Friday, January 18, 2008

Pulang (2)

Menurut perhitungan pahit, kubu adikku diprediksi unggul setidaknya 51 persen. Dari mana sampai tiba pada angka ini? Tim sukses mendata satu per satu pemilik hak pilih. Si A mendukung mana, si B ke mana, si C gimana, dan seterusnya. Para pendukung masing-masing kubu, sekali lagi, sudah seperti air dan minyak, sangat nyata terpisah. Mereka yang diragukan langsung dianggap pendukung lawan. Para perantau yang punya hak pilih pun tak ada yang masuk sama sekali--dengan asumsi tak akan datang. Bahkan warga salah satu dukuh dianggap semuanya mendukung kubu lawan. Dan hasilnya: 51 persen diprediksi kuat menjadi pendukung adikku.
Pada saat kampanye, sekitar 1.500 warga menghadiri kampanye kubu adikku, lebih banyak dibanding ketika kampanye dua kubu lain. Warga desa lain pun memprediksi bahwa kubu adikku bakal menang.
Namun--begitulah selalu ada kata namun pada cerita mana pun--perhitungan di atas kertas kerap berbeda dengan kenyataan. Mengapa? Banyak faktor yang menjadi penentu. Aku sudah menyebut tiga hal yang sebaiknya jangan dilakukan adikku: banyak janji, politik uang, dan kekuatan gaib. Pada penyampaian visi dan misinya, ia tak banyak berucap janji selain janji normatif untuk membentuk pemerintahan desa yang jujur dan bersih. Tak ada rincian akan membangun ini-itu. Entah apakah ia juga berkata demikian ketika mendatangi rumah demi rumah sebagai bagian dari upaya mencari dukungan. Soal politik uang, aku yakin bahwa ia tak pernah memberikan amplop untuk mencoba mencari dukungan. Tak ada "serangan fajar" seperti lazim dilakukan banyak kontestan. Alasannya jelas: dana untuk itu tak ada. Adapun soal kekuatan gaib, memang sulit dibuktikan, apakah benar-benar adikku menjalankan saranku. Mungkin "nasihat-nasihat spiritual" atau apa pun namanya masih bisa diterima. Yang pasti, adikku pernah bercerita bahwa kalau ia menerima semua usulan untuk meminta bantuan paranormal, dukun, kiai, atau apa pun namanya, maka tiap hari ia tak akan sempat mengurusi hal lainnya. Usul untuk itu memang muncul berduyun-duyun. Bahkan tanpa diundang pun banyak orang, baik dari desa sendiri maupun dari desa lain, menyediakan diri untuk membantu dengan kekuatan gaib. Sebagian besar ditolak dengan halus, sebagian lain diterima dengan pertimbangan memelihara dukungan.
Suatu malam, pernah seorang pendukung adikku mengusulkan agar mau menemui seorang pintar saat itu juga, dan adikku menolaknya karena hari sudah terlalu malam. Apa yang terjadi? Setelah pencoblosan diketahui bahwa si pengusul itu berbalik mendukung kubu lain. Seorang pendukung lain bercerita: ia ingin mengusulkan hal yang sama, tapi urung setelah tahu bahwa adikku beberapa kali menolak. Untungnya yang satu ini tidak berbalik mendukung kubu lain.
Konon, pada "Hari-H", dini hari sekitar pukul 01.00-03.00, akan datang seberkas cahaya. Menurut kepercayaan masyarakat, rumah kontestan yang dimasuki cahaya dari langit itu akan muncul sebagai pemenang pemilihan. Namun sampai aku tidur sekitar pukul 03.00, tak ada kabar yang pasti mengenai cahaya ini. Cahaya itu, menurut cerita, memang gaib, sebab hanya orang-orang tertentu yang bisa melihatnya.
Paginya, aku mendengar cerita demikian: kira-kira pukul 03 lebih beberapa menit berembus angin aneh dari pintu belakang rumah ibuku (yang dijadikan markas kubu adikku), yang memang terbuka. Cuaca saat itu panas, dan angin tersebut membuat orang-orang yang saat itu terjaga menggigil. Bulu kuduk meremang. Ada dua orang yang bahkan merasa seperti digelitiki. Sebagian pun merasa ketakutan. Apakah angin itu merupakan salah satu bentuk teror gaib kubu lain? Wallahualam.
Ketika penghitungan usai, dan dipastikan adikku kalah, muncul pengakuan banyak orang bahwa mereka kesulitan ketika mencoblos gambar. Padahal yang mereka coblos adalah selembar kertas tipis seperti umumnya kertas suara, alasnya busa kasur yang dilapisi kain, dan penusuknya sebatang paku besar yang tajam. Ada yang dua kali, ada yang tiga kali baru tembus. Bahkan si pembuat alas itu (seorang guru yang kata-katanya bisa dipercaya), yang tentu sudah mencoba berkali-kali sebelum dipakai, mengaku kesulitan untuk mencoblos. "Saya tusuk sekali, enggak tembus. Dua kali, enggak juga. Tiga kali, baru tembus," katanya heran. Memang belum ada pengakuan dari kubu lain apakah mereka juga kesulitan ketika mencoblos. Namun sulit untuk tidak percaya telah terjadi keanehan. Apakah ini upaya gaib dari kubu lain? Wallahualam.
Ketika dipastikan kalah, aku segera mengumpulkan keluarga kami: adikku dan istrinya, ibuku, kakak perempuanku, dan beberapa orang lain. Aku mencoba membesarkan hati mereka. Dan tak butuh waktu lama bagi kami untuk menerima kekalahan ini dengan lapang dada. Anehnya, yang sulit menerima kenyataan justru orang-orang lain. Bakda magrib, berduyun orang datang sambil menangis.
Salah satu di antaranya malah sampai kesurupan. Baru pertama kali aku menyentuh orang kesurupan. Ia seorang perempuan biasa dan ketika ia kesurupan, empat orang laki-laki nyaris tak mampu menahan amukan tenaganya. "Awas, Kak Iis! Ada orang yang hendak mencelakakan! Cepat sembunyi!" teriaknya sambil menunjuk-nunjuk. Suaranya mirip suara laki-laki, dan biasanya ia memanggil adikku dengan sebutan Pak Iis. Berkali-kali ia berteriak: "Kak Iis salah, kok mau salaman sama orang berbaju kuning dan bercelana hitam itu!" Ketika sadar, ia mengaku tak ingat apa yang terjadi. Lantas, siapa orang berbaju kuning dan bercelana hitam itu? Tak banyak yang tahu. Baru besoknya ada yang ingat bahwa ketika pencoblosan, ada orang berpakaian seperti itu berdiri di dekat pintu masuk tempat pemungutan suara, dengan mulut yang komat-kamit terus. Konon, orang bisa mengirim kekuatan tertentu melalui salaman tangan. Tak hanya satu yang kesurupan, tapi ada tiga atau empat orang, meski dengan intensitas yang lebih ringan. Apakah ini bagian dari teror kubu lain? Wallahualam.
Beberapa waktu kemudian, seorang pendukung datang dan bercerita bahwa ia baru saja menelepon orang pintar kenalannya. Si pendukung itu bercerita bahwa si orang pintar berkata, "Untung Pak Iis kalah. Kalau menang, ia atau salah satu dari keluarganya bisa menjadi korban." Termasuk aku, batinku. Ngeri juga.
Satu-dua hari setelah pencoblosan, mulai terungkap pengakuan sejumlah orang bahwa telah terjadi "serangan fajar" dari kubu lain. Jumlahnya Rp 25 ribu per keluarga. Apa yang disebut "serangan fajar" ini tidak harus dilakukan pada saat fajar, tapi bisa kapan saja, dan dilakukan dengan banyak cara. Misalnya bagi para pemilih yang masih ragu segera disediakan jemputan motor atau mobil, dan saat itulah terjadi "serangan fajar". Dalam hal penjemputan ini, kubu adikku memang kalah start.
Apakah kubu lain memberikan janji-janji? Seorang pendukung adikku mengaku pernah diberi janji lahannya akan diberi pondasi. Beberapa anak muda diberi janji oleh salah satu kerabat pihak lain untuk diajak bekerja di Korea.
Pelajaran yang bisa dipetik: untuk bisa menjadi pemenang dalam pilkades, kontestan sebaiknya melakukan tiga hal, yaitu banyaklah berjanji, gunakan politik uang, dan mintalah bantuan kekuatan gaib.
Aku keliru karena ketiga hal inilah yang kutekankan pada adikku untuk dihindari.

No comments: