Wednesday, January 2, 2008

Madirda

SUNGGUH malang menjadi perempuan, pun di zaman ketika manusia kadang lebih perkasa dibanding dewa. Lihatlah Retna Anjani, yang terpaksa memencilkan diri di tepi telaga Madirda yang sunyi, menjalani tapa tanpa busana, hanya karena sebuah kutuk yang tak dia pahami. Tapa yang membuat para dewa pun tak tahan memandangnya.
Bayangkan tubuh langsat tanpa cacat, duduk bersila, dengan rambut hitam yang terurai menabiri payudara dan bagian tubuhnya yang paling rahasia. Siapa yang tak tergila-gila oleh pendar yang memancar memantulkan cahaya angkasa?
Dia tak pernah meminta cupu itu. Cupumanik Astagina. Dia menerimanya dari sang ibu, Retna Windradi, sebagai sebuah hadiah bahwa dia telah menjelang usia dewasa. Dia juga tak tahu, dan tak ingin tahu, dari mana sang ibu memperolehnya. Dia hanya merasa senang bukan karena mendapat cupu, melainkan karena dia sudah dianggap dewasa, sudah merasa menjadi wanita sempurna. Pandanglah, dia memang wanita yang sangat jelita.
“Jangan kauperlihatkan kepada siapa pun, apalagi kauberikan,” pinta sang ibu. “Kalau pesan ini sampai terlanggar, suatu kejadian yang tak diharapkan akan terjadi.”
Wanti-wanti seperti itulah yang dia terima ketika Batara Surya memberikannya sebagai tanda cinta.
Sayangnya, mungkin karena cahayanya yang memancar ke sekitar, pusaka kadewatan itu menarik juga perhatian kedua adiknya—adik kembarnya, Guwarsi dan Guwarsa. Bukankah lelaki selalu merasa lebih berhak terhadap warisan para leluhur? Keduanya merebut cupu itu, dan ketiga kakak beradik itu saling berebut, tanpa mereka sadari kemudian bahwa cupu itu tiba-tiba berada di genggaman sang ayah, Resi Gotama.
“Siapa yang memberikan cupu ini kepadamu?”
Anjani tak berkata-kata.
“Kan kusumpah siapa pun yang berkata bohong.”
Anjani pun mengaku dengan kata-kata yang lebih mirip bisikan.
Resi Gotama menatap tajam Retna Windradi. O, ia tahu siapa yang memberikan benda dewata itu. Ia pun tahu apa yang terjadi dengan Windradi saat-saat ia tengah bermesu diri. Sang Resi tahu karena ia bukan manusia biasa, melainkan keturunan Batara Ismaya, yang bisa tahu segala hal. Namun Resi Gotama ingin mendapat pengakuan secara jujur.
“Dari mana kau mendapatkannya?”
Retna Windradi terdiam. Juga ketika Resi Gotama bertanya untuk kedua kalinya.
“Bukankah ini tanda cinta Batara Surya?”
Retna Windradi mengangkat wajahnya sejenak, tapi bibirnya tetap terkatup rapat. Inilah puncak kesedihan seorang Resi Gotama, lelaki tua yang tak pantas bersanding dengan seorang bidadari swargaloka, meski itu hadiah yang layak ia terima sebagai balas jasa dari para dewa.
“Tiga kali aku bertanya dan kau tetap diam saja. Kau sungguh seperti tugu.”
Halilintar menggelegar dan cahaya menyilaukan nyaris membutakan.
Di hadapan mereka, Retna Windradi berubah menjadi batu.
Ah, mengapa perempuan selalu tak kuasa untuk melawan? Bukankah bukan salahnya kalau Dewi Windradi dilimpahi cinta Sang Surya? Dia terlahir sebagai perempuan jelita dan Resi Gotama terlalu renta untuk bisa memberinya cinta. Bagaimana pula dia, seorang perempuan yang mendamba, menolak cinta seorang batara?
Namun Resi Gotama adalah lelaki dan lelaki pantang dikhianati. Maka dengan menyalurkan tenaganya ke satu tangan kanan, ia lemparkan cupu itu ke angkasa, meninggalkan kesiur suara yang menyayat telinga.
Guwarsi dan Guwarsa berebut cepat memburu arah lemparan.
Anjani terseok-seok di belakang. Dia tak mau kehilangan cupu itu. Cupu miliknya. Cupu yang diberikan sang ibu karena saatnya sudah tiba. “Cupu ini mengandung rahasia kehidupan alam nyata dan alam kasuwargan. Dengan membuka Cupumanik Astagina, melalui mangkoknya kita akan dapat melihat dengan nyata dan jelas gambaran swargaloka yang serba polos, suci, dan penuh kenikmatan. Sedangkan dari tutupnya akan dapat kaulihat dengan jelas seluruh kehidupan semua makhluk yang ada di jagat raya. Sedangkan khasiat kesaktian yang dimiliki Cupumanik Astagina ialah dapat memenuhi semua apa yang kauminta dan menjadi keinginan pemiliknya,” kata sang ibu waktu itu.
Namun kini, di depan mereka membentang sebuah telaga, dan mereka menyangka cupu itu jatuh ke dalamnya. Mereka tidak tahu bahwa justru cupu itulah yang telah berubah menjadi telaga.
Guwarsi dan Guwarsa terjun ke dalam telaga, sedangkan Anjani hanya membasuh muka. Ketika muncul kemudian, Guwarsi dan Guwarsa berubah menjadi sepasang kera, sedangkan Anjani hanya berwajah dan bertangan kera.
Ketiganya hanya bisa menangis dengan sesal yang menggumpal.
Tanpa kata, Guwarsi dan Guwarsa menyuruk ke dalam hutan, sama-sama hendak menjalani tapa, menebus rasa sesal dan dosa.
Di tepi telaga, Anjani melepaskan semua busananya, menguraikan rambutnya, dan duduk bersila seraya mengheningkan cipta.
Bagaimana mungkin dia menghadapi dunia dengan wajah mengerikan seperti itu? Dia memilih mati di tepi telaga apabila tak memperoleh kemurahan dewata sehingga wajahnya pulih kembali seperti sedia kala. Maka, hari demi hari lewat, bulan demi bulan pun berlalu, Anjani bertekad meneruskan tapanya hingga penghuni surga mendengar semua doanya. Dia hanya menelan makanan yang jatuh di hadapannya dan dia minum embun yang membasahi bibirnya.
Namun lihatlah, seluruh permukaan tubuh telanjang Anjani tetap memancarkan sinar keindahan yang tiada tara. Apalagi kalau kita memandangnya dari ketinggian dan sudut tertentu di angkasa. Dada siapa tak berdebur menikmati pemandangan yang demikian menggairahkan?
Bahkan Hyang Girinata, dewanya para dewa, pun tak kuasa menahan gejolak dadanya. Padahal, dia datang hanya untuk meluluskan permohonan Anjani, yang doanya sudah memenuhi udara surga. Dia pun datang diiringi Batara Narada dan para dewa lainnya. Namun justru karena itulah, karena kedatangan para dewalah, udara yang menyelubungi tapa Anjani menjadi benderang.
Dan semua dewa terkesima.
Tubuh sempurna Anjani memantulkan cahaya para dewa.
Pahanya yang kuning langsat sungguh sangat memesona siapa pun yang menatapnya. Alangkah indahnya pemandangan itu. Dan tanpa disadari Anjani, alangkah dahsyat akibatnya.
Para dewa belingsatan tak tahu hendak berbuat apa, menimbulkan angin yang membadai di angkasa.
Hyang Girinata pun tak kuat menahan badai berahinya. Dia hanya bisa terpana dan air kelelakiannya memancar seperti permata, jatuh membasahi selembar daun sinom yang tengah melayang jatuh.
Angin masih bertiup kencang dan daun sinom meliuk-liuk sebelum jatuh di paha Anjani.
Anjani mengunyah daun sinom dan menelannya.
Bulan demi bulan, perut Anjani membesar tanpa dia ketahui sebabnya. Dia baru menyadarinya ketika dirasakannya sebentuk makhluk yang menendang-nendang dinding rahimnya.
“Ah, apakah aku mengandung sesosok bayi? Kalau benar, siapakah yang melakukannya? Lelaki mana yang tega mengancurkan hidup perempuan tak berdaya? Oh, apakah ia, siapa pun lelaki itu, melakukannya dalam ketidaktahuanku? Duhai, alangkah terkutuknya aku…”
Lihatlah, mengapa hanya perempuan yang harus menanggung beban? Bukankah peristiwa seperti itu tak akan terjadi tanpa peran serta lelaki? Lalu, di mana tanggung jawabmu, para lelaki?
“Siapa pun engkau, datanglah wahai lelaki, tunjukkan wajahmu. Mungkin aku akan bisa mencintaimu meski aku ragu engkau akan mencintaiku dengan wajah yang seperti ini. Atau mungkin aku hanya sekadar menatap wajahmu sebelum engkau kembali meninggalkanku. Bagaimana mungkin aku kembali ke riuhnya dunia dalam keadaan berbadan dua, tanpa kuketahui siapa ayahnya?”
Air mata Anjani meleleh menuruni pipinya yang berbulu, dan jatuh di betisnya. Hangat air mata tak menghangatkan hatinya.
Tubuh berwajah kera mungkin tak lagi menjadi derita. Tapi mengandung sesosok makhluk tanpa tahu siapa yang melakukannya? Nista ini jauh lebih merobek hati dibanding sekadar wajah dan tangan yang berbulu.
Apa lagi yang tersisa dari arti hidupnya? Dia adalah wanita yang terlupa, tersia-sia, dan bahkan ternista. Apa lagi yang bisa dia pertahankan untuk terus menjalani kehidupan?
“Duhai Dewata, cabutlah nyawa hambamu ini…”
Tak ada jawaban.
Waktu seperti berhenti.
Dan angin pun mati.
Namun tiba-tiba angin bertiup kencang. Pepohonan meliuk-liuk bagaikan tarian gila. Hujan seakan tumpah dari langit yang membelah. Halilintar menggelegar-gelegar. Kilat menyambar-nyambar. Pepohonan bertumbangan dan gunung-gunung menyemburkan api seperti naga raksasa.
Anjani pasrah menyambut nasibnya.
Juga ketika makhluk dalam perutnya menggeliat-geliat dahsyat, seperti mencabik-cabik segenap saraf tubuhnya. Demikiankah pertanda kelahiran sang bayi?
Anjani menjerit-jerit tanpa suara, menahankan sakit yang tak terkira.
Dia juga tak tahu ketika dari surga turun para bidadari untuk membantu kelahiran sang bayi. Anjani menjerit, tubuhnya bergetar, sakitnya tak tertahankan, seperti disayat seribu sembilu, dicabik selaksa badik.
Dan kemudian angin berhenti. Pepohonan diam. Hujan badai reda. Gunung-gunung membisu.
Hanya kesunyian.
Bahkan tak ada tangis bayi.
Anjani menoleh pelahan dengan sisa tenaga. Di sampingnya tergolek sesosok makhluk mungil, putih seperti seonggok kapas. Menggerak-gerakkan kedua tangannya, kedua kakinya, dan ekornya. Oh, dia beranak seekor kera putih.
Anjani memekik membelah langit.
***
(Cerpen ini dimuat di Jawa Pos, 10 Desember 2006)

No comments: