Wednesday, January 2, 2008

Malam Tersayat di Indraprasta

GESEKAN rebab terus mengalun, menyayat lengkung malam yang belum lama menyungkup istana Indraprasta, mengiringi suara lembut sang wiraswara yang kadang terdengar melengking, menyilet hening, dalam sebuah irisan yang tipis dan panjang.
Balairung istana memang terus dibekap sunyi. Lengang. Sang Prabu belum juga menjega menuju singgasana yang sudah disediakan untuknya.
**
OH, Ki Dalang rupanya sedang gelisah karena kehilangan Prabu Yudistira. Ia sudah menyiapkan sejak awal, sesuai dengan alur cerita yang bakal dibawakannya. Namun Yudistira seperti lenyap ditelan bumi. Apakah ia masih tergulung di kotak wayang? Tak mungkin, ia yakin sudah mengambilnya, menggeletakkannya tak jauh dari tekukan lutut kanannya. Sebagai pembuka cerita, Yudistiralah yang akan ia ambil pertama kali.
Namun, di mana engkau, Darmakusumah?
Ki Dalang makin terkejut ketika baru disadarinya wayang-wayang seakan berebut tempat di sebelah kanan batang pisang, sementara hanya tinggal beberapa sosok yang masih bertahan di sebelah kiri. Para raksasa, siluman, dan denawa buruk rupa berdesakan dengan para ksatria tampan dan putri-putri raja yang jelita. Para cecunguk arcapada tak malu-malu berjubal di antara para dewa dan bidadari.
Tak ada lagi batas antara yang suci dan yang profan. Para pembela kebenaran berjejalan dengan para pengusung kejahatan.
Mengapa bisa begitu, Ki Dalang tak tahu. Ketika menyusun wayang-wayang itu, ia yakin, sebagaimana seharusnya, para ksatria dan para dewa semua berjajar di sebelah kanan dan para raksasa berbaris di sebelah kiri batang pisang. Semua tersusun rapi, memang bukan menurut derajat kasta, melainkan menurut tinggi badan, dari yang terkecil di depan hingga yang terbesar di paling belakang. Tapi kini susunan sudah tak lagi beraturan. Raksasa bertubuh bukit seenaknya menyelip di antara para dewi yang camperenik.
Siapa gerangan orang yang telah berani mengacak-acak susunan wayang-wayang? Ia yakin bukan orang-orangnya. Ada penyusupkah? Untuk apa? Untuk menghambat kariernya? Peristiwa seperti ini baru pertama kali dialaminya selama ia mendalang tak kurang dari dua puluh tahun.
Suatu saat Ki Dalang yakin sudah meraih Yudistira. Tangan kanannya mantap mencekal gagang, tangan kiri siap memainkan tangkai-tangkai tangan wayang. Ki Dalang sudah siap memunculkan Sang Prabu ketika ia nyaris terjengkang karena terkejut bukan kepalang.
Dia bukan Yudistira, melainkan Dursasana, salah satu ksatria Kurawa berwajah denawa. Bagaimana mungkin ia bisa keliru, tak bisa membedakan Yudistira yang berbadan ramping dan berwajah putih dengan Dursasana yang bertubuh anak raksasa dan berwajah merah?
Ki Dalang menggeleng-gelengkan kepala.
Keringat menjadi sungai di punggungnya.
Ketika dilihatnya Astrajingga tergeletak tak jauh di bawah kecrek, mendadak timbul gagasan improvisasi dalam benak Ki Dalang. Matanya memberikan isyarat kepada penabuh gendang. Dan entakan gendang perlahan-lahan mulai meningkat, baik dalam frekuensi maupun amplitudo, membuat udara malam menjadi hangat.
Namun sesaat sebelum menarikan Astrajingga dalam entakan gendang yang dinamis, Ki Dalang terkesima tak terkira. Yang terpegang di tangannya bukanlah Astrajingga, melainkan Dewi Drupadi. Oh, bayangkan kalau sampai calon permaisuri Indraprasta itu berjaipong di atas pentas…
Yang lebih aneh lagi, walaupun akhirnya Ki Dalang sudah bisa menemukan semua wayang yang dibutuhkan, ia tak mampu lagi mengendalikan jalannya cerita. Alur mengalir, berbelok, berputar, dan berlari di luar kehendaknya. Ia sudah jauh-jauh hari mempersiapkan episode cerita tentang pengukuhan Yudistira sebagai raja Indraprasta, sesuai dengan permintaan si empunya hajat, yakni bupati yang baru diangkat.
Namun cerita mulai berkembang tak tentu arah ketika tiba-tiba Bima menolak pengangkatan kakak sulungnya.
**
JAGAT bergetar ketika Bima mengucapkan kata-kata yang tak pernah terucapkan sebelumnya.
“Kakang Yudistira tak pantas untuk duduk di singgasana. Dosa Kakang masih belum terampunkan. Masa pengembaraan selama tiga belas tahun tak melekangkan kenangan buruk itu, ketika Kakang tega mempertaruhkan hak atas Hastina di atas meja permainan judi. Dan yang paling menyakitkan, tentu saja, adalah bahwa Kakang tega mempertaruhkan istri Kakang sendiri, Ayunda Drupadi, demi sesuatu yang entah apa maknanya.
Aku khawatir cacat perilaku Kakang masih akan membayang-bayangi takhta yang akan Kakang duduki. Maaf, Kakang, aku terpaksa mengajukan diri untuk bersaing dengan Kakang. Biarlah bukan lagi takdir yang menentukan siapa untuk menjadi apa. Zaman terus berjalan dan biarkan rakyat menjadi bagian penting dari kitab-kitab utama, bukan hanya kita para ksatria. Biarkan rakyat yang menilai dan menentukan siapa sesungguhnya yang berhak menjadi raja.
Bukan hendak membanggakan diri kalau aku membuka lembar-lembar catatan kita bahwa akulah yang pertama-tama membuka hutan Wanamerta ini, membanting tulang menumbangkan pohon-pohon raksasa berusia ratusan tahun, berhadapan dengan penghuni lama, para denawa dan siluman yang murka karena kediaman mereka kita usik. Hitunglah berapa kerajaan denawa yang kutaklukkan seorang diri sehingga mereka berbalik membantu kita membangun sebuah kerajaan baru.
Kakang, marilah kita bersaing secara jujur memperebutkan makhkota.”
Balairung istana senyap. Udara membeku.
Semua mata terpusat kepada sosok Bima yang hitam menjulang.
Yudistira menatap Bima dengan tatap lembut namun yang terasa mengandung duka yang dalam.
Ia hendak membuka mulut ketika tiba-tiba Arjuna berdiri dari tempat duduknya.
“Mohon maaf. Benar kata Kakang Bima. Kakang Yudistira tak pantas menjadi raja. Kakang tak bisa begitu saja menduduki singgasana hanya karena garis takdir, dilahirkan sebagai manusia berdarah putih. Selain dosa lama yang belum sirna, aku belum pernah melihat sepak terjang Kakang di medan danalaga. Mungkin benar Kakang punya kebijaksanaan. Namun itu hanyalah baru di atas kertas, baru dalam tataran imajinatif, belum terbukti dalam kenyataan di atas lapangan. Bagaimanapun, pengalaman di medan akan menjadi nilai tambah bagi seorang pemimpin.
Kakang Bima sudah membuktikannya sebagai pembuka Wanamerta dan bukankah sudah terbukti bahwa akulah pemanah yang tak tertandingi? Dengan kemampuanku, bukankah kita selalu unggul tiap ada tantangan untuk berperang tanding dari ksatria mana pun? Bahkan Suralaya pernah meminta bantuanku ketika Batara Surya, Darma, dan Indra pun tak kuasa menahan terjangan Prabu Niwatakawaca.
Nah, bukankah aku juga berhak untuk merasakan empuknya singgasana? Bukan hanya berhak, tapi aku yakin aku pantas duduk di sana.
Marilah Kakang Yudistira dan Kakang Bima, kita berebut secara ksatria untuk menentukan siapa yang paling layak berkuasa di Indraprasta.”
Balairung kembali senyap. Udara lagi-lagi seperti terperangkap.
Kali ini semua tatap memusat pada sang panengah Pandawa.
“Tunggu Kakang semua.”
Dua sosok yang serupa, dengan wajah dan busana nyaris tak berbeda, berdiri hampir bersamaan.
“Kalau Kakang semua sudah memutuskan demikian, bukankah kami juga memiliki hak yang sama?” kata Nakula.
“Mungkin kami tak pernah punya peran yang nyata dalam perjalanan kita selama ini. Namun justru karena itulah kami menjadi sadar bahwa nasib memang ditentukan oleh diri sendiri,” timpal Sadewa.
“Kami tak akan menjadi apa-apa kalau kami hanya berdiam diri, sekadar mengikuti langkah yang telah ditentukan Kakang semua. Karena itu kami juga ingin mengguratkan kisah kami sendiri.”
“Kami siap bersaing dengan Kakang semua.”
Malam yang senyap makin mencekam.
Lalu kisah menjadi makin runyam ketika tak lama kemudian tokoh-tokoh golongan kiri—maksudnya mereka yang biasanya berbaris di sebelah kiri batang pisang—berbondong-bondong mendaftarkan diri untuk menjadi raja di Indraprasta. Dari Jayadrata, Citrayuda, Dadungawuk, Padasgempal, hingga Sarpakenaka beramai-ramai mendatangi istana. Bahkan para brahmana, yang semestinya memiliki darma sendiri untuk antara lain menjadi pemomong dan penyeimbang para penguasa, turun dari pertapaan mereka yang terpencil mendatangi pusat kerajaan, mengadu nasib untuk menjadi penguasa.
**
“STOP! Stop!”
Bupati baru mencelat dari tempat duduknya di barisan terdepan para tamu. Mukanya seperti udang matang, malu, karena ia berdampingan dengan tokoh-tokoh terhormat tingkat provinsi.
“Ki Dalang, kenapa cerita menjadi tak keruan begitu?” semburnya sambil berkacak pinggang di atas panggung.
“Saya sendiri tak tahu,” sahut Ki Dalang dengan keringat membanjir di wajahnya.
“Bagaimana mungkin? Bukankah kamu yang mengatur cerita?”
“Lihat sendiri apa yang terjadi.”
Di atas pentas batang pisang, rupanya wayang-wayang berjalan, menari, dan berbicara sendiri!
***
(Cerpen ini dimuat di Suara Merdeka, 31 Oktober 2004)

No comments: