Monday, January 21, 2008

Satu Episode

LELAKI itu selalu berdiri mematung. Tangannya bersedekap. Matanya menatap dunia lewat jendela nako kamarnya. Setiap detik, setiap menit, setiap hari, ia menyaksikan kejadian-kejadian sehari-hari di jalanan. Mobil-mobil dan becak berlalu. Manusia-manusia hilir-mudik. Angin berembus menggoyang pepohonan. Sinar matahari merejam aspal. Hujan mengguyur halaman.
Kemudian semua itu ia rekam dalam angan. Kadang ia pindahkan dalam karangan. Atau ia simpan dalam lukisan. Meskipun setelah itu karangan serta lukisannya ia sobek menjadi serpihan kecil, untuk ia buang ke tempat sampah di pojok kamar.
Syahdan, matahari belum sepenggalah. Mendadak ia dikejutkan suara ribut di luar. Tampak beberapa orang sibuk memapah seorang wanita hamil. Dan ia mendengar teriakan-teraiakan orang.
“Panggil taksi cepat!”
“Becak saja!”
“Taksi, goblok!”
“Gimana manggilnya?”
“Telepon, tolol!”
“Di mana telepon?”
“Aduuuuh…!”
Ia heran, kenapa untuk menolong orang melahirkan saja mesti ribut tak karuan begitu.
Kemudian terdengar suara ayahnya dari ruang tamu. “Si Mince hendak melahirkan, Bu. Air ketubannya keburu pecah.”
“Oooo…”
Lantas ia mengambil mesin tik, memasang selembar kertas, menotok-notok huruf-huruf, membentuk kalimat: Seorang bayi lahir hari ini. Dunia bertambah satu penduduk.
Ia menarik kertas itu dari mesin tik. Membacanya sejenak. Kemudian meremas-remasnya menjadi berbentuk bulatan kecil, untuk akhirnya melemparkannya tepat di tempat sampah.
Lelaki muda itu kembali berdiri menatap kamar. Pikirannya tak pernah usai berputar-putar di langit kamar. Ia sendiri tak ingat lagi sejak kapan mengurung diri di kamarnya. Mungkin baru sepuluh hari yang lalu. Atau barangkali sepuluh bulan. Bahkan boleh jadi sejak sepuluh tahun yang lewat. Ia tak tahu pasti. Yang diingatnya adalah bahwa ia pernah mengalami peristiwa kecelakaan hebat.
Ia kurang pasti, apakah waktu itu ia yang menabrak mobil itu ataukah mobil itu yang menabraknya. Tapi ia masih utuh seperti semula. Kaki, tangan, dan anggota tubuh lainnya tak ada yang hilang. Tapi ada sesuatu yang kurang. Ia sendiri tak mengerti dengan jelas. Yang pasti, sejak itu ia merasa dunia yang paling menyenangkan adalah dunia kamarnya.
Siang, seusai lohor, ia menyaksikan suatu iring-iringan pengantin lewat di jalan depan rumahnya itu. Si lelaki sungguh tampan dengan stelan kain dan jas hitamnya. Di depan, si perempuan bagaikan bidadari dengan kebaya putih yang anggun. Tapi, tunggu! Rasanya ia pernah mengenal perempuan secantik itu. Tapi ia tak bisa mengingat lagi kapan dan di mana ia bertemu dengan perempuan itu. Rasanya ia pernah akrab dengan bidadari itu. Tapi juga rasanya terlalu jauh. Atau mungkin semua itu pernah ia alami dalam mimpi belaka.
Dari ruang tamu yang letaknya bersebelahan dengan kamarnya, terdengar suara ibunya.
“Pak, Pak, bukankah dia si Eti pacar anak kita dulu?”
Kembali pemuda itu dudukk di kursi, menyelipkan kertas pada mesin tik, menotok-notok huruf demi huruf perlahan untuk menyusun kalimat: Sepasang manusia berhasil menggapai satu masa paling bahagia. Bagaikan pangeran dan putri raja yang menikah dan bahagia untuk selama-lamanya.
Kemudian direnggutnya kertas itu, dibacanya sejenak, diremasnya menjadi berbentuk bola kecil, dan dilemparkannya ke tempat sampah. Napas lega diembuskannya dan mewujud uap air di nako.
Sore kelam berhias gerimis tiba-tiba dikejutkan pengumuman yang mungkin berasal dari pengeras suara mesjid kampung yang terletak tak jauh dari rumahnya.
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah meninggal dunia Bapak Sukram bin Waud. Jenazah akan dikebumikan sore ini juga.”
Tak lama kemudian ia menyaksikan lewat jendela puluhan orang mengiringi sebuah keranda yang diusung oleh dua orang lelaki. Di belakang keranda beberapa orang mencoba menyusut air mata. Wajah-wajah mereka redup sekelam senja itu.
Untuk ketiga kalinya ia memasang kertas di mesin tik, menotok-notok huruf-huruf, menyusun kalimat: Senja ini, satu nyawa meninggalkan dunia. Dunia berkurang satu orang.
Kemudian ia merenggut kertas dari mesin tik, membacanya sejenak, meremasnya, dan membuangnya ke tempat sampah.
Kali ini mukanya tertekuk, seperti sedang menekur.
Kemudian malam mengambil alih suasana.
Dan hari baru menjelang fajar ketika ibunya masuk ke kamarnya. Perempuanj setengah baya itu tertegun menyaksikan anak lelaki satu-satunya itu tengah khusyuk sembahyang dalam posisi tahiyat akhir. Ia mengenakan sarung polekat hitam, kemeja putih lengan panjang, dan kopiah hitam. Wajahnya tertunduk dalam-dalam. Telunjuknya lurus menunjuk ke arah barat. Kemudian wanita itu tertarik sehelai kertas di atas mesin tik. Nampaknya tulisan di kertas itu baru dibuat anaknya semalam atau pagi itu. Wanita itu mengambil kertas itu dan membacanya perlahan.

Manusia lahir
manusia menikah
manusia mati,
alangkah singkatnya perjalanan
adakah jarak waktu yang lebih pendek?


Kemudian wanita itu meletakkan lagi kertas di atas meja dan memandang anaknya yang masih tahiyat akhir. Ia menunggu dengan sabar. Ketika di luar cahaya fajar merekah, ia tengok lagi anaknya masih dalam posisi semula. Lama-lama ia curiga. Diguncang-guncangnya tubuh anaknya, sambil dipanggil-panggil pula namanya. Ketika terpegang tengkuk anaknya, ternyata dingin. Tangannya pun kaku.
Wanita itu menjerit membelah pagi. ***

(Ini cerpenku yang pertama kali dimuat di surat kabar, yaitu di Mandala, 27 Mei 1990)

No comments: