Sunday, January 6, 2008

Enam Jam Sepuluh Pengamen

BARANG siapa ingin jadi pejabat atau anggota dewan, sesekali cobalah naik bus ekonomi antarkota. Sebab, kalau sudah duduk di kursi empuk, tak bakallah punya waktu bepergian naik kendaraan seperti itu.
Begini ceritanya.
Dua minggu sekali, saya pulang kampung ke Bumiayu, Brebes. Setelah dua-tiga hari di sana, kembali lagi ke Bandung. Tiap hendak berangkat, saya harus menyediakan recehan, bisa seratusan, dua ratusan, atau lima ratusan.
Benar saja. Baru saja duduk di bus, muncul pengamen. Wajahnya tak asing lagi. Begitu juga prolognya: Selamat pagi menjelang siang, selamat jumpa lagi dengan saya, seniman jalanan, izinkan saya mengganggu sejenak ketenangan Anda. Lagunya pun itu-itu juga, campur sari, diiringi ukulele. Selesai satu atau dua lagu, si pengamen menemui penumpang satu per satu sambil membuka telapak tangan, mirip pengemis.
Turun pengamen yang pertama, naik pengamen berikutnya. Sama membawa ukulele. Kali ini lagunya pop. Sama seperti sebelumnya, cukup satu atau dua lagu, pengamen pun menyisiri kursi penumpang. "Kami tidak memaksa. Kami hanya mohon keridoan para penumpang. Tapi hargailah keringat kami," katanya.
Bus melaju keluar dari terminal. Masuk lagi pengamen ketiga. Kali ini membawa gitar. Lagunya "lagu wajib pengamen": daripada nyolong ayam, dihukum tiga bulan kurungan, lebih baik mengamen, dan seterusnya. Kalau hanya sekali dua kali, rasanya masih ada toleransi. Tapi tiga kali terus-menerus?
Untunglah sampai ke Losari, selama dua jam cukup sunyi. Tapi setelah melewati batas Jawa Barat, tepatnya di Gebang, naiklah serombongan pengamen. Ada penabuh gendang, pemetik gitar, pencabik bas, penabuh tamborin, dan penyanyinya. Alat-alat musik itu disambungkan ke amplifier. Penyanyinya wanita, berpakaian ala biduan, berpupur putih, dan bibir berpulas lipstik merah.
Setelah main, enak juga di kuping, meski pengeras suaranya kemeresak. Ritemnya meniru Rhoma Irama. Bas dan gendangnya berdentam, mengalahkeun suara mesin bus. Suara penyanyina pun merdu. Khas penyanyi dangdut. Mereka ini pengamen atau penyanyi betulan? Boleh jadi, semacam job sampingan daripada menganggur tanpa order. Sayang penyanyinya tak leluasa berjoget seperti di panggung.
Basah basah basah, seluruh tubuh, ah ah ah.
Sayang cuma dua lagu, tahu-tahu sampai Kanci, sebelum jalan tol Cirebon. Tampaknya penumpang suka. Buktinya, banyak yang memberi seribuan, yang diterima si penyanyi dengan senyum manisnya.
Keluar dari tol di Plumbon, segera naik berbondong tukang-tukang asong dan pengamen. Kali ini pengamennya bocah lelaki kira-kira sepuluh tahun. Tangannya memegang tamborin yang terbuat dari tutup-tutup botol minuman yang dipakukan ke tangkai kayu. Lagunya tak jelas. Suara ke mana, musik ke mana. Ada yang memberi pun mungkin lebih karena kasihan.
Setelah itu, tiap masuk kota, ada saja pengamen yang naik. Di Jatiwangi, Kadipaten, Sumedang. Ada yang serius, ada juga yang sekadarnya, sambil mengancam segala. "Kami hanya mengamen. Kami bukan mau ngerampok. Tapi hargai kami, jangan pura-pura tidur atau melihat ke luar jendela," katanya.
Keluar dari Sumedang, saya pikir sudah tak ada lagi. Malah sebaliknya. Tak henti-henti sejak menjelang Cadas Pangeran, Tanjung Sari, Jatinangor, sampai Cileunyi sebelum masuk jalan tol. Terus-menerus. Turun yang satu, naik yang lain.
Kadang berpikir, kenapa pengamen makin banyak? Benarkah ini salah satu tanda di negeri ini susah mencari kerja? Lagi pula, cukupkah mengamen di bus sebagai nafkah sehari-hari? Bukankah penumpang bus ekonomi kebanyakan rakyat biasa, orang-orang kampung yang juga mencari nafkah di kota, seperti tukang bakso, pelayan warteg, karyawan pabrik, pedagang kaki lima, dll?
Buat para pejabat dan anggota dewan, nah, persoalan seperti inilah yang harusnya menjadi pemikiran. Jangan malah menginginkan yang tidak-tidak. Mobil baru, kenaikan gaji, atau laptop.
**
Turun dari bus, naik angkot, barulah bernapas lega. Terasa bebas dari tukang asong dan pengamen. Enam jam di jalan, ada setidaknya sepuluh pengamen. Sayang tak lama. Di perempatan lampu merah pertama, sudah menyambut pengamen lagi, tepat di mulut pintu angkot.
Jreng-jreng-jreng! (*)

3 comments:

Trian Hendro A. said...

wah, pengalaman bersama pengamen ya mas? kapok kah?

apa kabar mas??
lama tak bersua :)

mau buatin puisi ga mas? hehe

abahsangpenyamun said...

pengamen,,, potret kehidupan seperti apa yang bakal ditampilkan "sang jelata" tentang pengamen? jadi penasaran, pernah nulis tentang pengamen ga kang?

Hermawan Aksan said...

Kabar baik, sangat baik, dan tak kapok mendengar suara pengamen, asal bermain dengan serius dan tak perlu ngancam segala, hehe.
Puisi? Bikinlah, buat ngramein :)

Kl nulis fiksi tentang pengamen, belum tuh. Ingin sih. Tapi harus ada sedikit riset dulu, biar bisa "masuk".