Wednesday, January 2, 2008

Sang Terkutuk

TIUPAN angin lirih dari arah hutan Saptarengga yang membawa harum cempaka dan kemudian menyingkapkan kainmu, Dinda, sehingga memperlihatkan putih betismu—betis terindah di mayapada—membuatku sekali lagi harus mati-matian menahan gelegak cinta. Sepanjang hayatku, aku mampu menghadapi sesakti apa pun ajian serta pusaka. Namun, terhadap kecantikanmu, aku selalu terkapar tak berdaya apa-apa.
Derita apa lagi yang lebih berat daripada tidak bisa mengecap cinta justru dari kekasih yang setiap hari mengiringi?
Oh, Putri Mandaraka, apalah arti nyawa dibanding cinta yang kudamba sepanjang masa.
Penaklukan-penaklukanku, boleh jadi, menjadi sekadar darma yang harus kujalani, sebagai seorang ksatria yang menggenggam berbagai pusaka. Telah kulakoni semua kisah yang diguratkan semesta. Namun, mungkin tak ada yang tahu, sepak terjangku sesungguhnya semata-mata pelampiasan berahiku yang tak pernah bisa tersalurkan.
Kau tahu, bahkan semenjak aku baru lahir ke jagat ini, aku harus memikul sebuah kemustahilan. Sebagai bayi merah, aku mesti menghadapi maharaja negeri Kiskenda, Nagapaya yang perkasa, yang ayahku, Kresna Dwipayana, bahkan para dewa, pun tak sanggup menaklukkannya! Aku tak tahu logika jagat raya, tapi aku berhasil menjadi sang pemenang dan kemudian beranugerah pusaka sakti Hrudadali, minyak tala, dan gelar Dewanata.
Darma ksatria pulalah tentu yang membawaku mengikuti sayembara di Negeri Mandura. Sebagai calon pemegang takhta, aku harus memiliki wanita utama untuk menjadi belahan jiwa. Sayang aku terlambat dan putri Mandura telah diboyong ksatria bernama Narasoma. Namun, justru kesombongannyalah yang membuatku memiliki kesempatan menjadi peserta terakhir sayembara.
Ksatria Mandaraka itu menantangku, dan aku melayaninya. Aku bisa mengalahkannya dan berhak atas putri Mandura yang jelita. Ia bahkan rela menyerahkan adik perempuannya, engkaulah Dinda, putri yang tak kalah jelita.
Dan, kalau saja aku mau, bisa saja aku memiliki untukku sendiri Gendari, putri Plasajenar yang parasnya cantik bersinar, yang diserahkan sang kakak Sakuni sebagai tanda takluk setelah mencoba merebut engkau dan ayundamu dari tanganku. Gendari kuserahkan kepada kakakku karena aku toh merasa lebih dari cukup memiliki engkau dan ayundamu.
Namun darma demi darma, pertempuran demi pertempuran, kisah demi kisah, membuatku tak juga bisa memadu cinta dengan dua putri terkasih. Kau tahu, demi kedigdayaan negara, aku mesti menaklukkan Magada, Mantili, Kasi Sumba, Pundra, dan lain-lainnya. Aku bahkan tak bisa menolak setiap permohonan pertolongan. Prabu Basudewa yang dirongrong Gorawangsa, misalnya, tentu aku tak bisa melepas tangan dan memalingkan muka. Aku juga tak bisa berdiam diri ketika kesucian Kaendran diacak-acak Kalaruci.
Di tanganku, negeri ini menjelma menjadi rembulan yang menyinari angkasa raya, yang cahayanya terus memancar sepanjang masa. Negeri-negeri tetangga berbondong untuk menjalin persahabatan yang abadi. Rakyat aman dan sejahtera karena tak ada yang berani mengganggu ketenteraman negeri.
Namun, apalah arti semua itu kalau aku belum juga mengecap setetes pun kebahagiaan cinta? Bayangkan, bertahun-tahun aku harus mengekang diri dari segala berahi sementara setiap malam di sebelah kananku berbaring ayundamu dan di sebelah kiriku engkau, oh, dua putri yang kecantikan dan kemolekannya tak ada bandingannya di negeri ini, bahkan mungkin di jagat ini!
Semua hanya karena kutukan yang tak pernah bisa kupahami. Apa yang telah kuperbuat pada kehidupan-kehidupanku sebelumnya?
Bahkan jauh sebelum aku lahir, aku harus menerima kutukan hanya karena perilaku ibuku. Entah karena ia merasa bahwa ia masih istri raja sebelumnya, entah juga karena ia merasa terlalu jelita dibanding ayahku yang memang berwajah buruk, dengan kulit muka yang legam dan janggut menjalar di sepanjang dagunya, maka ketika sampai pada puncak persenggamaan, wajah ibuku memucat seperti kapas dan berpaling untuk menghindari wajah sang suami.
Maka lahirlah aku dengan wajah yang pucat dan kepala yang tengeng—meski orang-orang tetap menilaiku tampan.
Dan takkan bisa kulupakan, Dinda, peristiwa paling terkutuk itu, peristiwa yang membuatku selalu terayun-ayun di antara penyesalan dan kemarahan. Aku, seorang pemburu yang tak terlawan, yang tak pernah gagal setidaknya membawa pulang seekor menjangan, hari itu tak menjumpai satu pun hewan di hutan yang biasa menjadi tempat perburuan. Sudah kujelajahi berbagai sudut hutan, tapi yang kudengar hanyalah desau angin basah di antara dedaunan. Ke mana para penghuninya yang biasanya mudah kudapatkan meskipun bersembunyi di setiap gerumbul perdu atau pepohonan?
Bahkan hingga batas rimba, aku hanya menemui kesunyian yang menggiriskan.
Ya, bagaimana mungkin di rimba Tundalaya nan perawan, yang pekat oleh berbagai tetumbuhan, tak kudengar bahkan dengung serangga dan kelepak burung kolika? Atau apakah ini bagian kisah yang tengah dituliskan oleh si pemegang takdir manusia? Takdir macam apa yang harus lebih dulu melalui jalan peristiwa yang tak masuk akal?
Akhirnya aku bisa melepas napas lega ketika kulihat sepasang kijang justru di batas hutan. Yang satu tengah masyuk mengunyah rumput, sedang yang lainnya mengusap-usapkan sepasang tanduknya yang indah di tubuh pasangannya.
Aku tahu, dua kijang itu tengah menjalin kasih. Dan sesungguhnya aku juga tahu, tak boleh melepaskan senjata terhadap makhluk yang tengah memadu asmara. Namun, ah, dalam sekian detik itu aku khilaf, barangkali oleh kepenatan dan pertanyaan yang bergulung-gulung di kepala.
Kurentangkan busur dan kubidikkan anak panah, yang kemudian melesat membelah udara dan menembus tepat di tengah leher kijang jantan, menyemburkan darah merah di kedua lubang lukanya. Kubiarkan sang betina tunggang langgang menembus pekatnya rimba.
Dan aku kembali diempaskan ke belantara kesadaran ketika sang kijang jantan yang tengah meregang nyawa menatapku melalui kedua matanya yang muram. “Oh, raja darah Barata, apa dosa yang telah kulakukan sehingga tanpa sebab kau tega melepaskan senjata?” katanya terbata-bata.
Aku mencoba berkilah bahwa tak ada benar atau salah, suci atau dosa, di antara pemburu dan binatang buruan. Bukankah yang ada adalah kekuasaan? Pemburu punya wewenang untuk memburu, dan binatang punya wewenang guna menghindar terhadap bahaya. “Kenapa engkau tidak menghindar kalau tahu ada ancaman?”
Sang kijang membakar dadaku dengan sorot matanya. “Oh, Sang Prabu yang tengah mengumbar amarah. Benar, apa pun isi rimba boleh engkau buru sesuka hati. Itu memang anugerah yang kita terima. Namun engkau pasti tahu kekecualiannya, yakni jangan kau usik mereka yang tengah berkasih-kasihan membangun perkawinan, menikmati indahnya cinta, mencoba meneruskan kelangsungan semesta. Merpati yang saling bercumbu di dahan perdu, bahkan kupu-kupu yang menjalin asmara di langit biru. Ketahuilah, saya Kimindama yang tak pernah berbuat dosa. Karena itu, apa yang saya ucapkan niscaya akan menjelma nyata: mulai hari ini, engkau tak dapat memperoleh kemuliaan cinta. Ajalmu akan datang tiap engkau berhasrat meraih indahnya asmara.”
Aku menjerit mengungkapkan sesal yang menggumpal. Namun Sang Kimindama telanjur muksa, dan kutukan itu harus kupikul detik itu juga. Selamanya.
Dinda, meski terlampau berat, mungkin sebenarnya aku masih akan sanggup menyandang kutukan ini. Bukankah aku bisa mengheningkan batin melalui tapa di berbagai sudut gunung yang sunyi? Di keheningan seperti itu, aku bisa memuja Sang Pemilik Semesta, seraya berharap bisa lepas dari kutuk Kimindama.
Namun kau pasti bisa merasakan, betapa hancurnya hatiku—meski atas nama takdir sekalipun—bila mengingat ayundamu, melalui ajian adityaredaya-nya, tiga kali bercumbu dengan tiga dewa yang berbeda, Batara Darma, Batara Bayu, dan Batara Indra, yang memberinya Puntadewa, Wrekodara, dan Janaka. Oh, Dinda, bukan hanya tiga kali, melainkan empat. Bukankah sebelum menjadi permaisuriku, tatkala masih menjadi bunga di negeri Mandura, ayundamu pernah menjalin asmara dengan Batara Surya, yang membuahkan putra bernama Aradeya—yang untuk menghilangkan nista dan menjaga lambang kesuciannya terpaksa dilahirkan melalui telinga?
Dan kemudian, aku pun harus menutup mata dan mengunci lubang telinga ketika kau sendiri, wanita yang begitu kudamba, entah demi memenuhi guratan takdir entah ada alasan lain, juga melalui mantra adityaredaya yang dibisikkan ayundamu, memadu kasih dengan sang dewa kembar, Batara Aswin, yang kemudian memberimu putra kembar Nakula dan Sadewa.
Lengkap sudah kepedihan hati ini.
Memang benar, kalau tidak begitu, aku tak akan pernah punya keturunan. Kehampaan hati seperti apa yang bisa mengalahkan kehampaan hati seorang ksatria yang tak punya siapa pun yang akan diwarisi segalanya? Siapa yang akan melanjutkan terah Barata demi kejayaan Hastinapura?
Namun, aku hanyalah manusia biasa, yang belum juga memahami mengapa takdirku tak lebih dari kutukan demi kutukan belaka.
***
DINDA, lihatlah lebah-lebah yang mencari madu mengerumuni bunga asoka, dengarlah kicau sepasang cucakrawa yang bersahut-sahutan di dahan-dahan pohon parijatha, dan ciumlah wangi teratai yang sedang mengembang di permukaan telaga. Semua itu sungguh membuat wajahmu kian jelita.
Dan ah, embusan angin yang harum itu lagi-lagi menyibakkan kainmu, memperlihatkan betismu yang bercahaya, menjadikan keindahan itu makin sempurna.
Marilah Dinda, jangan ragu, aku sudah memutuskan, aku rela melepas nyawa dan segala kemewahan dunia demi setetes indahnya cinta.
***
(Cerpen ini dimuat di Suara Merdeka, 26 Juni 2005)

No comments: