih bermakna daripada sekadar rentetan huruf-huruf yang sudah terlalu banyak berhamburan di lembar-lembar buku dan bahkan di udara sekitar kita, yang kerapkali tak bisa kuikuti alur dan maknanya. Bukankah kau sendiri seperti tak habis-habis merangkai kata-kata yang bercerita tentang gelegak cinta?
Akan kuawali ceritaku lewat goresan jemariku di anak-anak rambutmu, lalu keningmu, terus turun ke lekuk antara hidung dan pipimu, berbelok ke bibirmu, dan terus melintas di dagumu yang sedikit papak di bagian bawah—yang justru menambah sensual wajahmu. Akan kutuliskan dua tiga baris kata-kata bersahaja tentang kecantikanmu: kecantikan yang sunyi namun menyimpan bara yang menghanguskan.
Aku ingin terjun dan hangus dalam rasa bahagia.
Mungkin bara itu bukan yang kaukehendaki. Namun bukankah kau salah satu yang terindah dari barisan sosok jelita yang dengan keteguhan hati bercerita tentang wajah vagina?
“Jangan hanya menilai kata per kata secara harfiah, dong. Aku tidak menulis soal kegiatan seksualitas kok, melainkan hanya ingin mengungkapkan kegundahanku, sebagai perempuan yang masih saja menyaksikan diskriminasi dalam masalah seksual,” katamu, ketika orang-orang menyudutkanmu sebagai perempuan yang menyerupai kuda bersayap sekaligus bertanduk dan terbang di antara bintang-bintang.
Mungkin jemariku akan berhenti sejenak. Kan kutatap matamu yang seperti purnama senja hari. Indah tapi penuh misteri. Kuingin berendam dalam samudra kata-kata yang bergolak dalam matamu.
Setelah itu, ingin kususun kata-kata di jenjang lehermu yang putih, kugoreskan perlahan, huruf demi huruf, melingkar menyusuri garis-garis samar dari belakang hingga depan dan memutar kembali ke belakang: barangkali kau adalah perempuan yang terlahir untuk menjadi pucuk bambu yang meliuk-liuk.
Angin mengelusmu, juga menghantammu. Mentari memujimu dan hujan mengutukmu.
“Padahal, apa yang kutulis sama sekali tidak melebihi dari realitas. Bukankah realitas kita jauh lebih fiktif ketimbang fiksi?”
Ya, tapi bibirmu bukan fiksi. Ingin terus kutatap bibirmu ketika kau bicara. Ketika mengatup dan membuka, bibirmu lebih mengingatkanku kepada gendewa. Ingin kurentang dan kulepaskan tali gendewamu dengan bibirku. Mungkin anak panahmu akan melesat menembus lidahku. Namun aku justru akan bahagia dan mati dengan penuh senyuman.
Ingin kubariskan serangkaian kata menyusuri pundakmu, sebelum mungkin menukik cepat dalam sebuah lengkungan yang indah seperti pualam, hingga lenganmu, dan ingin kurasakan gemetar lenganmu ketika ujung jemariku menyusun kata-kata di lekukan siku. Oh, engkau adalah Dyah Pitaloka yang tak pernah menyerah di hadapan sang maha perkasa mana saja. Siapa bisa menahan ketika kata-kata menjelma pusaka patrem yang mengilat memantulkan mentari di palagan Bubat?
“Jangan bilang bahwa aku pemberani. Aku hanyalah cermin zaman. Seperti halnya aku pasti akan menolak kawin paksa kalau hidup di zaman Siti Nurbaya.”
Ya, pada mulanya aku juga tersentak-sentak ketika kau hamburkan bagian-bagian tubuh baik lelaki maupun perempuan yang mestinya—siapa yang menciptakan kemestian?—tersimpan rapat sebagai aurat. Aku dihantam-hantam rasa jengah dan juga kebingungan. Mungkinkah karena aku terlalu lama menikmati kurungan romantisme zaman yang beradab?
Namun lama-lama aku harus menyadari bahwa kau hidup pada zaman ketika pembedaan perlakuan terhadap perempuan tetap menjadi judul besar. Pasti kami para lelaki merasa seperti ditelanjangi ketika makin banyak perempuan jelita justru menyingkapkan selubung alat-alat vital mereka.
Mungkinkah kami, para lelaki, ribut soal wajah vagina dalam kitab-kitab sastra kita belakangan ini hanya karena yang menuliskannya adalah para wanita? Bukankah kami para lelaki sudah lama biasa menelanjangi diri sendiri?
Maka untuk kali ini, ingin kulanjutkan kisah sederhanaku ketika jemariku mendaki, menuruni, dan mendaki lagi kubah-kubah gunungmu yang pasti kenyal seperti seperti bola karet, di antara helai-helai rambut lurusmu yang halus dan harum. Mungkin sejenak melata di sekeliling lembah, sebelum mendaki dan memutari puncak kepundan, sembari menunggu entakan gempa yang menyemburkan magma.
Nanti, kalau kisahku berakhir, tak lagi ujung jemari, tapi aku ingin mengulum dengan bibirku puting-puting bola karetmu. Bukankah kita senasib? Kau selalu rindu untuk menyusu ayahmu, dan aku senantiasa mendamba menyusu ibuku, yang terus kucari selama beratus purnama.
Bukan tidak mungkin, kau adalah jelmaan ibuku yang hilang beratus tahun lalu. Sebab, sebagaimana ibuku, kau adalah puncak keindahan.
“Aku hanya menulis hal-hal yang kutahu. Aku tak tahu politik atau sains. Aku tak tahu apa yang indah. Aku juga tak bisa mengungkapkan kata-kata penuh etika. Aku menulis hanya yang kurasa.”
Aku memahamimu melalui berbagai kisahmu, termasuk sebuah cerita tentang cinta hanya melalui rentetan pesan singkat di telepon seluler. Sebuah kisah yang aneh, dengan bentuk dan gaya yang aneh, dan aku dicekam oleh sebuah getar yang aneh.
Karena itu aku ingin memasuki pertengahan kisah sederhanaku di permukaan perutmu, yang pasti selembut boneka bayi. Akan kugoreskan ujung jemariku, menyusun kata-kata menurut jalur-jalur yang berpusat pada lekuk pusarmu.
Aku sering mabuk oleh rangkaian kata-katamu.
“Jangan berhenti hanya ketika aku menulis alat kelamin. Kalau demikian, kalian melupakan esensinya.”
Aku tahu, aku tahu. Tapi apakah kami semua tahu? Kami, mungkin masih sebagian besar, masih tercengang, dengan debar menggembungkan dada kami, bahwa kalian, perempuan-perempuan dengan kecantikan yang sulit ditandingi melesatkan alat-alat kelamin kalian seringan anak-anak panah melesat dari busurnya.
Karena itu pula aku hanya ingin menulis bagian kisah sederhanaku di sepanjang punggungmu, menyusur tonjolan kedua belikat, melandai menuruni cekungan, berputar sejenak, dan memanjat kedua bulatan sempurna bokongmu, sembari kutunggu lenguhan dari bibir dan hidungmu.
Ingin kuhirup napas yang kau tiupkan. Ingin kupenuhi seluruh lapisan paru-paruku dengan napas zaman yang kaukibarkan.
“Jangan juga mencampuradukkan sebuah karya dengan penciptanya. Bukankah para pembaca kebanyakan sudah dewasa?”
Ya, ya, apakah karena seseorang mengenakan busana tertutup maka ia tak bisa mengungkapkan perilaku binal penuh kekerasan, juga hubungan badan yang gila antara seorang lelaki dan ibunya, meskipun dalam jalinan kisah berbungkus legenda?
Bukankah kita juga tak pernah membayangkan seorang profesor sastra yang santun adalah lelaki yang liar ketika ia menulis kisah manusia perunggu dalam sebuah kitabnya?
Namun ya itulah kita di negeri ini, negeri yang terus-menerus kekanak-kanakan dalam usia yang seharusnya dewasa.
Hanya saja, tentu jangan lantas kau berkata bahwa kita memang manusia yang bersayap dan bertanduk sekaligus, setia dan berkhianat pada saat yang sama, melantunkan doa dan dosa melalui bibir yang itu-itu juga. Toh, aku tak pernah menganggapmu berwajah ganda, pembual, sok gagah, apalagi skizofrenia.
Maafkan, sebelum masuk ke bagian akhir, ingin aku menyampaikan bahwa, dengan menulis di tubuhmu, aku tidak bermaksud menghinakanmu, apalagi mengutukmu, sebab segala macam kutukan toh tak pernah membuat kata-kata lenyap di udara.
Sebabnya adalah karena aku, sekali lagi, menjadi gila dalam lautan kata-katamu.
Karena itulah, ingin juga kuselusuri dengan rangkaian kata-kata sederhana, permukaan lembut belakang pahamu, melandai hingga tekukan lutut, sedikit mendaki bulir betismu—betis terindah di dunia—berputar di kedua mata kakimu, bulatan tumitmu, telapak kakimu, hingga ke ujung kuku-kuku kakimu.
Kau memang masterpiece.
Lantas, ingin kusapukan kata-kata di sekujur permukaan kulit yang membungkus tulang keringmu—aku pernah membayangkan mengelus kakimu justru ketika aku mengusap punggung pisau yang baru kuasah—menggelegak sejenak di bulat tempurung lututmu, sebelum menjejaki pahamu yang tentu masih kencang seperti tali busur terentang.
Ah, ingin kuakhiri kisah sederhana ini dengan menggoreskan kata-kata melalui ujung jemariku di seputar pusat misterimu.
Aku telah menyiapkan kalimat untuk ending kisahku: Nay, aku rela mati bersamamu di puncak cinta.
***
(Cerpen ini dimuat di Pikiran Rakyat, Januari 2006)

No comments: