Wednesday, January 2, 2008

Lelaki yang Jatuh Cinta Tiap Hari

BUKAN matamu yang seperti bintang pagi kalau menatapku, bibirmu yang laksana gendewa ketika mengatup dan membuka, atau rambutmu yang berkilau bak air terjun di danau, yang membuatku mabuk cinta. Bukan pula langsing tubuhmu atau lembut suaramu. Kata-katamulah, Ni, yang kaususun menjadi bait-bait puisi dan kisah-kisah yang indah, yang melenakanku dalam gairah.
Aku memang selalu tenggelam dalam kebahagiaan oleh lautan kata-kata. Aku rela diempas dan dibanting-banting ombak dan badai samudra kata-kata. Biarlah, meski aku tak tahu lagi arah selatan atau utara.
Entah kapan berawal. Setahun lalu? Sepuluh tahun lalu? Dua puluh? Mungkin ketika aku mulai berenang dalam kata-kata yang dituliskan Lya. Masih sekolah dasar aku waktu itu. Aku ingat, aku meliuk-liuk seperti layang-layang yang dihela oleh tangan lembut ketika menyesap kata-kata yang dituliskannya. Padahal Lya hanyalah mengabadikan kisah anak-anak yang bersahaja. Aku melayang dan menjadi tokoh Sam. Akulah Sam, yang sederhana tapi heroik, seperti Gundala Putra Petir atau Godam si pemberantas penjahat jahanam.
Bertahun-tahun kemudian, aku mulai mabuk tatkala mereguk rangkaian kata-katanya dalam sebuah kisah cinta yang sederhana. Kata-kata dan kalimatnya yang lembut dan santun itulah justru yang membuatku kerap terbanting-banting dalam gairah.
Lya mengalirkan sungai kata-kata yang mengalir tenang. Tenang yang mencekam dan mencebarkan. Dalam aliran kata-katanya, aku menjadi Kang Jan, yang menemukan cinta Enay di Cindulang. Aku membayangkan Lya adalah Enay, atau Enay adalah Lya. Tapi anehnya, meski aku merasa menjadi Kang Jan, aku tak bisa mengenali apakah aku jatuh cinta pada Lya. Dia terlalu indah, terlalu jauh dan tinggi, tak mungkin kugapai. Dari ketinggian langit itu pula, Lya mencurahkan hujan kata-katanya yang lembut. Kuhirup hujan kata-katanya hingga aku basah kuyup.
Kemudian, pada saat yang hampir bersamaan, aku terbuai oleh samudra kata-kata Lei dan Sha. Mereka adalah remaja yang luar biasa, yang bisa membuatku menjadi arca hanya dengan mantra berupa rangkaian aksara. Kata-kata Lei lebih rumit, sedangkan kata-kata Sha sederhana. Namun keduanya sama-sama membuatku selalu terkesima.
Aku tak pernah berjumpa dengan Lei, sebab aku hanyalah remaja yang jauh dari pusat kota, tapi aku menikmati kedekatan dengannya melalui kisah-kisahnya dalam sebuah majalah remaja. Namun dengan Sha aku bertemu berkali-kali, tanpa kusadari. Maksudku, kami, aku dan Sha, pernah sekian kali berada dalam satu ruang yang sama, bertukar kata-kata, tapi baru pada saat-saat terakhir aku tahu bahwa dia Sha. Sha yang selalu kukagumi tiap aku meneguk kata-katanya.
“Kamu Sha yang suka menulis itu?”
Dia mengangguk dengan wajah tersipu. Pucuk pipinya memerah. Aku memandangnya dalam diam seraya berharap agar waktu berhenti.
Namun waktu terus berlari dan Sha pergi.
Sampai sekarang, nama Lei dan Sha tak pernah lekang. Sesekali, aku masih hanyut oleh rangkaian kata-kata Lei meski tak lagi menuturkan kisah-kisah indah tentang cinta. Namun aku tak pernah bisa lagi membaca kata-kata Sha. Ke mana dia? Aku tak rela kalau dia tak lagi menuliskan kata-kata hanya karena waktu yang melesat-lesat seperti peluru. Apakah waktu membungkammu menjadi bisu? Aku berharap suatu saat dari penamu kembali mengalir mata air kata-kata.
Sebab, setelah itu, cukup lama aku seperti melayang di ruang antarbintang yang hampa dan tanpa gravitasi. Tangan menggapai-gapai tak sampai. Apakah aku merindukan Sha? Mungkin tidak benar-benar begitu. Aku merindukan kata-katanya.
Dan kemudian muncul Ty seakan-akan menjelma dari ruang hampa. Dia gadis belia yang membuatku terpana-pana. Segenap pembuluh darahku hangat oleh rangkaian kata-katanya. Aku sangat menikmatinya. Tak puas-puasnya aku berenang di kolam kata-kata yang dia bangun di tamannya. Kau tahu? Kata-kata Ty yang tegas, variatif, dan kerap tak terduga rasanya seperti anggur yang justru selalu membuatku dahaga. Apakah Ty membangun tamannya dalam semalam seperti halnya Sangkuriang membendung Citarum? Orang-orang memang banyak yang dengan sinis menilai bahwa Ty sekadar mengucapkan dan menuliskan kata-kata seseorang entah siapa. Tapi aku tidak percaya. Aku yakin semua itu adalah kata-kata Ty belaka.
Kami pernah berjumpa dan dengan mataku aku menyapanya. Dia benar-benar seperti boneka dengan pahatan-pahatan wajah yang sempurna. Namun aku tidak tahu apakah Ty memahami tatapan mataku. Dan dia tak pernah membalas sapaan mataku sampai kemudian lenyap entah ke mana. Apakah dia dan kolam kata-katanya larut kembali di ruang hampa?
Aku pernah membayangkan ada sebuah sayembara menciptakan karya sastra. Pemenangnya ditentukan apakah ia bisa mengalahkan keindahan kata-kata yang dimiliki seorang putri rupawan, yang tak lain adalah Ty sendiri. Dan aku membayangkan bahwa akulah sang pemenang.
Sampai sekarang aku masih merindukannya. Aku masih yakin bahwa Ty akan muncul kembali dengan kolam kata-katanya yang baru yang membuatku kembali jatuh cinta.
Dan aku masih menunggu Ty ketika datang Yu menyapaku dengan kata-katanya yang mengguncang dada. Bahkan mengguncang dunia. Setidaknya, dunia kata-kata. Seperti kuda bersayap penuh gairah, Yu menerjang menembus batas-batas bisu. Dengarkan kata-katanya: setiap kali aku berhubungan dengan tubuh yang masai tanpa daya itu, menyentuh permukaannya yang kesat, kelaminnya yang menyisakan lembab… Ah, begitu mencekam, mengoyak, sekaligus mengagumkan. Bagaimana mungkin aku tidak jatuh cinta kepadanya?
Seperti halnya Ty, Yu juga digempur oleh sementara orang: bahwa dia hanya mengucapkan kata-kata seseorang di belakang. Kata-kata Yu dan orang di belakang itu serupa belaka, katanya. Ah, aku sekali lagi tak percaya. Gempuran demikian hanyalah disemburkan oleh mereka yang cemburu dan kering oleh kata-kata. Dan Yu tetap mengalirkan kata-katanya yang menghanyutkan, termasuk menghanyutkan para penggempurnya.
Lalu, seperti di udara senja ketika hujan reda, beterbangan laron-laron bersayap serupa menyemburkan kata-kata yang senada. Warnanya memang beraneka, tapi garis-garis sayapnya, mungkin juga baunya, sama belaka. Satu-dua mencoba berbeda, toh muaranya itu-itu juga.
Dan, astaga, aku jatuh cinta. Tanpa ada jeda.
“Wahai kau yang sedang dimabuk cinta, berikanlah padaku setetes apa yang kaureguk. Di kala kau terjatuh nanti, aku akan tahu rasanya limbung tanpa harus terpuruk,” kata Di suatu hari.
Ah, buat Di, apa yang takkan kuberi? Jangankan hanya setetes. Bahkan segelas—atau sekolam—akan kupersembahkan, meski aku akan terperas menjadi hanya kulit dan tulang.
Tiap hari, tiap saat, kemudian kata-kata mengalir dari sumber entah di mana. Mata air menyemburkan kata-kata dari sana-sini. Sungai menjadi tak pernah kering. Dan tiap saat pula aku berenang di dalam kata-kata, berkecipak-kecipak, meluncur, menenggelamkan diri, menyembul menghirup udara, lalu kembali menyelam mencoba menggapai dasar yang tak juga tersentuh.
Tak lelah aku menyelam. Biarlah, meski selamanya aku tenggelam.
Setelah Di, muncul Ning.
Kemudian Sa.
Lalu Cha.
In.
Wi.
Fan.
Lan.
Rie.
Tam.
Dan entah siapa lagi.
Semuanya mengguyurku dengan keindahan kata-kata. Semuanya membiusku hingga tak berdaya.
Dalam kata-kata, ya, aku tiap hari jatuh cinta.
Makin lama memang terasa bahwa kata-kata kian terbuka. Tabu tak lagi menjadi dinding beku. Aurat kian lepas dan cinta bercampur kelamin menjadi objek kata-kata yang menghambur di mana-mana.
Entah cinta macam apa.
Dan salah satu puncaknya memang Nay.
Meskipun dia hanya punya segulung kisah pendek tentang cerita pendek, aku tak pernah berhenti mengerang oleh lesatan kata-katanya. Keningku, lidahku, leherku, dadaku, perutku, pahaku, betisku, berdarah-darah oleh anak-anak panah kata-katanya—yang sesekali memperingatkan: jangan main-main dengan kelaminmu.
Tapi aku bahagia tenggelam dalam darah yang bercampur kata-katanya.
Keindahan tato di punggungnya tak ada apa-apanya dibanding dengan kata-katanya.
Dikepung seribu laron di udara senja setelah hujan reda, aku benar-benar mabuk karena keindahan kata-kata.
Dan kau, Ni, kau mengembalikanku ke wilayah sensasi yang sudah lama hilang. Mungkin kau reinkarnasi seorang putri era Dinasti Ming. Atau bahkan Citraresmi di masa Linggabuana—toh mereka hidup pada masa yang sama.
Lautan kata-katamu klasik belaka, tanpa bercampur dengan visualisasi melalui deskripsi vagina seperti mereka. Namun justru di situlah kekuatan kata-kata yang kautata.
Dan kemudian, ketika tenggelam dalam bait-bait puisi dan prosa-prosa indah yang kaukisahkan, aku ragu apakah aku bisa mencintai yang lain.
Karena itu, teruslah berpuisi, Ni. Lanjutkan kisah-kisahmu. Agar aku menjadi lelaki yang paling bahagia, yang bisa terus tiap hari jatuh cinta—untukmu semata. Setidaknya, sampai ada lagi mata air kata-kata yang lebih indah. Di mana pun sumbernya. Siapa pun dia.
***
(Cerpen ini dimuat di Pikiran Rakyat, Juli 2006)

No comments: