Wednesday, January 2, 2008

Anak Perempuan yang Mencari Arjuna

AKU selalu membayangkan menjadi ibuku—walau hanya semalam—bercumbu dengan engkau, Tuan, merasakan hangatnya dekapan lelaki paling tampan di seluruh jagat.
Ya, Tuan, kalau engkau benar-benar lelanang ing jagat, lelaki paling sejati di alam semesta, akuilah bahwa engkau pernah berkunjung ke sebuah gubuk di padepokan nun di lembah Giriwana. Gunung yang berhutan-hutan, hutan yang bergunung-gunung. Jangan ingkari bahwa engkau pernah terkesima oleh seorang perempuan hutan, perempuan gunung, yang tak kalah kecantikannya dengan bidadari, bahwa engkau kemudian bercumbu dengannya karena perempuan itu pun tak bisa lari dari rasa terpikat oleh ketampananmu. Engkau mencumbunya dan menumpahkan kasih dan benih di rahimnya. Rahim ibuku.
Aku mengerti, dan ibuku lebih mengerti, Tuan memang tak bisa berlama-lama memadu kasih dengan ibuku karena darma Tuan bukanlah untuk itu, berdiam di hutan yang sunyi, melainkan untuk menyerap segala ilmu dari berbagai pertapaan dan padepokan. Dan karena itulah ibuku ikhlas, dan bahkan selalu mendoakan kepergian Tuan demi darma yang lebih besar, menjadi teladan bagi semesta. Ibuku juga berlapang jiwa kalau kemudian Tuan bertemu dengan putri para brahmana dan para resi, kembali menumpahkan kasih dan benih-benih di rahim mereka.
Mungkin karena terlampau lama memendam rindu, ibuku tak tahan lagi. Namun percayalah, dia pergi dengan senyum melumuri wajahnya. Dia pergi dengan wajah yang lebih jelita daripada sebelumnya. Boleh jadi ibuku berharap menjadi salah satu dari seribu bidadari di surga yang kelak mendampingi Tuan di alam nirwana.
Dan inilah aku, yang entah berapa purnama sudah menelusuri jejak yang Tuan tinggalkan, menuruni lembah, menyusuri sungai, bertanya ke selaksa orang, di mana gerangan Istana Madukara berada.
Wajahmu milik separo jagat, kata ibuku. Separo ketampanan lainnya dibagikan ke segenap lelaki di jagat ini. Carilah dia, kau tak akan keliru mengenalinya. Sebab, tak ada yang menandinginya. Dialah satu-satunya.
O, ibuku sangat benar. Kalau saja engkau bukan lelaki yang pernah membuahi ibuku, pasti aku pun akan jatuh cinta. Engkau tetap lelaki tampan yang seakan-akan tak lekang oleh waktu yang melesat-lesat menimbulkan desing seperti jamparing. Engkau masih tampak seperti lajang yang siap menerjang, bukan seorang ayah yang biasanya melangkah dengan susah payah.
Namun sayang, Tuan seperti hendak mengingkari kenyataan.
Aku tak punya anak perempuan, kata Tuan, dengan tatapan yang aneh, menyorot tajam seperti bintang malam yang paling terang. Aku terkesima sekian jenak. Nyaris aku lupa diri bahwa engkaulah yang sekian lama kucari sebagai seorang ayah.
Aku tak mungkin punya anak perempuan, kata Tuan sekali lagi.
Aku terpana. Benarkah kalimat demikian meluncur dari bibir indah lelaki kesayangan dewata?
Oh, apakah seorang anak perempuan menjadi aib bagi ksatria pelindung jagat seperti Tuan? Bukankah kita tak bisa menentukan sendiri keturunan yang kita kehendaki? Dan bukankah tanpa ibu Tuan, yang niscaya seorang perempuan, Tuan tak akan menjelma ke dunia?
Dan, bukankah Tuan punya putri bernama Pergiwa, yang kemudian dipersunting saudara sepupunya, ksatria berotot kawat dan bertulang besi?
Apakah Tuan berkata demikian karena aku perempuan yang tak punya nama, tak jelas asal-usul, dan berpenampilan jelata?
Kita bertemu dalam sebuah kesempatan ketika Tuan mengunjungi Indraprasta untuk sebuah pertemuan dengan saudara-saudara Tuan. Tentu tak jauh dari persiapan menuju sebuah perang besar yang mengerikan. Sebuah perang saudara antara Pandawa dan Kurawa.
Sepanjang perjalanan dari Madukara, semua orang mengelukan Tuan. Semua perempuan berteriak histeris dengan tangan yang menggapai-gapai ingin meraih tangan Tuan yang melambai-lambai. Mereka berteriak parau dengan wajah yang memerah dan air mata yang tercurah, seakan-akan mereka bahkan rela untuk menyerahkan tubuhnya demi merasakan setetes belaka cinta Tuan. Dan Tuan perciki mereka dengan senyum terindah yang makin membuat mereka berteriak-teriak hingga kehilangan suara.
Tak ada jalan bagiku untuk mendekati Tuan, tentu saja. Bahkan sekian tangan yang menggapai pun tak mampu sekadar menyentuh karena Tuan berada di dalam kereta yang cahayanya meredupkan sang surya, dan para pengawal Tuan berjajar dengan wajah-wajah yang keras seperti perunggu. Lebih-lebih aku hanyalah perempuan gunung dengan pakaian sederhana sekadar membungkus tubuh.
Pertemuan kedua terjadi ketika aku nekat mengetuk gerbang istana Madukara. Gerbang berwarna emas yang mengilat memantulkan surya, diapit sepasang pohon cendana yang menguarkan bau harum di udara, sesungguhnya memancarkan sebuah keakraban. Namun semua itu dihalangi para hulubalang dengan pandangan yang melecehkan.
Sekilas kulihat Tuan melintas halaman istana, menggandeng seorang perempuan yang cantik jelita. Ah, tentu dia adalah Dewi Wara Sumbadra yang tersohor itu. Benar, Arjuna dan Sumbadra memang Kamajaya dan Kamaratih yang menitis di arcapada. Aku begitu terpesona sehingga aku menjadi lupa untuk apa aku datang ke sana. Aku mendapat kesan bahwa Tuan melihatku, tapi sayang mungkin itu kesan yang berlebihan.
Besoknya, aku kembali ke istana. Kali ini aku lebih punya keberanian. Sebab, aku makin yakin bahwa Tuan memang ayahku. Masih dengan pandangan melecehkan, para hulubalang sesungguhnya mencoba menghalangi jalanku untuk masuk melewati gapura istana. Mungkin karena aku memang tetap tampil dengan balutan busana yang sederhana. Istana Madukara terlampau gemilang untuk disambangi seorang berpenampilan kumuh dari kampung antah berantah.
Untunglah kali ini pun Tuan lewat di halaman istana, sendirian, dan lebih dari itu melihatku lagi. Bukan sekadar kesan, tapi Tuan benar-benar memalingkan wajah menghadapku dan berhenti sejenak, dan bahkan kemudian menghampiriku.
“Ada apa, gadis cantik?” tanya Tuan.
Sungguh, aku berdebar mendengar sapaan Tuan. Ah, ayahku benar-benar masih kelihatan begitu muda dan tampan. Tubuhnya seakan bercahaya dan harum melati samar-samar menyelinap lubang hidungku.
“Aku mencari ayahku,” jawabku.
Tuan menatapku dengan kening yang sedikit berlipat.
“Dan kalau benar Tuan bernama Arjuna, Tuan adalah ayahku.”
“O, gadis cantik, buktikan bahwa kamu anakku,” kata Tuan, tetap dengan tatapan lembut dan tutur kata yang tenang.
“Aku adalah anak seorang perempuan di sebuah padepokan di Gunung Giriwana, gunung yang berhutan-hutan, hutan yang bergunung-gunung. Tuan tentu ingat pernah menyambangi padepokan kakekku dan menjalin cinta dengan ibuku. Inilah aku, buah cinta Tuan dan ibuku.”
Tuan tersenyum aneh yang tak bisa kuterjemahkan maknanya.
“Itu belum menjadi bukti. Aku mengunjungi berbagai padepokan, gunung, lembah, tepi laut, bahkan negeri siluman dan Suralaya. Itu adalah darmaku sebagai seorang ksatria yang selalu haus menggali ilmu dan menerapkannya di dunia. Aku juga tak pernah menghitung berapa padepokan yang pernah kukunjungi dan berapa pertapa dan brahmana yang menjadi guru tempat menimba ilmu.”
“Dan Tuan selalu bercumbu dengan putri para brahmana dan pertapa itu dan tentu Tuan mengenal nama ibuku.” Aku menyebut nama ibuku.
“Ah, aku tak ingat nama mereka satu per satu.”
Aku mengeluh kecewa. “Namun bagaimanapun, inilah saya, salah satu benih Tuan yang telah tumbuh.”
“Tapi dalam pengembaraan itu aku tak mungkin punya anak perempuan.”
“O, kenapa tidak?” Aku menatap Tuan dengan mulut ternganga. Dada seperti digores ujung keris Pulanggeni.
Tuan terdiam.
“Apakah tidak mungkin dari sekian banyak benih keturunan Tuan adalah perempuan karena memang peluang untuk itu sama besarnya?”
“Kalau begitu, datanglah sepekan lagi.”
Mungkin begitulah cara Tuan untuk meyakinkan diri bahwa aku anak Tuan. Bahkan seorang Wisanggeni pun, seperti cerita yang sampai kepadaku entah angin mana yang mengisahkannya, harus melalui tahap-tahap yang cukup panjang untuk sampai diakui sebagai putra Tuan. Bayangkan, Wisanggeni, anak Tuan dengan seorang bidadari swargaloka bernama Dewi Dreasanala itu, pun harus melalui semacam ujian. Sebab, Tuan tak begitu saja percaya terhadap pengakuan secara sepihak.
Mungkin begitu pula dengan Angkawijaya kalau saja ia lahir bukan di istana. Setidaknya, mungkin Tuan harus mengujinya melalui beberapa jurus atau sekian banyak ajian. Mungkin Tuan harus benar-benar yakin bahwa anak Tuan adalah anak-anak yang takkan kalah digdaya dibanding Tuan sendiri.
Kalau Wisanggeni saja harus melalui ujian yang berat, bagaimana dengan seorang perempuan yang tanpa nama?
Aku membelalak ketika seribu ksatria duduk bersimpuh di paseban. Semuanya lelaki. Semuanya berwajah tampan dengan garis wajah yang mirip Tuan.
Hanya aku yang bukan lelaki.
“Aku adalah anak Arjuna,” kudengar salah seorang ksatria berbicara.
“Aku juga anak Arjuna.”
“Aku juga.”
“Siapa kamu, perempuan?”
“Aku anak Arjuna!”
Semua mata menatapku.
Aku balas tatapan mereka.
Aku meloncat ke tengah alun-alun.
“Siapa berani menghadapiku? Aku akan membuktikan bahwa aku anak Arjuna!”
Aku telah bersiaga dengan segala jurus dan ajian.
Tuan, demikiankah cara yang harus kutempuh untuk menunjukkan bahwa aku anak Tuan?
***
(Cerpen ini dimuat di Media Indonesia, 23 Juli 2006)

No comments: