Wednesday, January 2, 2008

Selamat Tahun Baru, Hmm...

INI sekadar catatan ringan di awal tahun. Bunyi terompet pergantian tahun mungkin sudah tak terdengar lagi. Kembang api yang melukisi langit malam sudah pudar. Pagi hari, orang-orang pasti kelelahan setelah menghabiskan malam hingga dini hari di tempat-tempat khusus yang dirancang secara istimewa.
Saya selalu saja tak habis memahami bagaimana di negeri yang tak kunjung henti digempur krisis dan bencana ini orang-orang dengan gampang menghamburkan isi kocek dalam-dalam sekadar untuk menikmati dinner dan New Year Party. Sebuah hotel bintang lima di Bandung menawarkan paket malam tahun baru hingga Rp 9 juta. Sebuah hotel di Jakarta menawarkan paket yang harganya hampir sama, Rp 9,5 juta. Dan tiket untuk menikmati paket seharga ini sudah habis terjual alias sold out beberapa hari sebelumnya.
Siapa bilang negeri kita sedang dilanda krisis? Kalau Anda tadi malam termasuk dalam deretan orang yang menikmati pergantian tahun di hotel-hotel mewah atau tempat-tempat hiburan kelas satu, yang Anda lihat adalah wajah-wajah kemakmuran. Berbalut busana gemerlap karya desainer-desainer utama, bersepatu mengilat merek Gina, Charles Jourdan, atau setidaknya produk Italia lain nya, berarloji Piazza, Rado, atau Rolex berlapis emas, menyemburkan harum Etienne Aigner, Nina Ricci, atau Estee Lauder, dan menenteng Nokia N96, Motorolla Z8 Ferrari, atau Philips 292, mereka keluar dari Toyota Auris, Mercedes Benz, BMW, hingga Lamborghini.
Ya, ya, saya, dan sekian banyak manusia negeri ini, mungkin bukanlah bagian dari komunitas ini. Mayoritas dari masyarakat kita adalah orang-orang yang tiap hari menghirup udara yang meruap dari timbunan sampah atau genangan banjir, yang menatap mereka adalah bagian dari sebuah absurditas. Ada batas jelas yang memisahkan dua dunia ini. Maya dan nyata. Masuk akalkah menghabiskan sembilan juta rupiah hanya semalam? Bagi kita, angka ini bisa berarti uang muka kredit rumah, sepeda motor baru, atau belanja sehari-hari selama beberapa bulan. Surga seperti apa saja yang mereka nikmati di dalam sana? Nyanyian dari para diva, sajian ala para raja, uap wangi spa, dan kasur empuk harum cendana? Kita hanya menduga-duga.
Tahun baru, kita tahu, hanyalah hasil kesepakatan manusia. Manusia memilah-milah kontinuitas waktu menjadi detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan seterusnya. Padahal, tentu saja, tak ada yang berbeda pada tanggal 30 dan 31 Desember serta 1 dan 2 Januari. Tak ada pertanda alam tahunan yang menunjukkan bahwa angka tahun hendak bergulir bertambah satu. Kecuali, ya itu tadi, ritual buatan berupa pekikan terompet yang mencabik udara dan kilatan kembang api yang menggurati langit.
Tentu saja harus ada yang berbeda setelah tahun bergulir. Usia kita bertambah--sekaligus berkurang. Kita sendirilah yang harus membuat pergantian tahun ini bermakna: bahwa tahun sekarang harus lebih baik dibanding tahun kemarin. Kalau hanya sama, apalagi lebih buruk, niscaya kita termasuk orang yang celaka. (*)

No comments: